Hakikat Cinta Kepada Allah Swt

Ridhmedia
30/03/14, 16:53 WIB

Mengenai hakikat cinta kepada Allah s.w.t. berdasarkan pandangan hakikat pesan yang tersirat Tauhid dan Tasawuf, sebagaimana telah diungkapkan oleh Maulana Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam Kalam Hikmah dia sebagai berikut:

"Orang yang begitu sangat cintanya bukanlah orang yang mengharapkan akhir sesuatu dari pihak yang dicintainya atau dia menuntut sesuatu maksud dari pihak yang ia cintai, sebab orang yang begitu sangat cintanya itu ialah orang yang memberi buat anda, bukanlah orang yang begitu sangat cintanya itu merupakan orang dimana anda memberi buatnya."

Kalam Hikmah ini, sepintas kemudian sulit juga menangkapnya, apabila tidak kita berikan klarifikasi sebagai berikut:

Apabila cinta sanggup dilukiskan melalui huruf, goresan pena dan maksud-maksud tertentu, pada hakikatnya itu tidak sanggup dikatakan cinta atau mahabbah. Karena cinta yang demikian, ialah cinta yang sanggup dibuat, demi untuk hingga kepada tujuan yang dikehendaki. Karena itu, barangsiapa yang menyayangi seseorang biar seseorang itu memperlihatkan sesuatu kepadanya atau menolak sesuatu yang tidak baik daripada yang mencintai, berarti orang yang menyayangi itu ialah menyayangi dirinya sendiri, bukan menyayangi orang yang dicintai. Karena kalau bukanlah sesuatu yang dituju oleh dirinya sendiri tidak ada, maka pastilah dia tidak akan menyayangi orang yang dicintainya itu.

Karena itulah, hakikat cinta pada orang yang mencintai, ialah memperlihatkan keseluruhan yang ada pada dirinya demi untuk mendapat kerelaan daripada pihak yang dicintainya. Tanpa ada sesuatu yang ia ingin capai, berupa sesuatu yang sifatnya lahiriah dari pihak yang dia cintai. Sehingga tidak ada apa-apa lagi yang dimiliki olehnya, selain semuanya itu ia serahkan kepada pihak yang ia cintai. Atau boleh dikatakan, bahwa yang menyayangi ialah dibunuh oleh kecintaannya itu, sehingga tidak ada tujuannya selain daripada kerelaan dari pihak yang dicintai. Misalnya saja ibarat yang diungkapkan oleh pengarang Iqazul Himam fi Syarhil Hikam, wacana teladan seorang laki-laki menyayangi seorang wanita. Laki-laki itu berkata: "Aku betul-betul cinta padamu." Wanita itu menjawab: "Betapa anda cinta kepada saya, padahal yang duduk di belakang anda itu ialah lebih baik."

Mendengar itu, si laki-laki tadi memalingkan mukanya melihat perempuan yang ada di belakangnya, maka sesudah perempuan itu melihat bahwa laki-laki itu memalingkan mukanya melihat perempuan yang ada dibelakangnya, dia berkata: "Anda ini ialah insan yang tidak baik. Anda menyampaikan begitu cinta kepadaku, tetapi anda palingkan muka anda melihat kepada selainku."

Itulah sebuah teladan dan apabila teladan ini kita kiaskan kepada relasi cinta kita selaku hamba Allah kepada Tuhan Pencipta alam, Allah s.w.t., juga demikian. Kita mengatakan, kepada diri kita dan kepada orang lain, bahwa kita cinta kepada Allah, tetapi juga hati kita memalingkan cintanya kepada sesuatu yang selainNya, atau mencicipi sesuatu selain Allah, yang mempengaruhi hati kita. Maka ini memperlihatkan cinta kita kepada Allah tidak full, tetapi ialah tidak lebih daripada dakwaan semata-mata.

Selanjutnya Apabila kita begitu menyayangi sesuatu, maka hendaklah jiwa raga kita itu, kita berikan buat sesuatu itu. Demikian pula, kecintaan seseorang kepada orang yang dia cintai, dia harus memperlihatkan segala-galanya kepada pihak yang dia cintai. Dan bukanlah kebalikannya.

Demikianlah kecintaan kita kepada Allah s.w.t., dihentikan dipalingkan kepada selainNya. Karena itu, apabila kita beribadah sebab mengharapkan syurgaNya berarti kita menyayangi Syurga. Dan bukan menyayangi Allah. Sebab hakikat cinta kepada Allah, hanya tertuju semata-mata kepada Allah dan kita lupa kepada hal-hal yang lain selain dariNya. Apakah itu merupakan laba kita berupa pahala dari Allah ataukah itu merupakan hajat-hajat kita kepadaNya.

Ada sebuah teladan kejadian, yang telah terjadi pada seorang Waliyullah berjulukan Ibrahim bin Adham. Beliau berkata: Pada suatu hari, saya bermohon kepada Allah, seraya saya mengucapkan "Wahai Tuhanku, kalau Engkau telah memperlihatkan kepada seseorang dari orang-orang yang cinta kepadaMu ketenteraman hati sebelum bertemu dengaMu, maka Engkau berikan pulalah kepadaku yang demikian. Karena hatiku susah sedemikian rupa, demi cintaku kepadaMu."

Ibrahim bin Adham meneruskan katanya: Setelah sering saya berdoa demikian saya bermimpi, seperti saya diperintahkan Allah bangun di hadapanNya, dan Dia 'berkata' kepadaku: Hai Ibrahim (bin Adham), tidaklah engkau bermalu kepadaKu, bahwa engkau memohon kepadaKu, biar hatimu tenteram sebelum bertemu denganKu. Apakah begitu orang yang sangat rindu hatinya akan sanggup tenteram, kalau tidak bertemu dengan yang dicintainya .

Apakah orang yang begitu cinta hatinya akan sanggup tenang, tanpa bertemu dengan yang ia rindukan? Ibrahim (bin Adham) menjawab: "Wahai Tuhanku, saya bingung, dalam cinta terhadapMu. Maka saya tidak tahu, apa yang saya katakan, sebab itu Engkau ampunkan dosaku, Engkau ajarlah saya ya Allah, apa yang seharusnya saya mesti katakan." Tuhan menjawab: Katakanlah olehmu:

"Wahai Tuhan, Engkau ridhailah saya dengan keputusan-keputusanMu, Engkau sabarlah saya atas cubaan-cubaanMu, Engkau ilhamkanlah kepadaku, untuk mensyukuri nikmat-nikmatMu."

Demikianlah, kejadian mengenai cinta antara hamba dengan Tuhannya, bagi diri Ibrahim bin Adham.



Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+