Bpjs, Bapak Presiden Joko Widodo ‘Sehat’?

Ridhmedia
05/09/19, 18:16 WIB

[]  Terus terang saya terpaksa menulis kembali kasus BPJS ini lantaran jalan keluar yang diambil pemerintah benar-benar sudah sangat mendzolimi rakyat. Sebelum mengurai lebih jauh soal BPJS, saya sertakan hasil liputan portal info kompas tanggal 7 Agustus 2019 berjudul “Jangankan untuk Denda, Bayar Iuran BPJS Saja Kami Telat”.

Suparni (55), istri almarhum Sabbarudin, warga Desa Gondang Karang Rejo, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, mengaku tidak mempunyai uang untuk membayar denda keterlambatan BPJS.

“Jangankan untuk membayar denda, untuk membayar iuran bulanan saja terlambat,” ujar Suparni, Rabu (7/8/2019).

Akhirnya Lilik Puryani, anak Suparni, terpaksa menjaminkan sepeda motor untuk mengambil mayat ayahnya yang dirawat dan meninggal dunia di RSI Madiun.

Lilik Puryani mengatakan, ketika itu pihak rumah sakit tiba-tiba menyodorkan pembayaran sebesar Rp 6.800.000 ketika keluarga akan membawa pulang mayat Sabbarudin. Keluarga yang tidak mempunyai uang untuk membayar jadinya menjaminkan sepeda motor kepada pihak rumah sakit.

Kepala Bagian Keuangan RSI Siti Aisyiah Kota Madiun Fitri Saptaningrum didampingi Humas dan Pemasaran Syarif Hafiat mengatakan, mekanisme di rumah sakit, biaya pasien harus dibayar lunas sebelum keluar dari rumah sakit.

Menurut Fitri, ketika itu pasien tidak didanai BPJS. Sebab, masih ada denda keterlambatan pembayaran premi BPJS yang belum dibayar.

Dalam kasus diatas, seharusnya pemerintah yang turun tangan dengan membebaskan beban yang dialami keluarga Suparni. Derita yang dialami Suparni betul-betul sangat tragis. Suparni ditinggal suaminya meninggal, kemudian keluarganya harus menanggung beban lantaran terpaksa harus menjaminkan sepeda motor pada pihak RSI Madiun biar dapat mengambil mayat suaminya dari rumah sakit.

Penderitaan yang hampir sama dialami masyarakat perkotaan akhir BPJS ini. Tetangga saya di Kompleks Perumahan Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang Selatan mengeluh:

“Saya sudah punya kartu berobat keluarga yang diberikan kantor. Eh ketika anak saya diterima di sekolah tinggi tinggi pemerintah, diminta untuk menciptakan kartu BPJS untuk anak saya sebagai syarat kewajiban siswa. Saat mengurusnya, pihak BPJS menyatakan pembuatan kartu BPJS sesuai kartu keluarga dimana terdaftar nama ayah, ibu dan beberapa anak. Mereka bilang harus semua bikin BPJS dan setor dananya sesuai daftar nama di Kartu Keluarga. Makara pemerintah mewajibkan semua orang untuk miliki BPJS, tidak peduli mereka yang sudah mempunyai asuransi atau jaminan kesehatan dari kantor”.

Hal yang sama disampaikan salah satu pendengar Radio Dakta di Bekasi ketika saya menjadi nara sumber tetap di radio tersebut. Kini isu BPJS sudah menjadi kasus masyarakat akhir ketidakbecusan pemerintah khususnya Kementerian Keuangan terutama PT BPJS Kesehatan dalam mengola dana masyarakat untuk aktivitas derma kesehatan.

Program BPJS Kesehatan diberlakukan 1 Januari 2014. Program ini mengganti asuransi kesehatan dari pemerintah yang dikenal dengan Askes. BPJS Kesehatan membagi pesertanya menjadi dua kategori yakni PBI (Penerima Bantuan Iuran) dan penerima BPJS Kesehatan.

Peserta BPJS Kesehatan dibagi dalam tiga kelas yakni kelas tiga, kelas dua, dan kelas satu yang iurannya berbeda. Setelah dinaikkan per 1 April 2016, iuran BPJS Kesehatan untuk kelas satu Rp 80 ribu/bulan, kelas dua Rp 51 ribu/bulan, dan kelas tiga Rp 25.500/bulan. Tahun 2020, iuran BPJS kembali akan dinaikkan kecuali penerima BPJS berdikari kelas tiga.

