Imam Bukhari (194-256H)
Negeri Bukhara sebagai negeri muara sungai Jihun yang terletak di sebelah utara Afghanistan dan sebelah selatan Ukraina ialah negeri yang banyak melahirkan imam-imam Ahlul hadits dan Ahlul fiqh.
Negeri itu menyimpan kenangan sejarah usaha para imam-imam Muslimin dalam banyak sekali bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Dapat disebutkan di sini, para Imam Ahlul Hadits yang lahir dan dibesarkan di negeri Bukhara antara lain adalah:
Al-Imam Abdullah bin Muhammad Abu Ja’far Al-Musnadi Al-Bukhari yang meninggal dunia di negeri tersebut pada hari Kamis bulan Dzulqa’dah tahun 220 H. dan kemudian juga lahir di Bukhara, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Al-Bukhari yang lahir pada tahun 194 Hijriyah dan wafat pada tahun 256 H di sebuah desa berjulukan Khortanak menuju arah Samarkan.
Juga lahir dan dibesarkan di negeri ini Al-Imam Abi Naser Ahmad bin Muhammad bin Al-Husain Al-Kalabadzi Al-Bukhari yang lahir tahun 323 H dan meninggal tahun 398 H. dan masih banyak lagi deretan para imam-imam besar Ahli hadits yang menghiasi indahnya sekarah negeri Bukhara.
Tetapi di masa kini kaum Muslimin di dunia, apabila disebut Imam Bukhari, maka yang dipahami hanyalah Imam Ahlul Hadits dari negeri Bukhara yang berjulukan Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah Al-Bukhari. Karena karya dia yang amat masyhur di kalangan kaum Muslimin di dunia ialah: Al-Jami’us Shahih Al-Musnad min Haditsi Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi yang kemudian populer dengan nama kitab Shahih Al-Bukhari. Kata “Bukhari” itu sendiri maknanya ialah: Orang dari negeri Bukhara. Makara jikalau dikatakan “Imam Bukhari” maknanya ialah seorang tokoh dari negeri Bukhara.
Al-Bukhari Di Masa Kecil
Nasab kelengkapan dari tokoh yang sedang kita bincangkan ini ialah sebagai berikut: Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah. Kakek (Zoroaster) sebagai agama orisinil orang-orang Persia yang menyembah api. Sang kakek tersebut meninggal dalam keadaan masih beragama Majusi. Putra dari Bardizbah yang berjulukan Al-Mughirah kemudian masuk Islam di bawah bimbingan gubernur negeri Bukhara Yaman Al-Ju’fi sehingga Al-Mughirah dengan segenap anak cucunya dinisbatkan kepada kabilah Al-Ju’fi. Dan ternyata cucu dari Al-Mughirah ini di kemudian hari mengukir sejarah yang agung, yaitu sebagai seorang Imam Ahlul Hadits.
Al-Imam Al-Bukhari lahir pada hari Jum’at tanggal 13 Syawal 194 H di negeri Bukhara di tengah keluarganya yang cinta ilmu sunnah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam. Karena ayah dia berjulukan Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah ialah seorang ulama Ahli hadits yang meriwayatkan hadits-hadits Nabi dari Imam Malik bin Anas, Hammad bin Zaid, dan sempat pula berpegang tangan dengan Abdullah bin Mubarak. Riwayat-riwayat Ismail bin Ibrahim perihal hadits Nabi tersebar di kalangan orang-orang Iraq.
Ayah Al-Bukhari meninggal dunia ketika dia masih kecil. Di ketika menjelang wafatnya, Ismail bin Ibrahim sempat membesarkan hati anaknya yang masih kecil sembari menyatakan kepadanya: “Aku tidak mendapati pada hartaku satu dirham pun dari harta yang haram atau satu dirham pun dari harta yang syubhat.” Tentu anak yang ditumbuhkan dari harta yang higienis dari kasus haram atau syubhat akan lebih baik dan gampang dididik kepada yang baik. Sehingga semenjak wafatnya sang ayah, Al-Bukhari hidup sebagai anak yatim dalam dekapan kasih sayang ibunya.
Muhammad bin Ismail menerima perhatian penuh dari ibunya. Sejak usianya yang masih muda dia telah hafal Al-Qur’an dan tentunya berguru membaca dan menulis. Kemudian pada usia sepuluh tahun, Muhammad kecil mulai bersemangat mendatangi majelis-majelis ilmu hadits yang tersebar di banyak sekali kawasan di negeri Bukhara. Pada usia sebelas tahun, dia sudah bisa menegur seorang guru ilmu hadits yang salah dalam memberikan urut-urutan periwayatan hadits (yang disebut sanad).
Usia kanak-kanak dia dihabiskan dalam kegiatan menghafal ilmu dan memahaminya sehingga ketika menginjak usia sampaumur –enam belas tahun–, dia telah hafal kitab-kitab karya imam-imam Ahli hadits dari kalangan tabi’it tabi’in (generasi ketiga umat Islam), mirip karya Abdullah bin Al-Mubarak, Waqi’ bin Al-Jarrah, dan memahami betul kitab-kitab tersebut.
