Dinosaurus, Sekolah, Serta Teknologi

Ridhmedia
29/10/19, 07:15 WIB

[RIDHMEDIA]  Kritik terhadap teknologi tidak serta-merta mencerminkan sikap anti-teknologi. aku mau ketawa kalau mendengar komentar yang ditujukan kepada pengkritik obsesi berlebihan pada teknologi serta penerapannya.

 Ada yang merendahkan kritik tadi selaku sikap jumud menolak kemajuan; maunya hidup di zaman batu. Ada pula yang menyamakannya dengan dinosaurus, hewan antik yang ogah menerima kenyataan, serta bakal punah dilindas perubahan teknologi yang niscaya.

Kritik terhadap teknologi tidak serta-merta mencerminkan sikap anti-teknologi. Menyebut teknologi informasi cuma sekadar alat (misalnya dalam konteks penunjukan Nadiem Makarim, bos Gojek, selaku menteri pendidikan), saya sebenarnya tidak anti-teknologi.

aku cuma khawatir dengan kecenderungan melebih-lebihkan (over-hype) khasiat teknologi informasi dalam pendidikan maupun kehidupan manusia seutuhnya. Apalagi jika itu cuma puja-puji tentang keunggulan bisnis startup digital, unicorn serta decacorn, seperti yang sering kita dengar dari "pakar perubahan" Prof. Rhenald Kasali.

Berkebalikan dari anti, saya menyambut baik kehadiran teknologi informasi, khususnya di lingkungan jurnalistik, media serta penerbitan. Memakai desktop-computer Macintosh generasi paling awal, saya juga salah satu pembuat website internet awal di Indonesia, pada 1995, dikala fajar revolusi teknologi informasi baru Sahaja menyingsing.

(Saya tidak mengklaim kalau "yang pertama" itu artinya "yang terbaik", atau "paling berhasil". Pada kenyataannya, malah saya menemui banyak kegagalan baik dalam hidup, bisnis maupun pekerjaan).

Sampai sekarang, saya masih menikmati belajar aspek teknis coding aplikasi internet. Belajar PHP, blockchain, serta HTML 5, di sela-sela kesibukan bertani di desa lereng Gunung Sindoro, Jawa Tengah, tempat orang masih membajak sawah dengan kerbau.

Yang kita butuhkan yaitu keseimbangan menakar lebih proporsional peran teknologi dalam kehidupan kita, khususnya dalam kebijakan publik berbangsa serta bernegara.

Menteri Nadiem Makarim mengklaim bisa "mengetahui masa depan lebih baik", tahu tentang apa yang kita butuhkan di sedang badai perubahan, dalam dunia bisnis, lapangan kerja maupun pendidikan.

Tapi, saya Sudah membaca "ramalan masa depan" jauh lebih mendasar, dengan basis riset mendalam, dari Alvin Toffler melalui bukunya: "Future Shock" (1970), "The Third Wave" (1980) serta "Powershift" (1990).

Toffler, yang meninggal pada 2006, tidak sempat menyaksikan bagaimana Revolusi Industri 4.0 kini dipromosikan orang secara latah seperti layaknya menjajakan daun gelombang cinta.

Membahas revolusi infromasi baik segi positif maupun negatifnya, banyak ramalan Toffler cukup relevan buat kondisi sekarang serta bersifat menyeluruh. Prediksi Toffler mencakup beragam aspek dari budaya, politik, militer, demokrasi, bisnis hingga pendidikan.

Tentang pendidikan, Toffler mengutip seorang psikolog bernama Herbert Gerjuoy: "Kebodohan (illiterate) di masa depan bukanlah orang yang tidak bisa membaca; tapi orang yang gagal mendidik diri-sendiri, yang tidak mampu belajar bagaimana cara belajar."

Tujuan pendidikan hakiki bukanlah mencetak orang pintar atau siap kerja, tapi membekali serta merangsang kemandirian, agar seseorang mampu serta punya gairah buat belajar terus-menerus.

