RIDHMEDIA - Sedikitnya 48 ormas Islam bakal mendatangi atau geruduk Kedubes China yang terletak di Jl Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, pada Jumat (27/12/2019) pekan depan. Aksi yang dilakukan oleh para ormas Islam tersebut untuk meminta pemerintah China menghentikan pelanggaran HAM yang menimpa Muslim Uighur di wilayah Xinjiang, China. Aksi tersebut bertajuk Aksi Nasional Selamatkan Muslim Uighur Bersama Ormas Islam se-Indonesia.
"Dengan adanya pelanggaran HAM seperti itu, maka sudah seharusnya PBB untuk turun langsung," kata Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI), Ahmad Shabri Lubis di Jakarta, Jumat (20/12/2019).
Shabri menilai apa yang dilakukan pemerintah China terhadap muslim Uighur sudah keterlaluan karena telah merampas hak-hak asasi mereka semisal beribadah.
"Perampasan hak-hak asasi manusia umat Islan Uighur di wilayah otononi khusus Xinjiang sudah sangat keterlaluan. Lewat Undang Undang Deekstremifikasi, serta dalih melawan radikalisme, hak asasi manusia saudara muslim Uighur kita dicabik dan dirampas hak beribadah, hak ekonominya, hak sosialnya, hak politiknya sampai hak budayanya," tegasnya.
Apalagi, lanjut Shabri, berdasarkan informasi yang ia dapat, muslin Uighur dilarang memiliki dan membaca kitab suci mereka, yakni Alquran. Serta dipaksa wajib mengikuti kamp reedukasi yang sesungguhnya adalah penahanan semena-mena tanpa proses hukum yang adil sesuai standar internasional.
"Ketika lelaki saudara Uighur mendekam dalam kamp tersebut, di saat yang sama mereka yang ditinggalkan, yang bila menolak akan dituduh sebagai ekstrimis radikal dan dijebloskan ke dalam kamp reedukasi," ujarnya.
Atas dasar itu pula, sambung Shabri, FPI dan gabungan ormas yang ikut dalam aksi meminta agar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dapat turun tangan guna mengatasi permasalahan etnis Uighur. Di antara 48 ormas Islam yang akan ikut aksi yakni GNPF ulama, PA 212, Bang Japar, PEJABAT, dan BKSPPI.
"Kami minta kepada PBB agar supaya turun tangan menghentikan segala macam bentuk arogan yang terjadi di Uighur Xinjiang, China. Dengan adanya pelanggaran HAM seperti itu, maka sudah seharusnya PBB untuk turun langsung," paparnya.
Pelanggaran HAM
Sementara itu Juru Bicara Aksi Habib Ali Alatas mengatakan, aksi yang akan dilakukan 48 ormas intinya meminta agar Pemerintah Komunis China untuk menghentikan pelanggaran HAM terhadap umat Islam Uighur. Selain itu aksi yang digelar 48 ormas juga untuk meminta agar membuka akses penyelidik Independen Internasional atas pelanggaran HAM yang dialami muslim Uighur.
"Kepada PBB dan OKI agar proaktif terhadap krisis kemanusiaan yang terjadi di Xinjiang, salah satunya membentuk Tim Penyelidik Independen Internasional. Selain itu Pemerintah Indonesia juga agar lebih proaktif dan tidak diam atas penindasan yang dialami saudara muslim kita di Uighur serta meninjau Ulang kerjasama bilateral dengan pemerintah Komunis China karena banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan Pemerintah Komunis China," tandasnya.
Bukan Soal Agama
Terpisah, Duta Besar China untuk Indonesia, Xiao Qian menegaskan, permasalahan di Xinjiang bukan soal agama melainkan separatisme.Pemerintah murni memerangi aksi radikalisme dan terorisme. Ia meluruskan pemberitaan soal dugaan persekusi dan diskriminasi etnis Muslim Uighur yang dituding sebagian pihak ke negara panda itu.
Xiao pun mempersilakan masyarakat Indonesia untuk melihat langsung kondisi muslim di Uighur China. "Silakan jika ingin berkunjung, beribadah, dan bertemu dengan masyarakat muslim Uighur," kata Xiao saat menemui Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Selasa (17/12/2019).
Ia pun menegaskan pemberitaan media barat terhadap muslim Uighur tidaklah benar. Duta besar memastikan wilayah Xinjiang, kawasan yang banyak ditempati muslim Uighur kondisinya aman. "Persoalan di Xinjiang sama dengan kondisi dunia lain," katanya lagi.
"Tidak ada kebijakan diskriminatif terhadap muslim. Memang di suku Uighur ada segelintir orang yang berkeinginan untuk memisahkan Xinjiang dari China dan mendirikan satu negara merdeka bernama Turkistan Timur," jelasnya.
Tindakan ini, kata dia, tidak dapat diterima pemerintah dan masyarakat China. Ia pun menyayangkan publikasi dokumen internal China yang dilakukan media AS, New York Times, beberapa waktu lalu. Dokumen itu diartikan media tersebut sebagai sebuah upaya penganiayaan pada kaum Uighur.
Ditegaskannya upaya yang dilakukan China pada dasarnya adalah kebijakan deradikalisasi. Para pemuda pun mendapat pendidikan dan pelatihan.
"Tapi dari mata dunia barat, mereka menceritakan ini sebagai bentuk represi bagi para muslim. Setelah mereka berkunjung, mereka mendapat pemahaman yang berbeda." [ht]