Fadli Zon Khawatir Orang ‘Puber Pancasila’ Menyerang Kelompok yang Berbeda

Ridhmedia
08/12/19, 03:21 WIB
RIDHMEDIA - Fadli Zon mengaku prihatin ancaman kriminalisasi yang menimpa pengamat politik Rocky Gerung, hanya gara-gara kritik kepada presiden yang disampaikan saat dialog di salah satu stasiun televisi swasta nasional.

“Ancaman itu menunjukkan rendahnya mutu peradaban politik kita. Kritik terhadap Presiden adalah sesuatu yang biasa dan harus diterima di tengah iklim demokrasi,” kata Fadli di akun Twitter-nya @fadlizon sebagaimana dikutip jpnn.com, Sabtu (7/12).

Begitu juga dengan adu argumentasi, kata Fadli, adalah sesuatu yang biasa dalam forum diskusi. “Buruk sekali jika setiap perbedaan pendapat di forum diskusi harus dihakimi oleh polisi dan pengadilan,” katanya.

“Ketika dia menyatakan ‘Presiden tidak paham Pancasila’, semua orang yang punya kemampuan literasi pastinya paham jika dia sedang beretorika,” twit Fadli.

Ia menjelaskan, retorika adalah bunga bahasa, seni berbicara. Karena itu, ujar Fadli, sia-sia menghubungkan retorika dengan kamus bahasa. “Apalagi dengan Kitab Undang-Undang Pidana sebagaimana yang hendak dilakukan oleh beberapa orang berpikiran cekak,” katanya.

Mantan wakil ketua DPR itu menyatakan retorika sebenarnya ada untuk meredam konflik. Dia menegaskan ruang publik politik memang sangat membutuhkan retorika.

“Bisa dibayangkan bagaimana seandainya semua orang harus berbicara terus terang untuk membela kepentingan dan pikirannya di ruang publik? Mungkin ruang publik kita isinya hanya makian dan sumpah serapah saja,” jelasnya.

Fadli menambahkan untunglah ada retorika. Ini adalah sejenis peredam untuk memperkecil potensi benturan. Itu sebabnya setiap upaya untuk menyeret retorika ke hadapan pengadilan harus dikecam.

“Menganggap Presiden sebagai “simbol negara”, sehingga mengkritiknya dianggap sebagai bentuk penghinaan, jelas anggapan salah kaprah. Konstitusi dan undang-undang kita tak pernah menyebut Presiden sebagai “simbol negara,” katanya.

Ia menjelaskan dalam BAB XV UUD 1945, terutama dalam Pasal 35 hingga 36B, jelas disebutkan yang dimaksud sebagai simbol negara adalah bendera, bahasa, lambang negara, serta lagu kebangsaaan. Soal simbol negara ini diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaaan.

Menurut dia, kalau baca UU 24/2009, di dalam pertimbangannya dinyatakan bahwa bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara.

Fadli menegaskan karena merupakan simbol negara, maka pidana yang diterapkannya adalah delik biasa, bukan delik aduan. Artinya, kata Fadli lagi, aparat bisa langsung menindak penyalahgunaan simbol-simbol negara tadi. “Jadi, sekali lagi, presiden bukanlah simbol negara. Bagaimana Presiden bisa dianggap simbol negara, jika tiap lima tahun sekali harus diganti?” paparnya.

“Pernyataan Rocky mengenai Pancasila juga tak pantas diadukan. Ia memang keliru ketika menyatakan yang tidak bisa diubah hanya bentuk negara, sementara Pancasila bisa diubah melalui amendemen,” katanya.

Padahal, lanjut Fadli, ada dua  hal yang tidak bisa diubah melalui amendemen konstitusi, yaitu Pembukaan (Preambule) dan bentuk negara.

Menurutnya, sila-sila Pancasila itu adanya di Pembukaan sehingga kedudukannya tidak bisa diamendemen. “Tetapi, apa karena kekeliruan itu Rocky telah menghina Pancasila? Saya kira hanya mereka yang pikirannya sempit, atau baru “puber Pancasila” saja yang mengira demikian. Mereka ini biasanya merasa dirinya paling Pancasilais dibandingkan warga negara yang lain,” jelas Fadli.

Bagi Fadli, orang-orang yang baru “puber Pancasila” ini jauh lebih pantas dikhawatirkan ketimbang Rocky Gerung. Pancasila adalah alat pemersatu, bukan alat pemecah-belah, namun di tangan orang-orang yang baru “puber Pancasila” ini, Pancasila kerap digunakan sebagai senjata untuk menyerang orang atau kelompok yanh berbeda pandangan. Ini sebenarnya adalah iklan yang buruk untuk Pancasila.

Ironisnya, lanjut Fadli, selain Rocky, yang biasanya dijadikan obyek serangan adalah kelompok Islam.

“Saya sebut ironis, karena kalau kita baca lagi sejarah, secara politik Pancasila adalah hadiah terbesar umat Islam bagi bangsa Indonesia,” paparnya.

Dari sisi nilai, lanjut Fadli, tidak pernah ada kontradiksi antara ajaran Islam dengan Pancasila. Sehingga, membentur-benturkan Pancasila dengan kelompok keagamaan adalah upaya kontra terhadap persatuan.

“Di tengah realitas kebangsaan kita yang pluri dan heterogen, tiap perbedaan mestinya didialogkan, bukan diancam untuk dipidanakan. Dan Pancasila adalah perangkat untuk membangun dialog tadi. Keliru sekali jika perangkat dialog kemudian justru digunakan sebagai senjata untuk menyerang,” kata Fadli.
[ipc]
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+