Steve Jobs, pendiri Apple (Macintosh), mewarisi watak mandiri itu, serta dahaga terus-menerus buat belajar. Salah satu kutipan paling populer darinya: "Stay hungry. Stay foolish". (Senantiasa lapar; senantiasa merasa bodoh).

Bukan cuma pengusaha sukses, Jobs seorang visioner. Membangun usaha dari sebuah garasi bersama Steve Wozniak, Jobs mendorong demokratisasi informasi serta ilmu-pengetahuan melalui komputer meja serta jinjing Macintosh yang diproduksinya. Di masa sebelumnya, komputer cuma bisa dimiliki oleh perusahaan besar serta kaya, sebagian karna sangat mahal serta ukurannya sebesar kamar tidur (IBM mainframe).

Steve Jobs yaitu salah satu orang yang saya kagumi, meski kekaguman itu belakangan agak berkurang karna komputer Macintosh ternyata tetap cenderung elitis. Lebih dari itu, sama seperti Windows milik Bill Gates (Microsoft), sistem operasinya Apple bersifat proprietary, alias tertutup kepemilikannya.

aku lebih kagum pada Linus Torvalds, tokoh di balik Linux, sistem operasi opensource yang bersifat terbuka, cuma-cuma serta jauh lebih demokratis. Torvalds juga visioner-humanis, bukan sekadar pembuat piranti lunak (programmer).

Torvalds memberi pengantar buku "The Hacker Ethic" (2001) yang ditulis Pekka Himanen, rekan senegaranya, Finlandia, salah satu negeri dengan konsep pendidikan paling baik di dunia. Himanen diketahui selaku "filosof teknologi informasi".

Torvalds serta Himanen menekankan kalau opensource seperti Linux bukanlah sekadar teknologi melainkan mencerminkan cara hidup serta pergaulan antar-manusia yang lebih sehat serta manusiawi. Watak opensource yaitu kolaborasi egaliter yang dilandasi solidaritas kemanusiaan.

Linux yaitu satu produk yang dikembangkan oleh pengoprek (hackers) dari seluruh dunia, dengan latar balik agama serta bangsa berbeda, tidak mengenal satu sama lain, dengan motif pertama-tama buat kesenangan Dibanding mencari uang.

"Menulis program komputer (coding) yaitu seperti menulis puisi," kata Torvalds.

Bagi Himanen, istilah pengoprek (hacker) tidak cuma berlaku di dunia komputer. Siapa Sahaja yang menyelenggarakan kegiatan kolaboratif buat pertama-tama memenuhi hasrat kebahagiaan, saling belajar satu sama lain, serta dilandasi kesediaan berbagi serta solidaritas kemanusiaan, pada dasarnya yaitu pengoprek.

Pengoprek, menurut Himanen, berlaku buat profesi atau disiplin apapun: seniman, budayawan, ahli sosiologi, antropologi, geologi, biologi ataupun ekonomi.

Himanen menyebut komunitas opensource selaku masyarakat paska-kapitalis (post-capitalist society), yang membebaskan manusia dari budak materi, kerja melulu serta uang. Dan itulah, kata dia, manifestasi pergaulan antar-manusia yang lebih selaras dengan semangat abad informasi. Semangat Generasi Z, yang bahkan lebih muda dari generasi Nadiem Makarim.

Judul lengkap buku Himanen sesuai dengan pesan itu: "The Hacker Ethic and the Spirit of the Information Age".

Kalau kapitalisme mendorong persaingan yang menimbulkan ketegangan dalam diri maupun antar-manusia, semangat paska-kapitalis menyemai solidaritas, kerjasama serta kegembiraan.

Menyetujui prinsip-prinsip itu, meski tidak bisa sempurna mengikutinya, saya tidak kecil hati disamakan dengan dinosaurus.

Penulis: Farid Gaban
Komentar

Tampilkan

Terkini