Ketika Rakyat Murung Asap, Pejabat Pesta Suap?

Ridhmedia
17/09/19, 17:18 WIB

[]  Duka asap karena karhutla tampaknya akan menjadi masakan pokok rakyat. Pasalnya karhutla ini selalu terjadi berulang setiap tahun. Namun, masakan pokok ini bukannya mengenyangkan dan menciptakan tentram, tapi menjadi racun yang mematikan. Beberapa hari yang lalu, tersiar kabar bayi usia 4 bulan di Sumatera Selatan meninggal jawaban sesak nafas dikarenakan terkena Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) jawaban fenomena kabut asap. Korban sempat dirawat sebelum kesudahannya dinyatakan meninggal dunia.

Lagi-lagi masyarakat menjadi korban. Efek asap ini pun tidak hanya di lingkup lokal namun sudah merambat ke negara tetangga yakni Malaysia dan Singapura. Wajar kalau negara tetangga tersebut protes. Selain itu, sekolah harus diliburkan karena bawah umur kecil rawan terpapar. Efek asap ini pun selain sangat jelek terhadap kesehatan juga berefek kepada aspek psikologis. Ini sudah menyangkut kenyamanan menjalani kehidupan. Merugikan secara ekonomi karena masyarakat tidak sanggup bekerja secara produktif. Padahal, udara higienis ialah kebutuhan fundamental yang harusnya dijamin oleh pemegang kebijakan sebagai bentuk pengurusannya kepada rakyat.

Beberapa waktu lalu,  sejumlah warga provinsi Riau menggelar agresi dengan memakai masker di lokasi Car Free day, sebagaimana dilansir oleh kompas.com. Mereka membentangkan spanduk dengan goresan pena ‘Riau dibakar bukan terbakar’. Luas lahan yang terbakar jawaban karhutla berdasarkan catatan BNPB ialah seluas 49.266 hektar.

Menurut Peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) Herry Purnomo, dilema kebakaran hutan kebanyakan terjadi karena ulah insan bukan oleh alam. Kebakaran hutan ialah kejahatan terorganisasi karena lebih dari sembilan puluh persen disebabkan insan atau sengaja dibakar. Tujuannya membuka lahan perkebunan (vivanews.com).

Memang, pembakaran hutan biasanya dimaksudkan untuk meraih nilai komersial, contohnya dalam rangka pembukaan lahan perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Pembakaran ini ditempuh oleh perusahaan karena alasan efisiensi, cepat dan murah membersihkan lahan sehingga lahan siap diolah.

Pembukaan lahan yang bermasalah ini dilakukan perusahaan besar yang telah diberi izin mendirikan perjuangan (konsesi lahan) oleh negara bukan pada masyarakat yang luas lahannya kecil. Jaringan Kerja Penyelamatan Hutan Riau (Jikalahari) mengungkapkan bahwa berdasarkan data satelit ada puluhan titik panas indikasi awal kebakaran hutan dan lahan di 13 area perusahaan kehutanan dan kelapa sawit di Provinsi Riau (antaranews.com).

Ironis! Di satu sisi Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sibuk memadamkan api, sementara Pemerintah masih saja sibuk memperlihatkan kewenangan bagi para korporasi (jawapos.com). Tak sedikit fakta bahwa izin tersebut supaya berjalan mulus maka harus ada “uang pemulus”. Suap pejabat untuk menjaul aset negara ialah masalah yang paling banyak ditangkap oleh KPK.

Sebagaimana pernah dijelaskan oleh wakil ketua KPK Laode M.Syarif, sumber daya alam Indonesia kerap disalahgunakan oleh segelintir orang. KPK mencatat, lebih dari 12 masalah korupsi di sektor sumber daya alam sepanjang 2004-2017. Sementara itu, ada lebih dari 24 orang pejabat yang diproses KPK karena terbukti melaksanakan korupsi di sektor kehutanan. Bahkan, di sepanjang 2004-2017, sudah 144 orang anggota dewan yang terlibat. Disusul 25 orang menteri atau kepala lembaga, 175 orang pejabat pemerintah, dan 184 orang pejabat swasta (nasional.tempo.com).

Ketika kita melihat kondisi ini, terang bahwa karhutla dan sedih asap yang dialami rakyat tidak sanggup tidak boleh hanya dengan sekedar sholat meminta hujan. Meski, kebijakan sholat meminta hujan sebetulnya sangat anggun karena ini ialah bentuk permohonan kepada Zat Penguasa Alam. Zat yang Maha segalanya. Namun, harusnya juga diikuti dengan taubat nasional, karena tragedi tersebut terus terjadi karena kelalaian manusia. Karena ulah manusia! Karena keserakahan manusia, sampai menjual aset negara kepada korporasi untuk menerima sekantong uang. Semoga sekantong uang itu tidak digunakan untuk memberi makan keluarga pejabat, karena itu uang haram. Makan dari uang haram kembalinya ke neraka.

Selain itu, harus difahami bahwa fakta untuk mencegah kebakaran hutan ini butuh kebijakan dari pemerintah. Selama ini, ketika izin diberikan kepada pengusaha dalam membuka lahan mereka selalu memakai konsep kapitalis. Menurut konsep ini, membersihkan atau membuka lahan dengan dibakar dinilai paling murah. Sehingga demi keuntungan, nasib masyarakat sekitar tidak pernah dipikirkan.

Pun jikalau ditangkap pelaku individunya ataupun perusahannya, tampaknya juga tidak menciptakan jera. Apalagi jikalau eksekusi yang diberikan dinilai tidak tertegakkan tepat karena ada celah yang sanggup digunakan berkelit. Berulangnya kebakaran di tahun berikutnya ialah buktinya.

Hutan seharusnya dikelola oleh negara, karena ini termasuk di dalam kepemilikan umum sebagaimana Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33. Namun nyatanya, konsep negara selama ini justru tidak tunduk kepada UUDnya sendiri. Justru kapitalismelah yang menaungi negeri ini. Konsep kapitalisme yang kesudahannya memperlihatkan jalan supaya para pemilik modal (kapital) sanggup mengelola sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dan negeri ini telah menjual sebagian besar aset dan sumber daya alamnya kepada swasta bahkan kepada asing. Sedang rakyat hanya menjadi buruh di negerinya bahkan menjadi korban terhadap sikap para korporasi.

Senada dengan konsep Islam, hutan ini termasuk kepemilikan umum. Negaralah yang bertanggung jawab penuh mengelolanya, alasannya hutan termasuk cuilan dari kepemilikan umum yang tidak benar jikalau diberikan kepada individu atau perusahaan swasta sekalipun. Rasulullah bersabda: “Kaum muslim berserikat dalam tiga kasus yaitu padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad)”. Pengelolaan hutan sebagai milik umum dilakukan untuk kemaslahatan rakyat dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian, laba ekonomi, dan kesejahteraan rakyat secara seimbang.

Sudah ketika ini, negeri ini melaksanakan taubat nasional. Taubat untuk tidak lagi mengambil pengaturan kapitalisme untuk mengatur negeri ini. Sebab terang konsep ini telah menyakiti rakyat bahkan merusak rakyat Indonesia. Sudah saatnya negeri ini mau mengikuti hukum dari Tuhan Semesta Alam. Karena hanya dengan hal ini semua permasalahan akan sanggup terselesaikan. Termasuk permasalahan karhutla.

Penulis: Ifa Mufida
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+