Usia kanak-kanak Muhammad bin Ismail telah berlalu dengan kegiatan berguru yang amat padat. Kesibukannya di masa kanak-kanak dalam menghafal dan memahami ilmu, mengantarkannya kepada masa sampaumur yang cemerlang dan menakjubkan. Kini ia menjadi sampaumur yang amat diperhitungkan orang di majelis manapun dia hadir. Karena dalam usia belasan tahun mirip ini dia telah hafal di luar kepala tujupuluh ribu hadits lengkap dengan sanadnya di samping tentunya Al-Qur’an tiga puluh juz.
Melanglang Buana Menuntut Ilmu
Di awal usianya yang ke delapan belas, Al-Bukhari diajak ibunya bersama kakaknya berjulukan Ahmad bin Ismail berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Perjalanan jauh antara negeri Bukhara dengan Mekkah menunggang unta, keledai dan kuda ialah pengalaman gres baginya. Sehingga dia terbiasa dengan banyak sekali kesengsaraan perjalanan jauh mengarungi padang pasir, gunung-gunung dan lembahnya yang penuh keganasan alam. Dalam kondisi yang demikian, dia merasa semakin erat kepada Allah dan dia benar-benar menikmati perjalanan yang memakan waktu berbulan-bulan itu.
Sesampainya di Makkah, Al-Bukhari mendapati kota Makkah penuh dengan ulama Ahli Hadits yang membuka halaqah-halaqah ilmu.
Tentu yang demikian ini semakin menggembirakan beliau. Oleh lantaran itu, setelah selsai pelaksanaan ibadah haji, dia tetap tinggal di Makkah sementara abang kandungnya kembali ke Bukhara bersama ibunya.
Beliau bolak-balik antara Makkah dan Madinah, kemudian alhasil mulai menulis biografi para tokoh. Sehingga lahirlah untuk pertama kalinya karya dia dalam bidang ilmu hadits yang berjudul Kitabut Tarikh. Ketika kitab karya dia ini mulai tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam, ramailah pembicaraan orang perihal tokoh ilmu hadits tersebut dan semua orang amat mengaguminya. Sampai-sampai seorang Imam Ahli Hadits di masa itu yang berjulukan Ishaq bin Rahuyah membawa Kitabut Tarikh karya Al-Bukhari ini ke hadapan gubernur negeri Khurasan yang berjulukan Abdullah bin Thahir Al-Khuza’i, sembari mengatakan: “Wahai tuan gubernur, maukah saya tunjukkan kepadamu atraksi sihir?” Kemudian ditunjukkan kepadanya kitab ini.
Maka gubernur pun membaca kitab tersebut dan dia sangat kagum dengannya. Sehingga tuan gubernur pun mengatakan: “Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa mengarang kitab ini.” Al-Imam Al-Bukhari pun alhasil menjadi amat populer di banyak sekali negeri Islam. Ketika Al-Imam Al-Bukhari berkeliling ke banyak sekali negeri tersebut, dia mendapati betapa para ulama Ahlul Hadits di setiap negeri tersebut sangat menghormatinya. Beliau berkeliling ke banyak sekali negeri pusat-pusat ilmu hadits mirip Mesir, Syam, Baghdad (Iraq), Bashrah, Kufah dan lain-lainnya.
Di ketika berkeliling ke banyak sekali negeri itu, dia suatu hari duduk di majlisnya Ishaq bin Rahuyah. Di sana ada satu saran dari hadirin untuk kiranya ada upaya mengumpulkan hadits-hadits Nabi dalam satu kitab. Dengan usul ini mulailah Al-Imam Al-Bukhari menulis kitab shahihnya dan kitab tersebut gres selesai dalam tempo enam belas tahun setelah itu. Beliau menuliskan dalam kitab ini hadits-hadits yang diyakini shahih oleh dia setelah menyaring dan meneliti enam ratus ribu hadits.
Beliau pilih daripadanya tujuh ribu dua ratus tujupuluh lima hadits shahih dan seluruhnya dikumpulkan dalam satu kitab dengan judul Al-Jami’us Shahih Al-Musnad min Haditsi Rasulillah wa Sunani wa Ayyamihi yang kemudian populer dengan nama kitab Shahih Al-Bukhari. Kitab ini pun menerima kebanggaan dan sanjungan dari banyak sekali pihak di seantero negeri-negeri Islam. Sehingga ketokohan dia dalam ilmu hadits semakin diakui kalangan luas dunia Islam. Para imam-imam Ahli Hadits sangat memuliakannya, mirip Imam Ahmad bin Hanbal, Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma`in dan lain-lainnya.
