Sisi Tak Terlihat Dari Perdebatan Perubahan Uu Kpk

Ridhmedia
13/09/19, 19:03 WIB

[]  Saling sanggah yang begitu bising, begitu nyata mengiringi perjalanan rencana perubahan UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diprakarsai DPR. Menariknya saling sanggah yang amat ramai itu, turut diramaikan dengan sejumlah gosip dalam pemilihan Komisioner KPK. Macam-macam isunya, dan ibarat biasanya satu dan lainnya saling menyangkal.

Mau diapakan kenyataan itu? Lupakan atau mengenalinya secara lebih mendalam, yang mau tidak mau harus memasuki sisi-sisi tak terungkap dalam keramaian itu? Dalam kenyataannya pemerintah dan dewan perwakilan rakyat terus bekerja ditengah kenyataan saling sanggah yang terus membara. Presiden telh menunjuk dua menter mewikili dirinya untuk bersama dewan perwakilan rakyat membahas rancangan perubahan UU KPK. Dan dewan perwakilan rakyat telah berhasil menunaikan kewajiban hukumnya menentukan 5 (lima) pimpinan KPK.

Apa yang harus dan pantas disuguhkan dalam mengenali kenyataan yang menghebohkan itu? Inikah cara demokrasi bekerja? Bila tidak, kemudian apa? Demokrasi, suka atau tidak, telah diterima sejauh ini sebagai nilai, entah instrumental atau deliberatif dengan semangat laksana mantra paling ampuh dalam mengelola banyak sekali urusan. Demokrasi sejauh ini memanggil dan menyuguhkan “tanggung jawab” sebagai sebuah nilai esensialnya.

Untuk menggapainya demokrasi menyodorkan postulat bahwa tanggung jawab hanya sanggup direalisir bila cara atau proses bernegara, contohnya seleksi pimpinan satu forum negara terlihat masuk akal, terakses dan tersaji pada setiap kesempatan untuk semua orang, terutama mereka yang menentukan pemerintah dan DPR. Tetapi harus diakui sedari awal adanya demokrasi menyimpan sisi hitam, sisi manipulatif, yang tak tersunguhkan secara terbuka, lantaran romantisme demokrasi itu sendiri.

Kenalilah

Demokrasi memang menyodorkan aturan sebagai perisai terbaiknya, lantaran aturan diyakini merupakan kasus paling netral yang sanggup mendapatkan amanah membentengi demokrasi. Tetapi bila saja ada kemauan untuk menyidik detailnya atau rincian aturan di alam demokrasi akan ditemukan kenyataan demokrasi dan aturan sama-sama mempunyai sisi mematikan, sisi yang mengasingkan dan menjauhkan, contohnya pemilih dari proses bernegara.

Sisi mematikan demokrasi dan aturan yang tidak selalu gampang dikenali, lantaran satu lantaran utama; demokrasi dan aturan terlanjur diterima sebagai pranata tanpa cacat. Premis ini diperumit, dalam makna menguatkan sis menakjubkannya oleh kampanye sistimatis multinasional corporation wacana demokrasidn am huum itu.

Multinational corporation tiba dengan membawa rule of law, supremasi hukum, akuntabilitas dan transparansi sebagai mantra global yang harus dipromosikan bersama semua negara untuk satu kehidupan global yang hebat. Mereka tiba dengan global constitutionalisme atau cosmopolitan constitution, yang dengan itu negara-negara dunia ketiga harus mengintegrasi kehidupan nasional dengan semua yang digaungkan Barat. Gemanya membawa negara-negara non Barat mengabaikan sisi mematikan dan menyengsarakan yang terkandung di dalamnya.

Dalam konteks itu, harus diakui korupsi teridentifikasi sebagai kendala paling mematikan atas persaingan bebas, sebuah iklim perjuangan yang sedari awal diprakarsai oleh kapitalis tulen awal kurun ke-17 di Inggris dan awal kurun ke-20 di Amerika. Suap-menyuap, jual beli jabatan dan kewenangan teridentifikasi oleh kapitalis-kapitalis ini sebagai hal menjijikan dalam semua aspeknya.

