Oleh: Ragil Rahayu, SE
BAGAI tikus mati di lumbung padi. Itu peribahasa dulu. Menggambarkan rakyat yang hidup di negeri kaya namun tak ikut menikmati kesejahteraan. Kini yang terjadi adalah tikus mati di lumbung beras, karena berasnya dimusnahkan.
Di saat masih ada orang yang mati kelaparan, Perum Bulog justru hendak memusnahkan beras. Tak tanggung-tanggung, 20 ribu ton cadangan beras pemerintah (CBP) dimusnahkan karena mengalami penurunan mutu atau disposal stock.
Nilai beras disposal itu mencapai Rp 160 miliar dengan asumsi harga rata-rata pembelian di tingkat petani sebesar Rp 8.000 per kilogram.
Penyebab Masalah
Ada tiga hal yang menyebabkan terjadinya kasus pemusnahan beras ini.
Pertama, keputusan impor beras. Pada tahun 2018 pemerintah telah mengeluarkan kebijakan impor beras sebanyak 2,25 juta ton dengan nilai 1,03 miliar dolar AS. Angka ini paling tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Akibatnya, beras menumpuk di gudang Bulog. Jumlahnya mencapai 2,3 juta ton. Akibat terlalu lama menumpuk di gudang, beras mengalami penurunan mutu dan tak layak konsumsi sehingga harus dimusnahkan.
Keputusan impor ini tidak tepat karena dilakukan jelang panen raya. Impor dilakukan karena ketidaksinkronan data antara beberapa kementerian atau lembaga seperti Bulog, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, BPS, dan Bank Indonesia.
Sengkarut data menyebabkan kesalahan kebijakan. Alih-alih berkoordinasi dengan baik, para pejabat terkait justru menampilkan perseteruan di media. Keadaan makin runyam.
Kedua, salah kelola distribusi beras. Bulog menghadapi masalah tumpukan beras yang tak tersalurkan. Kebijakan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) membuat kemampuan Bulog menyalurkan beras merosot tajam. Bulog kehilangan 70 persen saluran distribusi terbesar berasnya. Beras yang tak tersalurkan membuat gudang Bulog penuh.
Seharusnya ada koordinasi antar lembaga agar kebijakan satu lembaga tidak berdampak buruk pada lembaga lain. Karena gudang penuh, jika terjadi panen raya, beras petani tak akan terserap. Padahal Bulog memiliki tanggung jawab untuk menyerap beras dari petani sehingga membantu kesejahteraan petani.
Ketiga, praktik kartel beras. Buwas mengatakan saat ini pasar pangan di Indonesia hampir 100 persen dikuasai oleh kegiatan kartel atau monopoli. Hal itu tentu merugikan masyarakat.
Menurut Buwas, produk-produk pangan Bulog saat ini hanya mengusai pasar sebesar 6 persen. Sedangkan sisanya 94 persen dikuasai oleh kartel. Harga pasar akhirnya ditentukan oleh swasta, karena merekalah sang penguasa pasar. Sementara rakyat kecil makin kesulitan untuk mengakses beras dengan harga terjangkau.
Janji Swasembada
Aneka masalah pengelolaan beras di Indonesia harus menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah. Sejak dulu, Indonesia adalah bangsa yang agraris. Seharusnya kita sudah terlatih untuk menangani masalah pangan. Namun, ternyata saat ini sektor pangan justru didikte swasta. Pemerintah hanya memantau stok dan harga, namun abai memastikan daya jangkau masyarakat terhadap pangan.
Sudahkah setiap perut rakyat Indonesia kenyang sehingga bisa beraktivitas dengan lancar? Banyak kasus kelaparan hingga mati terjadi di masyarakat. Ini menunjukkan bahwa negara gagal menjamin pemenuhan kebutuhan pangan rakyat. Selain itu, aspek ketahanan pangan juga jauh dari harapan. Longgarnya keran impor berdampak ketergantungan pada suplai dari luar.
Presiden Joko Widodo pada tahun 2014 berjanji akan membuat Indonesia berdaulat atas pangan atau swasembada saat terpilih. Dengan itu, ia berani berjanji untuk tidak mengimpor beras hingga daging.
Kala itu ia menilai impor harus dihentikan karena Indonesia memiliki semua stok yang dibutuhkan. "Kita harus berani stop impor pangan, stop impor beras, stop impor daging, stop impor kedelai, stop impor sayur, stop impor buah, stop impor ikan. Kita ini semuanya punya kok," jelas dia.
Namun janji ini tinggal kenangan. Swasembada pangan tidak terwujud, keran impor justru dibuka lebar-lebar. Tak hanya beras, komoditi pangan yang lainnya juga banyak diimpor dari luar negeri. Siapa yang diuntungkan dengan impor ini? Tentu saja para pengusaha importir. Sementara rakyat hanya bisa pasrah membeli barang yang ada di pasar, meski harganya mahal.
Negara berpihak pada kepentingan korporasi. Inilah wujud korporatokrasi. Selama negara tidak bertanggungjawab penuh terhadap pemenuhan kebutuhan pangan dan justru menyerahkannya pada swasta, kasus beras disposal akan terus terjadi. Negara akan dirugikan secara finansial. Rakyat miskin pun menjerit karena harga beras akan makin mahal.
Solusi
Permasalahan beras akan selesai jika negara memposisikan diri sebagai pengurus dan penanggungjawab urusan rakyat. Selama ini pemerintah berlaku sebagai regulator saja. Yakni sekadar membuat Undang-undang lantas membiarkan swasta menguasai pasar.
Seharusnya negara bertanggung jawab penuh terhadap penyediaan pangan, karena merupakan kebutuhan pokok. Pemerintah harus memiliki satu data yang padu mengenai produksi beras nasional, dibandingkan dengan kebutuhannya.
Semua lembaga terkait harus duduk satu meja untuk membuat kesepakatan langkah paling tepat yang akan diambil, demi kepentingan rakyat. Lantas Bulog mengatur distribusi beras hingga ke rakyat. Pengawasan distribusi harus sampai level individu rakyat, sehingga bisa dipastikan tak ada lagi orang yang kelaparan.
Pertanian harus digenjot kualitas dan kuantitasnya hingga bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri. Beras untuk rakyat miskin tak boleh yang kualitas rendah, melainkan harus sama dengan yang dikonsumsi masyarakat pada umumnya.
Praktik penimbunan dan monopoli oleh mafia beras juga harus disikat habis agar pasar beras berjalan normal. Demi bisa menjalankan solusi untuk beras, butuh pemimpin yang tegas terhadap mafia dan kartel.
Selain itu, juga butuh sistem ekonomi yang berorientasi pada kedaulatan pangan. Menjadi PR kita semua untuk mewujudkan solusi ini.
Member Komunitas Revowriter.
(*)