Imam Al-Bukhari Disanjung Di Mana-Mana
Karya-karya dia dalam bidang hadits terus mengalir dan beredar di dunia Islam. Kepiawaian dia dalam memberikan keterangan perihal banyak sekali kepelikan di seputar ilmu hadits di banyak sekali majelis-majelis ilmu bersinar cemerlang sehingga dia dipuji dan diakui keilmuannya oleh para gurunya dan para ulama yang setara ilmunya dengan beliau, lebih-lebih lagi oleh para muridnya. Beliau menimba ilmu dari seribu lebih ulama dan semua mereka selalu memiliki kesan yang baik, bahkan kagum terhadap beliau.
Al-Imam Al-Hafidh Abil Hajjaj Yusuf bin Al-Mizzi meriwayatkan dalam kitabnya yang berjudul Tahdzibul Kamal fi Asma’ir Rijal beberapa riwayat kebanggaan para ulama Ahli hadits dan sanjungan mereka terhadap Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Di antara beberapa riwayat itu antara lain ialah pernyataan Al-Imam Mahmud bin An-Nadhir Abu Sahl Asy-Syafi’i yang menyatakan: “Aku masuk ke banyak sekali negeri yaitu Basrah, Syam, Hijaz dan Kufah. Aku melihat di banyak sekali negeri tersebut bahwa para ulamanya bila menyebutkan Muhammad bin Ismail Al-Bukhari selalu mereka lebih mengutamakannya daripada diri-diri mereka.”
Karena itu majelis-majelis ilmu Al-Imam Al-Bukhari selalu dijejali ribuan para penuntut ilmu. Dan bila dia memasuki suatu negeri, puluhan ribu bahkan ratusan ribu kaum Muslimin menyambutnya di perbatasan kota lantaran beberapa hari sebelum kedatangan beliau, telah tersebar informasi akan datangnya Imam Ahlul Hadits, sehingga kaum Muslimin pun berjejal-jejal berdiri di pinggir jalan yang akan dilewati dia hanya untuk sekedar melihat wajah dia atau jikalau bernasib baik, kiranya sanggup bersalaman dengan beliau.
Al-Imam Muhammad bin Abi Hatim meriwayatkan bahwa Hasyid bin Ismail dan seorang lagi (tidak disebutkan namanya), keduanya menceritakan: “Para ulama Ahli Hadits di Bashrah di jaman Al-Bukhari masih hidup merasa lebih rendah pengetahuannya dalam hadits dibanding Al-Imam Al-Bukhari. Padahal dia ini masih muda belia. Sehingga pernah ketika dia berjalan di kota Bashrah, dia dikerumuni para penuntut ilmu. Akhirnya dia dipaksa duduk di pinggir jalan dan dikerumuni ribuan orang yang menanyakan kepada dia banyak sekali dilema agama. Padahal wajah dia masih belum tumbuh rambut pada dagunya dan juga belum tumbuh kumis.”
Datanglah Badai Menghempas
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dielu-elukan dan disanjung orang di mana-mana. Pujian penuh ketakjuban tiba dari segala penjuru negeri, dan dia dijadikan referensi para ulama di masa muda belia. Di ketika penuh kesibukan ibadah dan ilmu yang menghiasi detik-detik kehidupan Al-Bukhari, pada sebagian orang muncul iri dengki terhadap banyak sekali kemuliaan yang Allah limpahkan kepadanya.
Badai itu bermula dari kedatangan dia pada suatu hari di negeri Naisabur dalam rangka menimba ilmu dari para imam-imam Ahli Hadits di sana. Kedatangan dia ke negeri tersebut bukanlah untuk pertama kalinya. Beliau sebelumnya sudah berkali-kali berkunjung ke sana lantaran Nasaibur termasuk salah satu sentra markas ilmu sunnah. Lagi pula di sana terdapat guru beliau, seorang Ahli Hadits yang berjulukan Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli. Pada suatu hari tersebarlah informasi gembira di Naisabur bahwa Muhammad bin Ismail Al-Bukhari akan tiba ke negeri tersebut untuk tinggal padanya beberapa lama.
Bahkan Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli mengumumkan secara khusus di majelis ilmunya dengan menyatakan: “Barangsiapa ingin menyambut Muhammad bin Ismail besok, silakan menyambutnya lantaran saya akan menyambutnya.” Maka masyarakat luas pun bergerak mengadakan persiapan untuk menyambut kedatangan Imam besar Ahli Hadits di kota mereka.
Di hari kedatangan Imam Al-Bukhari itu, ribuan penduduk Naisabur bergerombol di pinggir kota untuk menyambutnya. Di antara yang berkerumun menunggu kedatangan dia itu ialah Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli bersama para ulama lainnya.
Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ya’qub Al-Akhram bahwa ketika Al-Bukhari hingga di pintu kota Naisabur, yang menyambutnya sebanyak empat ribu orang berkuda, di samping yang menunggang keledai dan himar serta ribuan pula yang berjalan kaki.”
Imam Muslim bin Al-Hajjaj menceritakan: “Ketika Muhammad bin Ismail tiba ke Naisabur, semua pejabat pemerintah dan semua ulama menyambutnya di batas negeri.”
