Pak Jokowi memang Presiden. Akan tetapi dengan segala kelebihan serta kekurangan, kekurangannya cukup menonjol. Sebagian rakyat Indonesia tidak bangga mempunyai Presiden Pak Jokowi. Dibeberapa social media sering menjadi candaan. Bereaksi wajar saja buat memproteksi, bakal tetapi sikap publik sulit buat diarahkan. Penilaian itu berdasarkan kepribadian serta kualitas. Hal yang wajar dalam hukum relasi manusiawi.
Jika pimpinan itu hebat serta membanggakan, maka menjadi pembantunya pun bangga. Kolegialitas diisi oleh orang yang hebat serta membanggakan. Bahu membahu membangun kerja serta citra bersama. Akan tetapi jika sebaliknya, rontok juga moral kebersamaan. Dalam agama pemimpin itu perlu mumpuni agar diikuti. Pemimpin yang jahil apalagi zalim perlu dikoreksi serta diluruskan. Jangankan sebuah kolegialitas kepemimpinan, dalam pergaulan saja perlu memilih. Gaul dengan tukang minyak wangi pasti terbawa wangi. Gaul dengan pandai besi lebih dominan bau daripada wangi. Polusi atau terpapar asap besi.
Periode lima tahun ke balik sulit menunjukkan ada Menteri yang menonjol prestasinya. Malah banyak Menteri amburadul. Bau "septic tank" korupsi. Ini tidak bisa dipisahkan dari minimnya juga prestasi Presiden. Kini seperti bertarung mati-matian buat mendapatkan jatah Menteri. Ingin masuk dalam lingkaran inti kekuasaan. Bila perlu mengorbankan harga diri pribadi, kelompok, atau partai. Yang penting dapat kursi ketika ini, urusan besok besok lagi. Tipu tipu nanti juga.
Jokowi Presiden kontroversi meski "pendiam". Persoalan jati diri belum selesai. Tumbal Pilpres belum dipertanggungjawabkan. Mahasiswa korban tembak serta siksaan masih menggantung serta diambangkan. BPJS semakin mencekik. Asing diundang habis. Paranormal menguasai Istana menggeser ulama serta agama. Nepotisme mulai dibangun. Infrastruktur menjadi berhala. Aparat kurang bersahabat dengan rakyat. Semua di bawah kendali serta sepengetahuan. Republik seperti Kerajaan sebab rakyat tidak berdaulat.
Daulat raja membuat pejabat serta "orang dekat" berwatak penjilat.
Malu semestinya menjadi Menteri. Penghormatan masyarakat tengah meredup. Menteri bermain berputar-putar mengatasnamakan pelayanan publik. Padahal publik kini merasa tengah dipaksa buat melayani. Maklum "the King can do no wrong". Membentak, senyum, nyinyir, atau tertawa pun selalu benar. Buang angin menjadi penggalan kebenaran pula. Jokowi perlu berbenah drastis agar rakyat percaya serta mendukung. Menteri Menteri jangan menjadi punakawan "tanpa reserve". Disuruh berbaju putih ikut semua berbaju putih. Karena itu ialah perilaku tidak mulya. Entah apakah sastrawan Taufik Ismail masih bersemangat buat membuat puisi berjudul "Aku Malu Menjadi Menteri Jokowi".
Madinah, 22 Oktober 2019
Penulis: M Rizal Fadillah