Itu sebabnya korupsi dan elemen-elemennya yang serupa harus diisolasi pada setiap sudutnya. Korupsi hasilnya teridentifikasi sebagai iblis yang bergentayangan di dalam rumah, yang siapapun tidak rela membiarkanya. Itu pula sebabnya korupsi harus diusir, dibasmi, diberantas. Tidak ada sisi baik di dalamnya. Itu jelas. Korupsi tak sedikitpun menolong keadilan. Korupsi justru meluluhlantakan keadilan. Korupsi memukul rata kesetaraan, dan pada ketika yang sama mengonsolidasi diskriminasi dalam semua aspeknya, serta menelan habis semua keunggulan sebuah bangsa.

Inilah yang membalut dan teridentifikasi di Indonesia menyusul turbulensi ekonomi dan politik tahun 1998. Kenyataan itu dikristalkan dalam satu kalimat  bernada propagandis “Indonesia berada dalam keadaan darutarat korupsi.” Memeranginya menjadi pilihan masuk nalar yang tersedia. Pilihan itu muncul ditengah kekacauan politik hampira pada semua lapangan kehidupan politik nasional.

Perbaikan

Tak tersedia pilihan lain selain mengonsolidasi sejumlah aspek demokrasi dalam kehidupan bernegara. Dalam konteks itu Indonesia bergerak kedepan dengan mengkreasikan satu forum baru, KPK sebuah forum negara, yang harus diakui tidak sepenuhnya mempunyai pijakan kokoh di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam sejarahnya forum serupa ditemukan pembentukannya untuk pertama kali di Amerika tahun 1887. Namanya Interstate Commerce Commission, ICC.

Ditunjang kedangkalan pngetahuan sifat aturan forum serupa di Amerika Serikat, KPK disematkan sifatnya aturan sebagai forum negara independen, mandiri. Sifat independen, sanggup bangun diatas kaki sendiri yang merupakan sebuah sifat khas konstitusi untuk kekuasaan kehakimanpun yang dilekatkan pada KPK, mengakibatkan forum ini persis ibarat kekuasaan kehakiman, KPK  bekerja dengan cara yang ditentukan sendiri.

Disitu masalahnya. Rinciannya ialah KPK sebagai forum pelaksana hukum, penegakan hukum, yang merupakan kewenangan derivasi dari kekuasaan presiden sebagai pemegang kekuasaan melakukan aturan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi presiden tak bisa, dengan alasan konstitusional sekalipun, membimbing, mengarahkan, apalagi mengdalikan penegakan aturan yang dijalankan KPK.

Pembatasan jangkauan kekuasaan presiden semakin mengeras dengan konsep criminal justice system, sebuah konsep aturan pidana yang menunjukan penyidikan sebagai cuilan dari rangkaian bekerjanya peradilan pidana. Celaka, lantaran penegakan aturan tidak akan disebut demikian bila tidak ada tindakan penyidikan. Tetapi sialnya tindakan penyidikan ini justru diberi sifat peradilan, sebuah sifat membatasi jangkauan kekuasaan presiden, terlepas dari siapapun orangnya.

Demokrasi yang tiba bersamaan dan atau memanggil rule of law pada kesempatan pertama kehadirannya, dilevel empiris sekalipun, dirangsang kehadirannya dengan kehendak mencegah absolutisme. Pembatasannya dilakukan tidak dengan senjata terkokang, melainkan hukum. Cara lainnya ialah menyebar kewenangan lembaga-lembaga itu secara tumpang tindih biar mereka sanggup saling mengawasi secara berimbang.

Begitulah demokrasi menyodorkan cara mengekang potensi sikap tiranis satu forum terhadap forum lainnya dalam medan aktualisasi kewenangan menyelenggarakan kekuasaan negara. Hanya dengan cara itu pulalah akuntabilitas, transparansi terpancarkan. Hanya itu. Itu sebab, demokrasi yang mempunyai sisi manipulatif akan menertawakan negara apapun yang memungkinkan lembaga-lembaga negara berada di luar pengawasan, teknis maupun politis.