Ketika Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari hingga di Naisabur, para penduduk menyambutnya dengan penyambutan yang demikian besar dan agung. Beribu-ribu orang berkerumun di kawasan tinggal dia setiap harinya untuk menanyakan kepada dia banyak sekali dilema agama dan khususnya banyak sekali kepelikan perihal hadits. Akibatnya banyak sekali majelis ilmu para ulama yang lainnya menjadi sepi pengunjung. Dari alasannya ini mungkin timbul ketidakenakan di hati sebagian ulama itu terhadap Al-Bukhari.
Di hari ketiga kunjungan dia ke Naisabur, terjadilah kejadian yang amat disesalkan itu. Diceritakan oleh Ahmad bin Adi kejadian itu terjadi sebagai berikut:
Telah menceritakan kepadaku sekelompok ulama bahwa ketika Muhammad bin Ismail hingga ke negeri Naisabur dan orang-orang pun berkumpul mengerumuninya, maka timbullah kedengkian padanya dari sebagian ulama yang ada pada waktu itu. Sehingga mulailah diberitakan kepada para ulama Ahli hadits bahwa Muhammad bin Ismail beropini bahwa lafadh dia ketika membaca Al-Qur’an ialah makhluk.
Pada suatu majelis ilmu, ada seseorang berdiri dan bertanya kepada beliau: “Wahai Abu Abdillah (yakni Al-Bukhari), apa pendapatmu perihal orang yang menyatakan bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an ialah makhluk? Apakah memang demikian atau lafadh orang yang membaca Al-Qur’an itu bukan makhluk?”
Mendengar pertanyaan itu, dia berpaling lantaran tidak mau menjawabnya. Akan tetapi si penanya mengulang-ulang terus pertanyaannya hingga hingga ketiga kalinya seraya memohon dengan sangat semoga dia menjawabnya. Al-Bukhari pun alhasil menjawab dengan mengatakan: “Al-Qur’an kalamullah (perkataan Allah) dan bukan makhluk. Sedangkan perbuatan hamba Allah ialah makhluk, dan menguji orang dalam dilema ini ialah perbuatan bid’ah.”
Dengan jawaban dia ini, si penanya membikin ricuh di majelis dan menyampaikan perihal Al-Bukhari: “Dia telah menyatakan bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an ialah makhluk.” Akibatnya orang-orang di majelis itu menjadi ricuh dan mereka pun segera membubarkan diri dari majelis itu dan meninggalkan dia sendirian. Sejak itu Al-Bukhari duduk di kawasan tinggalnya dan orang-orang pun tidak lagi mau tiba kepada beliau.”
Al-Khatib Al-Baghdadi meriwayatkan dari Ahmad bin Muhammad bin Ghalib dengan sanadnya dari Muhammad bin Khasynam menceritakan: “Setelah orang meninggalkan Al-Bukhari, orang-orang yang meninggalkan dia itu sempat tiba kepada dia dan mengatakan: “Engkau mencabut pernyataanmu semoga kami kembali berguru di majelismu.” Beliau menjawab: “saya tidak akan mencabut pernyataan saya kecuali bila mereka yang meninggalkanku memperlihatkan hujjah (argumentasi) yang lebih kuat dari hujjahku.”
Kata Muhammad bin Khasynam: “Sungguh saya amat kagum dengan tegarnya dan kokohnya Al-Bukhari dalam berpegang dengan pendirian.”
Kaum Muslimin di Naisabur gempar dengan kejadian ini dan alhasil arus fitnah melibatkan pula Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli sehingga dia menyatakan di majelis ilmu dia yang kini telah ramai kembali setelah orang meninggalkan majelis Al-Bukhari: “Ketahuilah, sebetulnya siapa saja yang masih mendatangi majelis Al-Bukhari, dihentikan tiba ke majelis kita ini. Karena orang-orang di Baghdad telah memberitakan melalui surat kepada kami bahwa orang ini (yakni Al-Bukhari) menyampaikan bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an ialah makhluk. Kata mereka yang ada di Baghdad bahwa Al-Bukhari telah dinasehati untuk jangan berkata demikian, tetapi dia terus menyampaikan demikian. Oleh lantaran itu, jangan ada yang mendekatinya dan barangsiapa mendekatinya maka janganlah mendekati kami.”
Tentu saja dengan telah terlibatnya Imam Adz-Dzuhli, fitnah semakin meluas. Hal ini terjadi lantaran Adz-Dzuhli ialah imam yang sangat besar lengan berkuasa di seluruh wilayah Khurasan yang beribukota di Naisabur itu. Bahkan lebih lanjut Al-Imam Adz-Dzuhli menegaskan: “Al-Qur’an ialah kalamullah (yakni firman Allah) dan bukan makhluk dari segala sisinya dan dari segala keadaan. Maka barangsiapa yang berpegang dengan prinsip ini, sungguh dia tidak ada keperluan lagi untuk berbicara perihal lafadhnya ketika membaca Al-Qur’an atau omongan yang serupa ini perihal Al-Qur’an.
