Basa-basi Jokowi Hukum Mati Napi Korupsi

Ridhmedia
11/12/19, 17:26 WIB
RIDHMEDIA - Berkali-kali Presiden Joko Widodo mengklaim tegas soal perkara korupsi.  Bahkan dalam kesempatan terakhir, Jokowi membuka kemungkinan menghidupkan hukuman mati untuk koruptor.

"Ya, bisa saja [hukuman mati], kalau jadi kehendak masyarakat," kata Jokowi saat mengadiri acara Prestasi Tanpa Korupsi di SMKN 57 Jakarta, Senin (9/12).

Pertanyaan ini muncul dari seorang siswa SMKN 57 Jakarta, Harli. Di hadapan Jokowi, Harli heran mengapa Indonesia tak pernah menghukum berat koruptor, sekalipun hukuman mati. Kepada anak itu, Jokowi langsung menjelaskan tak sembarang napi korupsi bisa dihukum mati.

"Kalau korupsi bencana alam dimungkinan, kalau enggak, tidak [bisa], misalnya ada gempa tsunami di Aceh atau di NTB, kita ada anggaran untuk penanggulangan bencana, [lalu] duit itu dikorupsi, bisa [dihukum mati]," kata Jokowi.

Aturan yang dimaksud Joko Widodo jelas-jelas dimuat dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pasal itu menjelaskan secara rinci ketentuan hukuman mati bagi para koruptor.

Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.

Penjelasan Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.


Aturan itu juga diperkuat dengan pernyataan Menko Polhukam, Mahfud MD. Menurut Mahfud, hukuman mati napi korupsi sudah sesuai UU dan tak salah jika pemerintah menerapkannya --tanpa perlu mengubah atau membuat undang-undang baru.

"Saya sejak dulu sudah setuju hukuman mati koruptor itu, karena itu merusak nadi aliran darah sebuah bangsa, itu ya, dirusak oleh koruptor itu," ujar Mahfud.

Meski begitu, ia menilai hukuman mati untuk koruptor kerap terbentur dengan putusan hakim. Dalam beberapa kasus, hakim sering memvonis koruptor dengan pidana yang terlalu rendah, ditambah pemotongan-pemotongan pidana.

Bicara hukuman mati tapi beri grasi
Poin pertanyaan sebetulnya bukan pada berjalan atau tidaknya aturan itu. Melainkan, apa iya, Jokowi betul-betul berani menghukum mati koruptor?

Joko Widodo memang seringkali mengaku pro-antikorupsi dan berada di kubu rakyat. Namun, mengingat sederet kasus yang baru-baru ini terjadi, wajar jika publik pesimistis dan berspekulasi sebaliknya.

Ambil contoh revisi UU KPK. Jokowi 'melanggengkan' aturan baru yang dinilai malah melemahkan pemberantasan korupsi. Sejumlah pasal di dalam UU KPK baru dinilai memangkas kewenangan KPK dan menguntungkan koruptor.

Bahkan, Revisi UU KPK sebelumnya sudah ditolak banyak orang, termasuk sejumlah mahasiswa dan aktivis dalam gelombang demonstrasi yang menelan korban jiwa. Namun, Jokowi tetap tancap gas, belum ada tanda-tanda menerbitkan Perppu untuk mencabut UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 itu.
Kemudian perkara terbaru soal pemberian grasi ke eks Gubernur Riau, Annas Maamun. Koruptor alih fungsi hutan di Riau tersebut menerima grasi dari Jokowi, berupa pemotongan hukuman dari tujuh tahun menjadi enam tahun penjara.

Annas kini masih menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung. Annas yang seharusnya bebas pada 3 Oktober 2021, akan lepas dari jeratan jeruji besi pada 3 Oktober 2020.
Keputusan Jokowi ini sudah pasti dikecam banyak pihak. Sebab, untuk apa mengurangi hukuman ke maling uang negara?

"Kenapa itu diberikan, karena memang dari pertimbangan MA seperti itu. Pertimbangan yang kedua, dari Menkopolhukam juga seperti itu. Yang ketiga, memang dari sisi kemanusiaan, memang umurnya juga sudah uzur dan sakit-sakitan terus," kata Jokowi memberi alasan.

"Dari kacamata kemanusiaan itu diberikan. Tapi sekali lagi atas pertimbangan MA dan itu adalah hak yang diberikan kepada presiden dan UUD," sambung Jokowi.

Padahal, Annas masih tersangkut kasus lain di KPK dan masih berstatus tersangka sejak Februari 2015.
Kasus tersebut adalah dugaan suap terkait RAPBD Perubahan Tahun 2014 dan RAPBD Tambahan Tahun 2015 di Provinsi Riau. Ia diduga menyuap sejumlah anggota DPRD Provinsi Riau dalam perkara itu.

"Ya, masih ada satu perkara yang bersangkutan yang sedang kami tangani di tahap penyidikan," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah.

Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil melontarkan kritik keras kepada Jokowi yang bicara hukuman mati bagi koruptor. Nasir menganggap pernyataan Jokowi soal hukuman mati hanya retorika, belaka --seolah ingin melawan koruptor namun baru memberi grasi pada koruptor Annas Maamun.

"Presiden jangan hanya retorika saja, ya, jangan mengatakan terkait hukuman mati, tetapi dia harus introspeksi terkait dengan pemberian grasi terhadap terpidana korupsi dan lainnya," kata Nasir.

"Kita harap Presiden bicara soal korupsi tetap konsisten," imbuh politikus PKS itu.

Nasir menegaskan hukuman mati napi korupsi sudah diatur dalam UU Tipikor. Di dalam KUHP hasil revisi juga akan dibuat hukuman bagi koruptor secara perlahan (gradual). Saat ini, Komisi III sedang mengevaluasi apakah memberatkan hukuman bagi koruptor masih relevan dengan situasi saat ini atau tidak.

Efektifkah hukuman mati?
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengingatkan Jokowi agar berhati-hati dalam menentukan arah kebijakan pemberantasan korupsi. Menurut ICJR, penggunaan hukuman yang keras selama ini tak kunjung menurunkan angka korupsi.

ICJR mengingatkan Jokowi menghindari budaya penal populism--mengandalkan suasana emosional sesaat tanpa memperhatikan pertimbangan-pertimbangan rasional dan berbasis bukti/data.

"ICJR memandang pemberantasan korupsi akan jauh lebih efektif jika memaksimalkan langkah-langkah pencegahan melalui perbaikan sistem pemerintahan dan penegakan hukum agar memiliki tingkat transparansi dan akuntabilitas yang tinggi," ujar Direktur Eksekutif ICJR, Anggara.

Senada, pengamat hukum pidana, Indriyanto Seno Adji, mengatakan, hukuman mati untuk koruptor belum bisa direalisasikan lantaran masih menjadi perdebatan.

Menurut dia, jika tujuannya untuk memberikan efek jera (detterent effect), Indriyanto menilai sistem pemidanaan hukuman mati ditujukan pada kejahatan konvensional non-economic crimes. Indriyanto menganggap hukuman untuk koruptor sebaiknya menggunakan pendekatan rehabilitasi.

"Bagi saya, pemberantasan korupsi yang berbasis pencegahan sebaiknya tetap terarah secara konsistensi pada pendekatan rehabilitasi, dengan pidana penjara maksimum, dan tidak perlu hukuman mati yang juga tidak menciptakan detterent effect," tuturnya. [kpr]
Komentar

Tampilkan

Terkini