Tetapi biar pengawasan itu tak dilakukan secara sewenang-wenang, demokrasi yang dibalut dengan rule of law menempatkan pada posisi pertama supremasi aturan itu, mengharuskan pengawasan itu harus didefenisikan dalam hukum. Tetapi aturan yang hendak dibentuk itu harus secara sempurna mendefenisikan jangkauan pengawasannya secara rigid. Tanpa itu aturan yang mengatur pengawasan itu justru mematikan forum yang diawasi.

Soal ini penting, lantaran aturan tidak tiba dengan sendirinya. Hukum itu diciptakan oleh penciptanya –badan pembuat UU-  sehingga mereka sanggup mengisinya dengan banyak sekali macam kehendak, yang satu dan lainnya sanggup saling mengasingkan. Termasuk membuat norma yang tidak berkepastian, yang bersyap-sayap pengertiannya, dengan akhir pemegang otoritas dapat, sesuai kewenangannya menentukan sendiri apa yang sanggup dan apa yang tidak sanggup dilakukan. Ini bahayanya. Hukum sanggup melemahkan dan menyengsarakan bangsa.

Hukum tak berkepastian disatu sisi yang terjalin dengan organisasi yang tak sanggup diawasi disisi ekstrim lainnya, dengan alasan apapun tak sanggup dikatakan bukan merupakan panggilan terhadap tindak-tanduk diskriminasi. Tindak-tanduk diskriminasi memang merupakan tipikal organisasi absolut, tetapi untuk masalah tertentu ia menandai secara telanjang tindak-tanduk forum negara di alam demokrasi. Ini harus diluruskan, bukan lantaran demokrasi menentang diskriminasi itu, tetapi budpekerti berkehidupan kebangsaan yang adil mengharuskannya.

Korupsi akan terus ada sepajang aktifitas ekonomi dan politik terus mewarnai dunia. Tidak lebih. Caranya akan berkembang mengikuti kecepatan kreasi dalam menerjangnya. Menerjang korupsi dengan mengandalkan penjara dan memenjarakan sebanyak apapun pelakunya, terang merupakan sebuah solusi yang cukup dalam dan lebar cacatnya. Toh secara empiris, aturan pidana korupsi tak pernah terlihat tangguh sebagai sarana paling mengerikan bagi kapitalis-kapitalis.

Kapitalis dalam korporasi berskala global selalu merupakan entitas paling tangguh berlari cepat melampaui kesadaran masyarakat atas kelakuan negatifnya, korupnya. Merekalah entitas yang tak berhenti menari ditengah perang melawan korupsi. Hukum, selalu begitu di alam empiris tak jago mengekang mereka. Tetapi selemah itu sekalipun, demokrasi dan kehidupan beradab tak sanggup diayuh tanpa hukum.       

Pemilih yang ditakdirkan demokrasi sebagai barang sekali pakai dalam lima tahu, yang tak mempunyai kendali atas hasil pemilu, yang tak pernah tahu siapa yang terpilih menemukan nasib selalu berjarak amat jauh dengan mereka yang dipilih. Pemilih, begitulah demokrasi, tak sanggup mengendalikan mereka yang dipilih, apalagi mengarahkan tindak-tanduk mereka yang dipilih itu. Partisipasi yang merupakan bualan canggih demokrasi, terang tak memungkinkan pemilih menentukan norma macam apa yang pantas dipositifisasi oleh pembuat hukum.

Membuat  hukum, dalam demokrasi sekelas apapun di level global, dan  dalam konteks artikel ini mengubah UU KPK, secara empiris sepenuhnya merupakan pekerjaan para elit politik. Elit-elit ini bukan entitas yang mengayuh langkahnya dengan belas kasih. Sperti itu sekalipun, pemilih mesti tetap merinukan eliti-eliti ini bermurah hati untuk mendefenisikan jangkauan otoritas pengawasan secara rigid, sembari pada ketika yang sama memastikan penegakan aturan merupakan cara membuat keunggulan bangsa menemukan kesempatan untuk bersinar.

Jakarta, 13 September 2019

Penulis: Margarito Kamis

Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+