RIDHMEDIA - Industri pupuk Tanah Air ternyata dalam kondisi mengkhawatirkan.
Hal itu terkuak saat Komisi VII DPR RI menggelar rapat dengar pendapat bersama PT Pupuk Indonesia, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), BPH Migas, dan Kementerian ESDM.
Direktur PT Pupuk Indonesia Holding Company, Aas Asikin Indat, kepada dewan menjelaskan hingga kini belum ada kepastian kontrak gas kepada pabrik pupuk yang akan berakhir dalam dua tahun mendatang.
Padahal, kebutuhan gas bagi pabrik pupuk sangat vital dan memerlukan jangka panjang.
"Mayoritas gas berakhir di 2021-2022, dan banyak yang belum ada kepastian, termasuk alokasinya belum kami terima," ujar Asikin seperti melansir rmol.id.
Di tengah sebagai bahan baku produksi pupuk urea, harga gas justru dinilai masih terlampau tinggi.
"Jadi gas dalam biaya produksi itu menempati 70% sehingga harga gas ini sangat berpengaruh pada harga pokok dari pupuk sendiri," keluh Asikin.
Tingginya harga gas sangat berdampak pada produksi pupuk di Tanah Air.
Salah satu yang ia contohkan Pupuk Iskandar Muda yang memiliki dua pabrik yang baru memiliki alokasi kepastian gas 30 MMSCFD. Padahal kebutuhannya mencapai 110 MMSCFD.
"Jadi kurang 80 MMSCFC, sehingga dari dua pabrik baru bisa jalan kurang lebih 1 pabrik. Jika tidak dijalankan maka mulai 2020 dua pabrik di Iskandar Muda ini tidak bisa jalan," sambungnya.
Pun demikian dengan Pusri Palembang yang baru dijamin hingga tahun 2023. "Gasnya belum ada, mungkin 2024 kalau ini tidak dipenuhi pabrik di Palembang semua akan berhentim" tutupnya.
Mendengar pemaparan tersebut, anggota Komisi VII DPR RI, Kardaya Warnika merasa khawatir dengan keberlangsungan industri pupu Tanah Air.
"Melihat supply dan demand, ini ngeri sekali!" ujar Kardaya menanggapi pemaparan PT Pupuk Indonesia.[ljc]
Hal itu terkuak saat Komisi VII DPR RI menggelar rapat dengar pendapat bersama PT Pupuk Indonesia, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), BPH Migas, dan Kementerian ESDM.
Direktur PT Pupuk Indonesia Holding Company, Aas Asikin Indat, kepada dewan menjelaskan hingga kini belum ada kepastian kontrak gas kepada pabrik pupuk yang akan berakhir dalam dua tahun mendatang.
Padahal, kebutuhan gas bagi pabrik pupuk sangat vital dan memerlukan jangka panjang.
"Mayoritas gas berakhir di 2021-2022, dan banyak yang belum ada kepastian, termasuk alokasinya belum kami terima," ujar Asikin seperti melansir rmol.id.
Di tengah sebagai bahan baku produksi pupuk urea, harga gas justru dinilai masih terlampau tinggi.
"Jadi gas dalam biaya produksi itu menempati 70% sehingga harga gas ini sangat berpengaruh pada harga pokok dari pupuk sendiri," keluh Asikin.
Tingginya harga gas sangat berdampak pada produksi pupuk di Tanah Air.
Salah satu yang ia contohkan Pupuk Iskandar Muda yang memiliki dua pabrik yang baru memiliki alokasi kepastian gas 30 MMSCFD. Padahal kebutuhannya mencapai 110 MMSCFD.
"Jadi kurang 80 MMSCFC, sehingga dari dua pabrik baru bisa jalan kurang lebih 1 pabrik. Jika tidak dijalankan maka mulai 2020 dua pabrik di Iskandar Muda ini tidak bisa jalan," sambungnya.
Pun demikian dengan Pusri Palembang yang baru dijamin hingga tahun 2023. "Gasnya belum ada, mungkin 2024 kalau ini tidak dipenuhi pabrik di Palembang semua akan berhentim" tutupnya.
Mendengar pemaparan tersebut, anggota Komisi VII DPR RI, Kardaya Warnika merasa khawatir dengan keberlangsungan industri pupu Tanah Air.
"Melihat supply dan demand, ini ngeri sekali!" ujar Kardaya menanggapi pemaparan PT Pupuk Indonesia.[ljc]