Oleh: M Rizal Fadillah
Pemerhati politik
SEMAKIN zalim Pemerintah Tiongkok atau China memperlakukan umat Islam Uighur, maka akan semakin muncul solidaritas dunia untuk mengutuk dan membenci Pemerintah China.
Bukan saja kepada penguasa negara China akan tetapi juga dapat berdampak kepada orang China perantauan atau diaspora yang tersebar di seluruh dunia.
Hal demikian disebabkan karena pada umumnya orang China perantauan itu memiliki status sosial yang lebih baik daripada pribumi setempat. Baik aspek kekayaan maupun relasi pada pejabat publik. Kecemburuan sosial kepada mereka cukup tinggi. Kesenjangan sosial penyebabnya.
Setiap negara dipastikan memiliki aturan yang melarang sikap diskriminasi ras dan etnis. Akan tetapi jika sudah pada masalah yang mendasar misalnya lapar, lahan yang terambil, atau keyakinan keagamaan yang dirobek, maka aksi biasanya menjadi pilihan.
Kasus ketidakpuasan atas kebijakan atau pengaturan dapat menimbulkan gelombang aksi yang bertema anti.
Di Indonesia kebijakan membuka kran bagi pekerja China yang menjadi satu paket dengan investasi dari negara Tiongkok merupakan titik rawan. Belum lagi semakin kentaranya jumlah dan tampilan orang China keturunan di lingkungan umum. Di mall, di perumahan elit, di tempat hiburan, rumah makan, dan sarana olahraga.
Identitas dan atribut China yang semakin meluas "barongsai" atau mozaik Naga. Juga bahasa pergaulan dan lagu lagu. Di beberapa tempat berolahraga terbuka sudah banyak blok yang mengiringi senam dengan lagu dan irama China.
Pemerintah semestinya semakin menyadari keadaan ini. Bukan membiarkan atas dasar keragaman dan kebebasan. Tanpa proteksi maka kompetisi akan bergerak liar. Jika kesenjangan dianggap wajar, maka akan dianggap wajar pula untuk bertindak semau sendiri. Api dalam sekam dapat berubah menjadi semburan yang membahayakan.
Oleh karenanya, untuk mencegah terjadinya sikap dan perasaan anti China di masyarakat bangsa Indonesia. Kiranya opsi mesti diambil, antara lain:
Pertama, aspek regulasi untuk memproteksi pribumi baik soal pemilikan lahan, usaha retail, pembatasan kerja, serta tarif dan perpajakan.
Kedua, menumbuh kembangkan budaya lokal dan nasional dengan mengawasi pertumbuhan budaya China. Kebijakan daerah mesti lebih terarah untuk menjaga ketergusuran budaya.
Ketiga, kebijakan pembauran yang pernah dicanangkan penting untuk difikirkan kembali. Keterikatan kebangsaan pada leluhur bangsa China sangat tidak bagus. Mereka sudah seharusnya menjadi warga negara sekaligus bangsa Indonesia.
Negara dan bangsa China adalah guru suap-menyuap. Karenanya perlu dibasmi atau diminimalisasi kultur ini. Akar dari kebobrokan moral dalam menunaikan tugas jabatan ada di sini. Beri sanksi tegas dan keras pada perilaku yang merusak ini.
"La'ana Rosulullah Salallahu 'Alaihi Wassalam ar roosyi wal murtasyi”. (Telah melaknat Rosulullah SAW penyuap dan yang disuap). HR Khomsah kecuali An Nasa i dishahihkan At Tirmudzi.
Ar rosyi wal murtasyi fin naar. Penyuap dan yang disuap di neraka. [*]