Kabinet selesai, tapi masalah belum selesai. Atau boleh menjadi awal lagi dari masalah. Masalahnya ialah soliditas, keakuran serta kebersamaan baik lingkungan dekat maupun luas. Ada yang sejak dini mengecam karna kecewa adapula yang mengintip dulu kemana angin bertiup. Pertanyaan ialah berubahkah Jokowi kini selaku penentu permainan ataukah tetap selaku obyek yang dimainkan. Jika selaku penentu berarti ada kemajuan, Jokowi lebih percaya diri buat menjadi manajer serta konduktor. Bila tidak, berarti iklim internal masih seperti periode lalu bahkan potensi konflik membesar.
Untuk kondisi kesatu potensi perlawanan terkuat datang dari luar kabinet. Kubu 02 yang sejak awal bersemangat buat mengganti Presiden tidak terpengaruh oleh masuknya Prabowo dalam kabinet. Mereka melihat sumber masalah negeri ialah kepemimpinan Jokowi. Isu komunisme, dominasi China, masalah pelanggaran HAM aksi 22 Mei, mahasiswa yang ditembak, ratusan petugas pemilu yang tewas, "pembuangan" HRS, merupakan persoalan yang tidak mudah hilang serta bakal terus menjadi tagihan. Kubu Jokowi yang kecewa dengan "rekonsiliasi" serta memarjinalisasi peran mereka, potensial melawan pula. Projo yang bubar bakal bermimikri gerakan karna sakit hati.
Di internal, perang tekanan ketika penyusunan kabinet juga menyisakan dendam. Koalisi pendukung Jokowi yang "all out" membela ternyata tidak mendapat kursi yang dibayangkan. Manuver Prabowo-Mega membuat impian pupus. Menjadi minimal. Prabowo menjadi hantu yang mengganggu. Ada istilah "genk merah" Jenderal yang boleh menjadi marah. Suryo Paloh bewoknya bergerak gerak. Akan terbangun kubu yang saling sikut serta bermain di dalam. Jika Jokowi lemah tentu konflik internal menjadi potensial menggerogoti kekuasaan.
Dua kementrian gojang ganjing. Kementrian Agama serta Pendidikan & Kebudayaan. Ada pemutusan sejarah serta proporsi. NU sangat kecewa atas pengambilalihan kursi Menteri Agama oleh TNI dari ormas Mathlaul Anwar. PB NU meradang, Ansor serta Banser bisa bisa terpapar radikalisme.
Di sisi lain Kemendikbud yang beberapa kali dipegang oleh tokoh Muhammadiyah kini lepas. Meski Muhajir menjadi Menko PMK tapi "kebutuhan" serta proporsi Muhammadiyah justru ditataran kebijakan teknis kementrian. Nadiem bakal disorot tajam terus oleh Muhammadiyah serta dipelototi aktivis dunia pendidikan. Jika NU serta Muhammadiyah "bersatu kepentingan" bukan hal yang mudah buat ditahan gerakannya.
Potensi perlawanan lain ialah dalam konteks global. Dengan Luhut masih memegang jabatan strategis selaku Menko Maritim serta Investasi, maka kepentingan China dalam memperluas kekaisarannya lewat "new silk road" tetap terjembatani. Ekspansi bisnis serta politik China mengundang kekuatan Amerika. Ini lawan berat Jokowi. Papua diganggu saja Pak Jokowi telah kelabakan. Brimob yang biasa beringas mati kutu. Jenderal serta agen Amerika masih kuat di negeri ini.
Potensi perlawanan menjadikan periode kedua Jokowi jauh lebih berat. Apalagi jika terjadi krisis ekonomi baik pengaruh global atau di tingkat nasional sendiri. Mampukah Jokowi bertahan ? Sangat tergantung pada perubahan sikap politiknya. Jika sama saja seperti dahulu yang lebih mengedepankan pencitraan, oligarkhis serta jauh dari berkhidmat pada rakyat serta umat, maka Jokowi tidak bakal menikmati kekuasaan hingga akhir. Mungkin cepat saja.
25 Oktober 2019
Penulis: M. Rizal Fadillah