Barangsiapa yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, maka sungguh dia telah kafir dan keluar dari iman, dan harus dipisahkan dari istrinya serta dituntut untuk taubat dari ucapan yang demikian. Bila dia mau taubat maka diterima taubatnya. Tetapi bila tidak mau taubat, harus dipenggal lehernya dan hartanya menjadi rampasan Muslimin serta tidak boleh dikubur di pekuburan kaum Muslimin. Dan barangsiapa yang bersikap abstain dengan tidak menyatakan Al-Qur’an sebagai makhluk dan tidak pula menyatakan Al-Qur’an bukan makhluk, maka sungguh dia telah ibarat orang-orang kafir. Barangsiapa yang menyatakan “lafadhku ketika membaca Al-Qur’an ialah makhluk”, maka sungguh dia ialah Ahli Bid’ah (yakni orang yang sesat). Tidak boleh duduk bercengkrama dengannya dan tidak boleh diajak bicara. Oleh lantaran itu, barangsiapa setelah klarifikasi ini masih saja mendatangi tempatnya Al-Bukhari, maka curigailah ia lantaran tidaklah ada orang yang tetap duduk di majelisnya kecuali dia semadzhab dengannya dalam kesesatannya.”
Dengan pernyataan Adz-Dzuhli mirip ini, berdirilah dari majelis itu Imam Muslim bin Hajjaj dan Ahmad bin Salamah. Bahkan Imam Muslim mengirimkan kembali kepada Adz-Dzuhli seluruh catatan riwayat hadits yang didapatkannya dari Imam Adz-Dzuhli, sehingga dalam Shahih Muslim tidak ada riwayat Adz-Dzuhli dari banyak sekali sanad yang ada padanya.
Sikap Imam Muslim bin Hajjaj dan Ahmad bin Salamah yang mirip itu menyebabkan Adz-Dzuhli semakin murka sehingga dia pun menyatakan: “Orang ini (yakni Al-Bukhari) tidak boleh bertempat tinggal di negeri ini bersama aku.”
Kemarahan Adz-Dzuhli mirip ini sangat menggusarkan Ahmad bin Salamah, salah seorang pembela Al-Bukhari. Dia segera mendatangi Al-Bukhari seraya mengatakan: “Wahai Abu Abdillah (yakni Al-Bukhari), orang ini (yakni Adz-Dzuhli) sangat besar lengan berkuasa di Khurasan, khususnya di kota ini (yakni kota Naisabur). Dia telah terlalu jauh dalam berbicara perihal kasus ini sehingga tak seorang pun dari kami bisa menasehatinya dalam kasus ini. Maka bagaimana pendapatmu?”
Al-Imam Al-Bukhari amat paham kegusaran muridnya ini sehingga dengan penuh kasih sayang dia memegang jenggot Ahmad bin Salamah dan membaca surat Ghafir 44 yang artinya: “Dan saya serahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” Kemudian dia menunduk sambil berkata: “YA Allah, sungguh Engkau tahu bahwa saya tinggal di Naisabur tidaklah bertujuan jahat dan tidak pula bertujuan dengan kejelekan. Engkau juga mengetahui ya Allah, bahwa saya tidak memiliki ambisi untuk memimpin. Hanyasaja lantaran saya terpaksa pulang ke negeriku lantaran para penentangku telah menguasai keadaan. Dan sungguh orang ini (yakni Adz-Dzuhli) membidikku semata-mata lantaran hasad (dengki) terhadap apa yang Allah telah berikan kepadaku daripada ilmu.” Wajah dia sendu menyimpan kekecewaan yang mendalam. Dan dia menatap Ahmad bin Salamah dengan mantap sambil berkata: “wahai Ahmad, saya akan meninggalkan Naisabur besok semoga kalian terlepas dari banyak sekali problem tanggapan omongannya (yakni omongan Adz-Dzuhli) lantaran alasannya keberadaanku.” Segera setelah itu Al-Bukhari bersiap-siap untuk mempersiapkan keberangkatannya besok kembali ke negeri Bukhara.
Rencana Al-Bukhari untuk pulang ke negeri Bukhara sempat diberitakan oleh Ahmad bin Salamah kepada segenap kaum Muslimin di Naisabur, tetapi mereka tidak ada yang berselera untuk melepasnya di batas kota. Sehingga Al-Imam Al-Bukhari dilepas kepulangannya oleh Ahmad bin Salamah saja dan dia berjalan sendirian menempuh jalan darat yang jauh menuju negerinya yaitu Bukhara. “Selamat tinggal Naisabur, rasanya mustahil lagi saya berjumpa denganmu.”