Alih-alih pemerintah dapat menunjukkan derma dan jaminan kesehatan secara gratis kepada masyarakat miskin, yang terjadi kini pemerintah justru merampok uang rakyat melalui kewajiban membayar iuran BPJS. Kalau membandel, pengurusan surat-surat akan dipersulit. Bahkan yang lebih serem lagi pemerintah melalui PT BPJS akan menagih iuran BPJS secara door to door ke rumah-rumah penduduk.

Sebenarnya selama ini masyarakat ditipu oleh BPJS Kesehatan. BPJS bukanlah jaminan kesehatan bagi masyarakat. Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa BPJS ialah jaminan kesehatan dari pemerintah, padahal BPJS itu fungsinya tidak lebih dari asuransi.

BPJS didanai dari uang pribadi masyarakat. Pemerintah meminta masyarakat menyetor sejumlah uang untuk dikumpulkan dan nantinya dipakai untuk biaya pengobatan.

Seluruh uang yang disetorkan masyarakat kemudian dihimpun oleh PT BPJS Kesehatan. Lalu uang tersebut dialokasikan untuk membiayai pengobatan anggota BPJS yang sedang sakit.

Sekali lagi, dana ini sebetulnya berasal dari masyarakat dan bukan dana APBN. Sekarang pemerintah telah mewajibkan seluruh masyarakat untuk membayar iuran BPJS. Sementara dana yang dikumpulkan secara massif tersebut hanya dipakai sebagian saja yakni hanya untuk anggota masyarakyat yang sedang sakit.

BPJS ialah kamuflase pemerintah untuk menutupi penyelewengan dana subsidi BBM. Banyak diantara masyarakat yang mengira BPJS didanai dari pengalihan subsidi dari BBM ke bidang kesehatan.

Masyarakat lupa bahwa setiap bulannya mereka harus menyetor dana minimal Rp 25.000 per bulan. Saat ini
penerima BPJS berjumlah sekitar 168 juta orang. Dengan demikian, jumlah dana BPJS yang dihimpun dari masyarakat oleh pemerintah mencapai lebih dari Rp.4,2 tilyun per bulan atau lebih dari Rp 50,4 trilyun per tahun.

Itu uang yang dikumpulkan eksklusif dari masyarakat, bukan dari sektor pajak atau pengalihan subsidi BBM. Kok kini tiba-tiba PT BPJS kesehatan mengalami defisit keuangan sebesar Rp 32 trilyun. Makara semakin terperinci bahwa BPJS merupakan sebuah tubuh perjuangan yang fungsinya sebagai pengeruk laba bagi pemerintah. BPJS Kesehatan bukan mengelola dana khusus dari APBN untuk jaminan kesehatan.

Dengan adanya BPJS, pemerintah sama sekali tidak pernah menunjukkan jaminan kesehatan gratis kepada masyarakat. Padahal selama ini pemerintah selalu membuatkan propaganda bahwa BPJS ialah subsidi kesehatan gratis dari pemerintah. Padahal pemerintah tidak mengeluarkan biaya sepeserpun untuk BPJS. Dan BPJS itu murni seribu persen berasal dari dana masyarakat.

Dengan biaya iuran BPJS sebesar Rp 25.000 per bulan, seharusnya masyarakat memperoleh kualitas pelayanan kesehatan maksimum di rumah sakit yakni di kelas VIP.

Namun lantaran PT BPJS Kesehatan kini didaulat untuk menjadi Badan Usaha yang bertugas menunjukkan laba sebesar-besarnya terhadap pemerintah, maka tidak heran jika pasien penerima BPJS banyak yang dibatasi penggunaan obatnya di RS.

BPJS tidak mengcover obat-obatan yang bermutu bagus. Alhasil pasien cuma mendapat obat-obatan ala kadarnya. BPJS ialah pesan faktual dari Pemerintah yang artinya “Masyarakat miskin dihentikan sakit”.

Wajar jika kita beropini demikian, alasannya tidak dapat kita pungkiri bahwa pelayanan kesehatan bagi penerima BPJS sangat jauh dari kelayakan.

Bayangkan saja jika pasien tidak ada uang untuk menebus resep obat yang tidak dicover oleh BPJS, mungkin bukan malah jadi sehat, pasien justru cuma dapat pasrah menahan sakit. Apakah ini yang disebut dengan Jaminan Kesehatan ?

BPJS ialah bentuk pengingkaran terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan, Pasal 34 ayat 2 yang menyebutkan bahwa negara wajib menunjukkan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penulis: Tjahja Gunawan
Komentar

Tampilkan

Terkini