RIDHMEDIA - Sengkarut masalah di tubuh perusahaan plat merah PT Asuransi Jiwasraya (Persero) sudah mencuat sejak 2006. Berbagai kebijakan telah dilakukan, baik dari sisi internal perusahaan maupun pemerintah. Akan tetapi, masalah keuangan perusahaan justru semakin menggunung.
Hingga Desember 2019, Jiwasraya mengalami gagal bayar polis mencapai Rp13 triliun.
Catatan Desember 2006, ekuitas Jiwasraya negative Rp 3, 29 triliun. Pada 2007- 2008, Jiwasraya mengalami masalah keuangan pelik, sebagai imbas dari krisis ekonomi tahun 1998. Alhasil, pada periode 2007-2008 Jiwasraya menanggung defisit neraca keuangan hingga Rp 5, 7 triliun.
Kepala Eksekutif Industri keuangan Non-Bank, yang juga Anggota Komisioner OJK Riswinandi menyebut, upaya penyehatan Jiwasraya sudah dilakukan 4-5 kali periode pemerintah.
“Bahkan audit yang lebih mendalam sebenarnya mendefinisikan Rp 8 triliun, hanya saja data yang keluar per 2008 defisit secara internal adalah Rp 5,7 triliun,” terangnya saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL beberapa waktu lalu.
Pada Juli 2008, Menteri BUMN Sofyan Djalil mengirim surat kepada Direksi Jiwasraya. Ia meminta kepada jajaran direksi untuk menyelesaikan masalah Jiwasraya sesuai ketentuan perundang-undangan. Desember 2008, ekuitas Jiwasraya tercatat negative 5,7 triliun.
Pada 11 Maret 2009, Sofyan Djalil berkirim surat kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta bantuan likuiditas meliputi pinjaman subordinasi sebesar 6 triliun dalam bentuk 100 persen bond atau skema 75 persen bond dan 25 persen kas.
Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani menolak pemberian Penyertaan Modal Negara (PMN) ke Jiwasraya karena harus lebih dulu dilakukan auditor independent, karena mengalami deficit ekuitas Rp6,3 triliun.
Jiwasraya mengalami pasang surut dalam kerugian yang dipercantik pada laporan keuangan sehingga hasilnya pun bisa maksimal mencapai WTP (Wajar Tanpa Mengecualian). Publik melihatnya Jiwasraya tidak mengalami kerugian.
Pengamat Hukum dan Tata Negara Yusdianto Alam mengatakan, secara aturan, kebijakan maupun tatanan menajemen dalam sebuah perusahaan, mestinya presiden memiliki pembantu yang sejak lama mengetahui kondisi Jiwasraya.
“Panggil menteri yang bersangkutan, dan minta pertanggungjawaban. Ini uang nasabah, uang rakyat. Solusi penting tapi hukum berlaku jika ada kerugian negara,” terang Yusdiyanto, Jumat (27/12).
Kerugian negara sebesar Rp13,7 triliun yang ditimbulkan oleh Jiwasraya akan berpotensi membengkak hingga Rp30 triliun lebih.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang, Dias Satria, mengatakan jika dilihat dari kronologinya perkara ini murni masalah hukum.
Sehingga solusinya adalah proses hukum dengan keputusan yang tetap dan mengikat.
“Jangan dialihkan ke isu politik. Apalagi melalui upaya penggiringan opini. Sebab dikhawatirkan dapat mengaburkan masalah hukum yang sebenarnya,” kata Dias Satria.
Semua pihak, lanjutnya, harus melihat persoalan di Jiwasraya secara utuh sebagai bagian dari upaya bersih-bersih BUMN. [rmo]
Hingga Desember 2019, Jiwasraya mengalami gagal bayar polis mencapai Rp13 triliun.
Catatan Desember 2006, ekuitas Jiwasraya negative Rp 3, 29 triliun. Pada 2007- 2008, Jiwasraya mengalami masalah keuangan pelik, sebagai imbas dari krisis ekonomi tahun 1998. Alhasil, pada periode 2007-2008 Jiwasraya menanggung defisit neraca keuangan hingga Rp 5, 7 triliun.
Kepala Eksekutif Industri keuangan Non-Bank, yang juga Anggota Komisioner OJK Riswinandi menyebut, upaya penyehatan Jiwasraya sudah dilakukan 4-5 kali periode pemerintah.
“Bahkan audit yang lebih mendalam sebenarnya mendefinisikan Rp 8 triliun, hanya saja data yang keluar per 2008 defisit secara internal adalah Rp 5,7 triliun,” terangnya saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL beberapa waktu lalu.
Pada Juli 2008, Menteri BUMN Sofyan Djalil mengirim surat kepada Direksi Jiwasraya. Ia meminta kepada jajaran direksi untuk menyelesaikan masalah Jiwasraya sesuai ketentuan perundang-undangan. Desember 2008, ekuitas Jiwasraya tercatat negative 5,7 triliun.
Pada 11 Maret 2009, Sofyan Djalil berkirim surat kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta bantuan likuiditas meliputi pinjaman subordinasi sebesar 6 triliun dalam bentuk 100 persen bond atau skema 75 persen bond dan 25 persen kas.
Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani menolak pemberian Penyertaan Modal Negara (PMN) ke Jiwasraya karena harus lebih dulu dilakukan auditor independent, karena mengalami deficit ekuitas Rp6,3 triliun.
Jiwasraya mengalami pasang surut dalam kerugian yang dipercantik pada laporan keuangan sehingga hasilnya pun bisa maksimal mencapai WTP (Wajar Tanpa Mengecualian). Publik melihatnya Jiwasraya tidak mengalami kerugian.
Pengamat Hukum dan Tata Negara Yusdianto Alam mengatakan, secara aturan, kebijakan maupun tatanan menajemen dalam sebuah perusahaan, mestinya presiden memiliki pembantu yang sejak lama mengetahui kondisi Jiwasraya.
“Panggil menteri yang bersangkutan, dan minta pertanggungjawaban. Ini uang nasabah, uang rakyat. Solusi penting tapi hukum berlaku jika ada kerugian negara,” terang Yusdiyanto, Jumat (27/12).
Kerugian negara sebesar Rp13,7 triliun yang ditimbulkan oleh Jiwasraya akan berpotensi membengkak hingga Rp30 triliun lebih.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang, Dias Satria, mengatakan jika dilihat dari kronologinya perkara ini murni masalah hukum.
Sehingga solusinya adalah proses hukum dengan keputusan yang tetap dan mengikat.
“Jangan dialihkan ke isu politik. Apalagi melalui upaya penggiringan opini. Sebab dikhawatirkan dapat mengaburkan masalah hukum yang sebenarnya,” kata Dias Satria.
Semua pihak, lanjutnya, harus melihat persoalan di Jiwasraya secara utuh sebagai bagian dari upaya bersih-bersih BUMN. [rmo]