Badai Di Negeri Bukhara
Di negeri Bukhara telah tersebar informasi bahwa Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari sedang menuju Bukhara. Penduduk Bukhara melaksanakan banyak sekali persiapan untuk menyambutnya di pintu kota. Bahkan diceritakan oleh Ahmad bin Mansur Asy-Syirazi bahwa dia mendengar dari banyak sekali orang yang menyaksikan kejadian penyambutan Al-Bukhari di negeri Bukhara, dikatakan bahwa masyarakat membangun gapura penyambutan di kawasan yang berjarak satu farsakh (kurang lebih 5 km) sebelum masuk kota Bukhara. Dan ketika Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari telah hingga di gapura “selamat datang” tersebut, dia mendapati hampir seluruh penduduk negeri Bukhara menyambutnya dengan penuh suka cita, sampai-sampai disebutkan bahwa penduduk melemparkan kepingan emas dan perak di jalan yang akan diinjak oleh telapak kaki Al-Bukhari. Mereka berdiri di kedua sisi saluran kota Bukhara sambil berebut memperlihatkan buah anggur yang istimewa kepada sang Imam Ahlul Hadits yang amat mereka cintai itu.
Tetapi suka cita penduduk negeri Bukhara ini tidak berlangsung lama. Beberapa hari setelah itu para hebat fikih mulai bingung dengan beberapa perubahan pada cara beribadah orang-orang Bukhara. Yang berlaku di negeri tersebut ialah madzhab Hanafi, sedangkan Al-Bukhari mengajarkan hadits sesuai dengan pengertian Ahli Hadits yang tidak terikat dengan madzhab tertentu sehingga yang nampak pada masyarakat ialah sikap-sikap yang diajarkan oleh Ahli Hadits, dan bukan pengamalan madzhab Hanafi. Orang dalam beriqamat untuk shalat jamaah tidak lagi menggenapkan bacaan qamat mirip adzan, tetapi membaca qamat dengan satu-satu sebagaimana yang ada dalam hadits-hadits shahih. Ketika bertakbir dalam shalat semula tidak mengangkat tangan sebagaimana madzhab Hanafi, kini mereka bertakbir dengan mengangkat tangan.
Dengan banyak sekali perubahan ini keresahan para ulama fiqih tambah menjadi-jadi sehingga tokoh ulama fiqih di negeri tersebut yang berjulukan Huraits bin Abi Wuraiqa’ menyatakan perihal Al-Imam Al-Bukhari: “Orang ini pengacau. Dia akan merusakkan kehidupan keagamaan di kota ini. Muhammad bin yahya telah mengusir dia dari Naisabur, padahal dia imam Ahli Hadits.”
Maka Huraits dan kawan-kawannya mulai berusaha untuk mensugesti gubernur Bukhara semoga mengusir Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari ini. Gubernur negeri ini yang berjulukan Khalid bin Ahmad As-Sadusi Adz-Dzuhli.
Gubernur Khalid pernah meminta Al-Bukhari untuk tiba ke istananya guna mengajarkan kitab At-Tarikh dan Shahih Al-Bukhari bagi anak-anaknya. Tetapi Al-Imam Al-Bukhari menolak seruan gubernur tersebut dengan mengatakan: “Aku tidak akan menghinakan ilmu ini dan saya tidak akan membawa ilmu ini dari pintu ke pintu. Oleh lantaran itu bila anda memerlukan ilmu ini, maka hendaknya anda tiba saja ke masjidku, atau ke rumahku. Bila sikapku yang demikian ini tidak menyenangkanmu, engkau ialah penguasa. Silakan engkau melarang saya untuk membuka majelis ilmu ini semoga saya punya alasan di sisi Allah di hari selesai zaman bahwa saya tidaklah menyembunyikan ilmu (tetapi dihentikan oleh penguasa untuk menyampaikannya).” Tentu gubernur Khalid dengan jawaban ini sangat kecewa. Maka berkumpullah padanya penghasutan Huraits bin Abil Wuraqa’ dan kawan-kawan serta kekecewaan pribadi gubernur ini. Huraits dan gubernur Khalid alhasil setuju untuk membikin planning mengusir Muhammad bin Ismail dari Bukhara. Lebih-lebih lagi telah tiba surat dari Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli dari Naisabur kepada gubernur Khalid bin Ahmad As-Sadusi Adz-Dzuhli di Bukhara yang memberitakan bahwa Al-Bukhari telah menampakkan perilaku menyelisihi sunnah Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Dengan demikian matanglah planning pengusiran Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dari negeri Bukhara.
