Pengamat Intelijen: Waspada, Indonesia Mulai Disusupi Pengondisian Dua Negara Adidaya

Ridhmedia
17/09/19, 02:45 WIB

Waspada, Indonesia Mulai Disusupi Pengondisian Dua Negara Adidaya

Oleh: Marsekal Muda Tentara Nasional Indonesia (Purn) Prayitno Ramelan
(Pengamat intelijen, mantan Penasihat Menteri Pertahanan Bidang Intelijen 2004)

Kamis pagi (12/9/2019) aku diundang oleh Pengurus FKPPI menghadiri seminar dalam rangka HUT ke-41 FKPPI dan HUT ke-60 PEPABRI di Grand Ballroom Hotel Sultan.

Rencana awal aku diminta untuk menjadi narasumber bahaya nasional dari persepsi intelijen, tapi alasannya ialah topik menyerupai jadinya Pak Bob Mangindaan rekan satu tim yang manggung.

Tema syukuran PEPABRI tersebut bertajuk "Rajut Persatuan Indonesia Kokoh" dan tema FKPPI "Bersatu dan Berdaulat dlm Mempertahankan Pancasila, Undang-Undang Dasar 45 dan NKRI".

Seminar dibuka oleh Mantan wapres Jenderal Purn Try Sutrisno. Dan sebagai moderator tokoh utama FKPPI mas Indra Bambang Utoyo (IBU). Juga tampak sebagai narsum bapak Ponco Sutowo Ketum FKPPI, Jenderal Pur Kiki Syahnakri, Ketum PPAD, Deputy Penindakan BNPT serta Jenderal Pur Agum Gumelar (Ketua Pepabri).

Berhubung inti seminar wacana kewaspadaan nasional, menarik yang disampaikan oleh Laksda Purn Robert (Bob) Mangindaan dari Lemhannas yang juga sama-sama aku di team Anstra Kemhan. Makalah yang disampaikan ialah bahaya nasional bagi bangsa Indonesia 2019-2024.

Ini bila dicermati menyerupai sebuah briefing intelijen halus dan terbuka wacana bahaya dari persepsi intelstrat, perlu diketahui bersama untuk menambah wawasan para anggota FKPPI.

Pak Bob memberikan bahwa di dunia sebagai bersaing dua kekuatan besar yaitu AS dan China (Tiongkok) dalam mengembangkan efek kekuasaan (hegemoni). AS sebagai super power sekarang mempunyai 7 instrumen yang sanggup dipergunakan untuk kepentingan nasionalnya dalam memengaruhi menguasai negara lain.

Ketujuh instrumen tadi ialah militer, intelijen, diplomatik, aspek legal, informasi, finance dan ekonomi. Instrumen tersebut sanggup dimainkan baik secara smart, soft maupun hard power sesuai kebutuhan. Selain AS sebagai negara super power, Presiden AS mempunyai kekuatan besar, dinmana Presiden Trump menguasai dana US$70 miliar dan sanggup dipergunakan untuk kepentingan AS dalam berurusan dengan negara lain.

Sementara itu di lain sisi, sang pesaing, China menerapkan taktik One Belt One Road dengan enam instrumen dalam berurusan ("menguasai") negara yang ditarget yaitu psiko-kultural, media informasi, aspek legal, finance, investasi, dan milisia.

Sejak 2007 China mengembangan taktik penguasaan dua Samudera dan sudah mulai diterapkan semenjak 2015 dengan membuatkan 33.000 kapal milisinya.

Nah, dari apa yang disampaikan Pak Bob, aku sepaham dari persepsi intelijen bahwa disadari atau tidak sekarang Indonesia sudah mulai tersusupi/terinfiltrasi upaya conditioning negara lain. Pada 2019 telah terjadi perubahan sosial yang menjadikan krisis identitas, krisis integritas, dan krisis nasionalisme.

Pada 2019 ciri dari krisis berbentuk tindakan pembangkangan, menyerupai pertama, munculnya agresi anarkis, radikalisme dan terorisme. Kedua, terbentuknya biro jaringan hoax dan ketiga, anak bangsa jadi proxy kekuatan global, terjadinya perang sesama anak bangsa dan upaya menghancurkan negerinya sendiri.

Nah, dengan ungkapan tersebut, aku mencoba mengerucutkan, sekarang makin terperinci adanya upaya menguasai Indonesia. AS dan China masing-masing sedang berusaha merebut hati dan pedoman orang dan pejabat Indonesia. Instrumen dari kedua negara sudah dan sedang berjalan.

Apabila diperhatikan tiap instrumen merupakan ancaman. Sebagai pola ada yang disebut sebagai debt trap (jebakan utang China), ada teraba juga upaya memberi signal kepada Presiden Jokowi terkait kasus Papua supaya tidak terlalu dan ngepro ke China.

China lebih fokus ke problem ekonomi bisnis, dengan memengaruhi pejabat dengan instrumen investasi, cengkeramannya lebih lambat tetapi konsisten. Kalau AS memang tidak ingin Indonesia menyerupai Syria atau Yaman, apabila diberi signal tidak juga faham, maka proxy yang akan aktif. Cost mengganti pimpinan nasional lebih murah dan resiko lebih kecil. Itulah operasi intelijen proxy...pinjam tangan.

Kaprikornus kesimpulannya, bahaya Nasional dari luar tidak dalam bentuk perang terbuka tapi lebih kepada upaya proxy serta cara-cara yang ditetapkan dalam masing-masing instrumen sesuai kebutuhan.

Nah, mari kita bersama, khususnya keluarga besar FKPPI, sadari bahwa bahaya luar demikian serius. Tanpa kita perhatikan dan terlebih lagi bila kita tidak tahu, wah harus siap jikalau suatu ketika kita "ngagoler". Salam Pancasila. (Pray)

*Sumber: Kompasiana

Komentar

Tampilkan

Terkini