Pelantikan Jokowi selaku Presiden RI periode kedua (2019-2024) penuh dengan anomali. Aneh, ganjil serta banyak kelainan.
Anomali pertama. Harusnya pelantikan ini menjadi pesta rakyat. Penuh sukacita. Bangsa Indonesia merayakan suksesnya pesta demokrasi. Rakyat malah dijauhkan. Diwaspadai. Ditakuti.
Lihatlah apa yang terjadi di Jakarta hari ini. Suasananya sungguh tegang. Seperti ingin perang. Negara dalam kondisi darurat. Aktivitas warga dibatasi.
Polisi, tentara, sampai petugas Satpol PP bertebaran di sepanjang sudut kota. Banyak diantaranya mengenakan pakaian sipil, mengamati pergerakan warga dengan waspada.
Jalan-jalan utama ditutup buat umum. Ruas jalan di seputar gedung MPR/DPR, seputar istana presiden serta mermacam ruas jalan protokol yang menghubungkannya tidak bisa dilalui.
Jalan-jalan utama itu ditutup aksesnya buat rakyat. Hanya petugas keamanan serta pihak yang berkaitan langsung dengan pelantikan presiden serta wakil presiden yang boleh melaluinya.
Kegiatan car free day, olahraga pekanan warga Jakarta sepanjang jalan MH Thamrin serta Sudirman ditiadakan.
Kawasan Monas juga ditutup buat publik. Kawasan yang biasanya menjadi tempat hiburan murah rakyat kebanyakan itu dijaga ketat aparat keamanan.
Lucunya beberapa kepala daerah seputar Jakarta juga ikut-ikutan paranoid. Walikota Bekasi Rachmat Effendy juga meniadakan kegiatan Car Free Day di Jalan Ahmad Yani. Padahal lokasinya sangat jauh dari tempat pelantikan.
Bupati Bogor Ade Yasin mengancam guru serta orang tua yang pelajar atau anaknya ikut unjukrasa menentang pelantikan.
Anomali kedua. Polisi memberlakukan larangan unjukrasa. Larangan berlaku hampir sepekan. Sejak Selasa (15/10) sampai ketika pelantikan Ahad (20/10).
Unjukrasa, menyampaikan ekspresi politik, pendapat secara lisan serta tulisan ialah hak konstitusional warga negara. Dalam negara demokrasi seperti Indonesia dijamin konstitusi.
Polisi tetap bersikeras melarang unjukrasa kendati Presiden Jokowi mempersilakan rakyat serta mahasiswa turun ke jalan. Presiden malah sempat mengaku rindu didemo.
Anomali ketiga, TNI serta peralatan tempur dikerahkan secara besar-besaran. Seperti darurat perang. Helikopter, pesawat tanpa awak (drone), pesawat militer dikerahkan buat memantau keamanan dari udara.
Sejumlah panser TNI juga diparkir di beberapa kawasan pusat perbelanjaan di Jakarta.
Panglima TNI mengeluarkan ancaman. “Siapapun yang bakal menggagalkan pelantikan kabinet, berhadapan dengan TNI.”
Dalam negara demokrasi, tugas militer itu mengamankan negara dari ancaman musuh, negara asing. Bukan berhadapan dengan rakyatnya sendiri.
Situasi keamanan ketertiban masyarakat ialah domainnya polisi. Bukan militer. Sejak TNI back to basic, TNI perlu menjauhkan diri dari hiruk pikuk politik praktis. Sekarang malah diseret-seret kembali ke politik. Mengamankan rezim penguasa.
Anomali keempat. Rakyat banyak yang tidak antusias menyambut pelantikan. Bahkan emak-emak menyerukan gerakan “tutup tv dengan taplak meja.”
Di twitter seruan #MatikanTVSeharian memuncaki trending topic.
Mereka tidak peduli, siapa yang ingin menjadi presiden, siapa yang ingin menjadi wapres, apalagi siapa yang ingin menjadi menteri.
Situasinya berbeda jauh dengan pelantikan Jokowi periode pertama. Saat itu rakyat mengelu-elukannya. Terjadi eforia. Di sepanjang jalan Sudirman serta MH Thamrin menuju istana rakyat berdiri berjajar sepanjang jalan.
Jokowi bahkan sempat melepas jasnya serta turun dari kendaraan menyalami warga.
Anomali kelima, ini merupakan kelainan terbesar demokrasi. Yakni bergabungnya partai oposisi ke dalam pemerintahan. Bahkan capres lawan Prabowo Subianto juga kemungkinan bakal bergabung dalam kabinet.
Mau dicari dalam buku teks demokrasi yang paling klasik sekalipun, tidak ada ceritanya, oposisi kok bergabung dalam kabinet. Malah ikut berebut jatah kursi menteri.
Tidak heran bila banyak rakyat yang kecewa. Baik dari pendukung Jokowi maupun Prabowo. “Kalau begini ngapain perlu pilpres segala?”
Sudah menghabiskan anggaran negara trilyunan rupiah, masyarakat bermusuhan, gontok-gontokan, ratusan nyawa melayang sia-sia, akhirnya hanya bagi-bagi kekuasaan.
Mengapa sejak awal tidak baku atur saja. Tidak perlu menyertakan rakyat. Silakan atur negara ini suka-suka.
Fenomena ini hanya bisa terjadi di Indonesia. Demokrasi khas ala Indonesia. Ala Nusantara.
Penulis: Hersubeno Arief