Upaya pengusiran itu bermula dengan dibacakannya surat Muhammad bin yahya Adz-Dzuhli di hadapan segenap penduduk Bukhara perihal tuduhan dia kepada Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari bahwa dia telah berbuat bid’ah dengan menyampaikan bahwa “lafadhku ketika membaca Al-Qur’an ialah makhluk”. Tetapi dengan pembacaan surat, penduduk Bukhara pada umumnya tidak mau peduli dengan tuduhan tersebut dan terus memuliakan Al-Imam Al-Bukhari. Namun gubernur Khalid alhasil mengusirnya dengan paksa sehingga Al-Imam Al-Bukhari sangat kecewa dengan perlakuan ini. Dan sebelum keluar dari negeri Bukhara, dia sempat mendoakan celaka atas orang-orang yang terlibat pribadi dengan pengusirannya. Ibrahim bin Ma’qil An-Nasafi menceritakan: “Aku melihat Muhammad bin Ismail pada hari dia diusir dari negeri Bukhara, saya mendekat kepadanya dan saya bertanya kepadanya: “Wahai Abu Abdillah, apa perasaanmu dengan pengusiran ini?” Beliau menjawab: “Aku tidak peduli selama agamaku selamat.”
Al-Bukhari meninggalkan Bukhara dengan penuh kekecewaan dan dilepas penduduk Bukhara dengan penuh kepiluan. Beliau berjalan menuju desa Bikanda kemudian berjalan lagi ke desa Khartanka, yang keduanya ialah desa-desa negeri Samarkan. Di desa terakhir inilah dia jatuh sakit dan dirawat di rumah salah seorang kerabatnya penduduk desa tersebut.
Dalam suasana hati yang terluka, tubuhnya yang kurus kering di usia ke enampuluh dua tahun, dia berdoa mengadukan segala kepedihannya kepada Allah Ta`ala: “Ya Allah, bumi serasa sempit bagiku. Tolonglah ya Allah, Engkau panggil saya keharibaan-Mu.” Dan sesaat setelah itu ia pun menghembuskan nafas terakhir dan selamat tinggal dunia yang penuh onak dan duri.
Pembelaan Al-Bukhari
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari mengakhiri hidupnya di desa Khartanka, Samarkan pada malam Sabtu di malam hari Raya Fitri (Iedul Fitri) 1 Syawsal 256 H. sebelum menghembuskan nafas yang terakhir, dia sempat berwasiat semoga mayatnya nanti dikafani dengan tiga lapis kain kafan tanpa imamah (ikat kepala) dan tanpa baju. Dan dia berwasiat semoga kain kafannya berwarna putih. Semua wasiat dia itu dilaksanakan dengan baik oleh kerabat dia yang merawat jenasahnya. Beliau dikuburkan di desa itu di hari Iedul Fitri 1 Syawal 256 H setelah shalat Dhuhur. Dan seketika selesai pemakamannya, tersebarlah basi harum dari kuburnya dan terus semerbak basi harum itu hingga berhari-hari.
Gubernur Bukhara Khalid bin Ahmad Adz-Dzuhli menuai hasil dari kedhalimannya dengan datangnya keputusan pencopotan terhadap jabatannya dari Khalifah Al-Muktamad lantaran tuduhan ikut terlibat pemberontakan Ya’qub bin Al-Laits terhadap Khilafah Ath-Thahir. Khalid bin Ahmad alhasil dipenjarakan di Baghdad hingga mati di penjara pada tahun 269 H. Sedangkan Huraits bin Abil Waraqa’ ditimpa kehancuran pada anak-anaknya yang berbuat tidak senonoh. Para penentang Imam Bukhari menyatakan penyesalannya dan kesedihannya dengan wafatnya dia dan sebagian mereka sempat mendatangi kuburnya.
Mulailah setelah itu orang berani membuatkan pembelaan Al-Imam Al-Bukhari dari segala tuduhan miring terhadap dirinya. Tetapi banyak sekali pembelaan itu selama ini karam dalam hiruk pikuk fitnah tuduhan keji terhadap diri beliau. Dan Allah Maha Adil terhadap hamba-hamba-Nya.
Muhammad bin Nasir Al-Marwazi mempersaksikan bahwa Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari menyatakan: “Barangsiapa yang menyampaikan bahwa saya telah beropini bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an ialah makhluk, maka sungguh dia ialah pendusta, lantaran sebetulnya saya tidak pernah menyampaikan demikian.”
Abu Amr Ahmad bin Nasir An-Naisaburi Al-Khaffaf mempersaksikan bahwa Al-Imam Al-Bukhari telah menyampaikan kepadanya: “Wahai Abu Amir, hafal baik-baik apa yang saya ucapkan: Siapa yang menyangka bahwa saya beropini bahwa lafadhku perihal Al-Qur’an ialah makhluk, baik dia dari penduduk Naisabur, Qaumis, Ar-Roy, Hamadzan, Hulwan, Baghdad, Kuffah, Basrah, Makkah, atau Madinah, maka ketahuilah bahwa yang menyangka saya demikian itu ialah pendusta. Karena sebetulnya saya tidaklah menyampaikan demikian. Hanya saja saya mengatakan: Segenap perbuatan hamba Allah itu ialah makhluk.”
