Pelantikan Jokowi Serta Kesabaran Revolusioner: Sebuah Renungan

Ridhmedia
20/10/19, 17:20 WIB

Jokowi bakal dilantik sebentar lagi di gedung MPR RI. Seluruh dukun sudah bergerak mengamankan peristiwa ini. Bahkan iblis terbesar penguasa laut, Nyi Roro Kidul, diundang para dukun itu buat pengamanan.

Puluhan ribu TNI Polri di seluruh pelosok negeri juga bakal mengamankan pelantikan ini, khususnya 30.000 personel di Jakarta. Berbagai rute transportasi melintasi Gedung MPR serta Istana dibatasi. Kereta Api, Serpong Tanah Abang misalnya, hanya berhenti sampe stasiun Kebayoran Lama, tidak ke Tanah Abang agar tidak melintasi Gedung MPR. Car Free Day dibatasi. Semua tema pengamanan menjadi sentral topik kabar serta chit-chat rakyat di media sosial.

Tema pengamanan ini berbeda dengan tema pelantikan Jokowi pada 2014. Saat itu temanya pesta rakyat, riang gembira, pesta pora, dlsb. Dengan tema pengamanan tersirat kalau kekuatan yang mengancam Jokowi menjelang pelantikan ini sangatlah besar.

Siapakah serta atau apakah ancaman tersebut?

Pada tahun 2014, Prabowo beroposisi terhadap Jokowi. Baik dalam sikap maupun dalam jadwal di DPR serta pernyataan publik. Namun, ketika ini, Prabowo sudah tunduk pada Jokowi. Prabowo kemungkinan bakal diberikan jatah dua menteri plus satu jatah wakil menteri, termasuk dirinya bakal menjadi Menteri Pertahanan.

Dari sisi siapa, tentu seharusnya ketundukan Prabowo pada Jokowi membuat kekuasaan Jokowi sempurna. Jika sempurna maka pesta rakyat 2019 harusnya lebih besar dari pesta rakyat 2014 lalu.

Tesis ini ternyata gagal. Topik serta anggaran pengamanan Jokowi mendominasi. Ini dapat berarti Prabowo bukanlah pemimpin yang memiliki kekuatan, setidaknya kekuatan riil alias bukanlah macan benaran tapi barangkali ia hanya macan ompong.

Lalu siapa musuh Jokowi itu? Habib Rizieq tentu tidak punya kekuatan menggerakkan Jin Ifrid sehingga perlu dihadang Nyi Roro Kidul. Kekuatan Rizieq ialah kekuatan sikap, mengungkapkan tidak mendukung Jokowi serta pemerintahannya. Karena menurut Rizieq kemenangan Jokowi ialah illegal.

Tapi buat apa 30.000 pasukan TNI Polri di siapkan mengamankan sebuah pesta? jika itu pesta kemenangan?

Kesulitan mencari siapa atau sosok musuh Jokowi membuat kita pindah pada pertanyaan apakah ancaman terhadap pelantikan Jokowi?

Pertanyaan ini merujuk pada situasi bukan sosok. Pertanyaan ini bersifat lebih abstrak.

Sebuah kekuasan memerlukan moral serta legitimasi. Moral serta legitimasi ialah spirit serta substansi. Sebuah sakral. Berbeda dengan legalitas. Legalitas adalah  pengakuan hukum formal. Legalitas dapat diperoleh lewat jalan baik, namun juga dapat lewat jalan jahat. Machiavelli, Sang Guru Politik Italia, mengajari kekuasaan tanpa moralitas. Menurutnya kekuasaan tidak ada yang jahat. Katanya, "cambuklah musuhmu 100 kali, lalu besoknya cambuklah hanya 99 kali, maka anda bakal menjadi pemimpin yang baik di mata dia"

Namun, secara general, kekuasaan berkaitan dengan moral serta legitimasi tadi. Sebuah kekuasaan yang diperoleh serta dijalankan tanpa moral serta legitimasi umumnya menghantui pikiran pemimpin itu setiap malam.

