Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris menyinggung keberadaan UUD 1945 mengenai kewajiban Menteri Pertahanan bersama dua menteri lainnya dalam menggantikan tugas presiden serta wakil presiden dalam kondisi tertentu. Hal tersebut diungkap Haris mendapati berita penunjukan Prabowo Subianto-rival politik Jokowi di Pilpres, selaku menteri pertahanan.
"Menhan itu satu dari tiga menteri yang disebut dalam konstitusi kita. Pasal 8 Ayat 3 (UUD 1945), bahwa Presiden serta Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat mengadakan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksanaan tugas Kepresidenan yaitu Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri serta Menteri Pertahanan secara bersama-sama," kata Syamsuddin Haris, Selasa (22/10/2019).
Pasal 8 ayat (3) berbunyi:
"Jika Presiden serta Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat mengadakan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan yaitu Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri serta Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang buat memilih Presiden serta Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden serta Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang yang pasangan calon Presiden serta Wakil Presidennya meraih suara terbanyak awal serta kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya."
Syamsuddin tidak menyatakan kekhawatiran. Namun ia mengatakan, boleh menjadi Jokowi lupa mempertimbangkan keberadaan UUD 1945 tersebut ketika memutuskan menarik Prabowo dalam lingkaran koalisi, terlebih ditempatkan selaku menteri pertahanan.
"Boleh menjadi justru Jokowi lupa bakal adanya UUD 1945 itu," kata Haris ketika dikonfirmasi, Rabu (23/10).
Meski menyebut potensi pembelotan di internal pemerintahan tentu terbuka, namun ketika ini Haris lebih mengkhawatirkan ketiadaan kontrol dalam demokrasi. Haris mengingatkan pentingnya koalisi masyarakat sipil buat memperkuat pengawasan pada pemerintahan.
"Sebab ketika ini komposisi partai oposisi pun melemah bahkan diprediksi nyaris tidak bergigi," ujar Haris.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan percaya Jokowi mampu mengendalikan Prabowo selaku pembantu presiden. Salah satu hal yang dapat diantisipasi lebih dini, kata Djayadi, dengan semestinya menunjuk Menko Polhukam dari kalangan TNI.
"Meski Menhan formalitas di bawah Menkopolhukam, faktanya figur Prabowo itu kuat. Karena itu perlu presiden sendiri, serta presiden perlu bertanggung jawab kan. Karena presiden yang menariknya," tutur dia.
"Kalau sekarang, Menkopolhukam yang bisa bisa menjadi cuma Luhut, bahwa Moeldoko junior Prabowo. Yang tampaknya masih cukup dihormati oleh Prabowo yaitu Luhut," sambung Djayadi Hanan. [CNNIndonesia]