Yahya bin Said mengatakan: “Abu Abdillah Al-Bukhari telah berkata: Gerak-gerik hamba Allah, bunyi mereka, tingkah laris mereka, segala goresan pena mereka ialah makhluk. Adapun Al-Qur’an yang dibaca dengan bunyi huruf-huruf tertentu, yang ditulis di lembaran-lembaran penulisan Al-Qur’an, yang dihafal di hati para penghafalnya, maka semua itu adlaah kalamullah (perkataan Allah) dan bukan makhluk.”
Ghunjar membawakan riwayat dengan sanadnya hingga ke Al-Firabri, dia menyampaikan bahwa Al-Bukhari telah mengatakan: “Al-Qur’an kalamullah dan bukan makhluk. Barangsiapa yang menyampaikan bahwa Al-Qur’an itu makhluk maka sungguh dia telah kafir.” Bahkan Al-Imam Al-Bukhari menulis kitab khusus dalam dilema ini dengan judul Khalqu Af`alil Ibad yang padanya dia menjelaskan pendirian dia dalam dilema ini dengan gamblang dan terperinci serta lengkap dan ilmiah.
Fitnah itu memang kejam, lebih kejam dari pembunuhan. Dia tidak akan menentukan antara orang jahil atau orang alim dari kalangan ulama. Dan ulama pun bisa salah dalam memperlihatkan penilaian, lantaran yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) hanyalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Orang-orang yang menyakini bahwa ulama itu ma’shum hanyalah para hebat bid’ah dari kalangan Rafidlah (Syiah) atau orang-orang sufi. Demikian pula orang-orang yang mencerca ulama lantaran kesalahannya semata tanpa mempertimbangkan apakah kesalahan itu lantaran kesalahan ijtihad ataukah kesalahan prinsip yang tak termaafkan, yang demikian ini ialah perilaku sufaha’ (orang-orang dungu) semacm sururiyyun (pengikut Muhammad bin Surur) atau haddadiyyun (pengikut Mahmud Al-Haddad). Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak menganggap para ulama itu ma’shum dan tidak pula melecehkan ulama ketika mendapati kesalahan mereka. Dengan prinsip inilah kita tetap memuliakan Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Dan juga kita memuliakan Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli. Kita mendoakan rahmat Allah bagi para imam-imam tersebut. Dan kita memahami segala perselisihan di kalangan mereka dengan ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk mengerti mana yang benar untuk kita ikuti dan mana yang salah untuk kita tinggalkan.
Ahlus Sunnah wal Jamaah itu berkata dan berbuat dengan bersandarkan kepada ilmu. Adalah bukan watak Ahlus Sunnah wal Jamaah bila segerombolan orang berbuat hura-hura dan kemudian menvonis seseorang atau sekelompok orang. Tertapi ketika ditanyai, apa dasar kau berbuat demikian? Jawabannya: Kami masih menunggu aliran dari ulama!
Kita katakan kepada mereka ini: “Apalagi yang kalian tunggu dari ulama setelah kalian berbuat, menvonis dan menilai? Apakah kalian berbuat dulu gres mencari pembenaran terhadap perbuatan kalian dengan aliran ulama? Kalau begitu yang kalian tunggu ialah aliran pembenaran dari ulama terhadap perbuatan kalian. tentu yang demikian ini bukanlah watak Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Gubernur Bukhara Khalid bin Ahmad As-Sadusi dan mufti negeri Bukhara Huraits bin Abil Waraqa’ telah menyimpan ketidaksenangan kepada Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dan berencana untuk mengusirnya dari negeri Bukhara. Ketika sedang mencari-cari alasan pembenaran terhadap perbuatannya tiba-tiba tiba surat dari Al-Imam Muhammad bin yahya Adz-Dzuhli dari Naisabur yang memperingatkan sang gubernur dari ancaman bid’ah yang dibawa oleh Al-Imam Al-Bukhari. Surat ini mirip kata pepatah: pucuk dicita ulam tiba. Tanpa selidik dan tanpa teliti, segera surat ini dibacakan di hadapan penduduk Bukhara dan setelah itu datanglah keputusan pengusiran Al-Bukhari dari negeri kelahirannya, sehingga yang diharapkan, kesan orang bahwa pengusiran itu lantaran semata-mata alasan agama dan bukan alasan yang lainnya.
Tetapi Allah Maha Tahu dan Dia membongkar segala kejahatan di balik alasan-alasan yang menggunakan atribut agama itu. Sehingga yang tertulis dalam sejarah Islam hingga hari ini ialah kesan buruk terhadap perbuatan Khalid bin Ahmad As-Sadusi dan Huraits bin Abil Waraqa’. Dan bukan kesan buruk yang dibikin-bikin oleh para pencoleng aliran ulama itu. Camkanlah! Pengkhianatan dan kedustaan itu berulang-ulang terus dari masa ke masa. Hanya saja pemainnya yang berganti-ganti. Tetapi semua itu akan menjadi sejarah bagi anak cucu di belakang hari sebagaimana sejarah pengkhianatan dan kedustaan terhadap Al-Imam Al-Bukhari yang kini menjadi pergunjingan bagi generasi ini.
Sumber: http://alghuroba.org/