Commodus, raja Roma di masa kuno, dalam film Gladiator, misalnya, menjadi raja tanpa moral serta legitimasi. Ia menjadi raja menggantikan ayahnya, Raja Marcus Aurelius, setelah membunuh secara rahasia ayahnya, serta menuduh pembunuhnya ialah Maximus, jenderal kesayangan kerajaan. Senat memberi legalitas pergantian raja serta pesta besar-besaran dilakukan. Namun, tanpa moral serta legitimasi, Commodus, menjadi raja yang paranoid. Commodus perlu menyingkirkan semua elemen kekuatan yang dicurigai memusuhinya. Commodus menggunakan uang negara besar-besaran buat memanipulasi adanya dukungan sah rakyat.

Apakah Jokowi mengerahkan pengamanan besar-besaran karna soal legitimasi serta moral? Kita belum mengetahui secara pasti, namun dari sisi ancaman sosok, tentu dengan Prabowo mengemis menjadi menteri Jokowi, soal sosok setidaknya tidak ada lagi.

Kesabaran Revolusioner

Berbagai isu miring tetap diarahkan rezim Jokowi kalau kekuatan-kekuatan yang bakal menggagalkan pelantikan Jokowi eksis. Projo, organ pemenangan Jokowi, menyebarkan spanduk diberbagai penjuru ibukota "Kawal Terus Pelantikan Jokowi-Makhruf Amin". Polri mengidentifikasi ada rencana bom bunuh diri. Nasdem berkata "pendukung #02 belum move on", serta lain-lain kabar media online. Termasuk mengaitkan gerakan demo mahasiswa kemarin dengan urusan pengggalan pelantikan.

Bagi pendukung #02, tentu saja tuduhan atau penggiringan penggagalan pelantikan Jokowi terhadap mereka ialah sebuah "misleading".

Dari mermacam media yang dapat kita pantau tidak satupun pernyataan Habib Rizieq Sihab, pemimpin oposisi utama, mengungkapkan seruan penggagalan pelantikan. Begitu juga ulama2 sentral dalam ijtima Ulama, tidak ada satupun yang melaksanakan gerakan makar itu.

Seruan penggagalan misalnya datang dari Sri Bintang Pamungkas, tapi Sri Bintang sudah menyerang Jokowi sejak kasus makar 2016 lalu. Dan Sri Bintang tidak mengaitkan dimensi waktu dalam melawan Jokowi.

Abdul Basith yang dituduh bakal melaksanakan serangan bom molotov (bukan bom C4), serta membuat kekacauan, bukanlah ulama atau figur sentral dalam gerakan ijtima Ulama maupun kekuatan non ulama anti Jokowi.

Sehingga, kelompok masyarakat yang tidak memberikan legitimasi serta moral bagi kekuasaan Jokowi, sesungguhnya tidak melaksanakan gerakan penggagalan atas pelantikan Jokowi.

Dari segi ini, maka Habib Rizieq serta kekuatan rakyat (underground) yang mengungkapkan atau merasakan tidak mendukung Jokowi pada periode kedua ini, memiliki kemampuan mengendalikan diri, sehingga tidak terpancing pada politik kekuasaan kontemporer. Ini ialah sebuah kemajuan besar politik umat Islam, khususnya, serta rakyat oposisi umumnya, yakni memelihara kesabaran (meski barangkali terhina sudah mendukung Prabowo?).

Politik dengan kesabaran ialah sebuah politik ajaran nabi, bukan Machiavelli. Melihat politik bukan sekadar ambisi berkuasa, mengemis-ngemis menjadi menteri, merampok harta negara. Politik kesabaran ialah politik merujuk pada John Lock, kalau pemimpin ialah sebuah pengabdian pada kontrak sosial. Menjadikan rakyat selaku penguasa sesungguhnya.

Pada ketika ini kita akhirnya mengetahui sebuah fakta sosial: rezim Jokowi  membangun tema keamanan, sedangkan Rizieq Sihab serta kaum oposisi mengutamakan kesabaran revolusioner.

Penulis: Syahganda Nainggolan
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+