Ridhmedia - Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mencatat bahwa 2019 menjadi tahun yang kelam bagi politik Indonesia. Menurutnya, hampir sepanjang tahun ini wajah politik nasional dipenuhi peristiwa yang tidak menggembirakan.
Peristiwa tak menggembirakan yang dimaksud Fadli Zon mulai dari pemilu serentak yang amburadul, penegakan hukum yang bermasalah, pembatasan kebebasan berpendapat, represi atas oposisi, hingga munculnya wacana penambahan periode jabatan presiden.
"Jadi pantas membuat kita merasa cemas dengan masa depan demokrasi di Indonesia," kata dia lewat akun Twitternya yang dikutip pada Minggu, 29 Desember 2019. Pada awal tahun ini, publik disuguhkan optimisme pemilu serentak yang berkualitas. Namun, lanjut Fadli Zon, fakta berkata sebaliknya.
Ia mengaku pesta demokrasi berubah menjadi petaka dan menjadi tragedi. Padahal sejak Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 dikeluarkan, waktu tersedia untuk mempersiapkan pemilu serentak terbilang cukup lama.
Akan tetapi, karena pengelolaannya masih tradisional maka pemilu modern yang diharapkan justru berubah menjadi pemilu paling brutal. Mulai dari daftar pemilih bermasalah, tata kelola logistik tak merata, netralitas aparat, proses hitung cepat yang tak transparan, hingga 600 petugas pemilu meninggal dunia.
"Itu semua pantas membuat publik gelisah," katanya. Fadli Zon lalu mengambil contoh hasil survei LSI pada November 2019, di mana disebutkan bahwa 43 persen publik merasa takut berbicara politik.
Menariknya lagi, ungkap Fadli Zon, jumlah ini meningkat 100 persen dari Pemilu 2014 yang hanya 17 persen. Bagi Fadli Zon hal ini tidaklah mengagetkan. "Dari perspektif kebebasan sipil dan berpendapat, sangat jelas bahwa ini sebuah kemunduran demokrasi yang memalukan," klaim dia.
Oleh karena itu, Fadli Zon meminta Presiden Joko Widodo untuk tidak bisa tinggal diam melihat nasib demokrasi yang dinilainya porak-poranda.
"Untuk masa periode kedua ini, saya berharap presiden bertanggung jawab untuk membenahi kualitas demokrasi kita yang defisit. Tinggalkan legacy yang buruk, kecuali pemerintah memang ingin meneruskan keterpurukan demokrasi ini," ungkap Ketua BKSAP (Badan Kerja Sama Antar Parlemen) DPR RI ini. [viva]
Peristiwa tak menggembirakan yang dimaksud Fadli Zon mulai dari pemilu serentak yang amburadul, penegakan hukum yang bermasalah, pembatasan kebebasan berpendapat, represi atas oposisi, hingga munculnya wacana penambahan periode jabatan presiden.
"Jadi pantas membuat kita merasa cemas dengan masa depan demokrasi di Indonesia," kata dia lewat akun Twitternya yang dikutip pada Minggu, 29 Desember 2019. Pada awal tahun ini, publik disuguhkan optimisme pemilu serentak yang berkualitas. Namun, lanjut Fadli Zon, fakta berkata sebaliknya.
Ia mengaku pesta demokrasi berubah menjadi petaka dan menjadi tragedi. Padahal sejak Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 dikeluarkan, waktu tersedia untuk mempersiapkan pemilu serentak terbilang cukup lama.
Akan tetapi, karena pengelolaannya masih tradisional maka pemilu modern yang diharapkan justru berubah menjadi pemilu paling brutal. Mulai dari daftar pemilih bermasalah, tata kelola logistik tak merata, netralitas aparat, proses hitung cepat yang tak transparan, hingga 600 petugas pemilu meninggal dunia.
"Itu semua pantas membuat publik gelisah," katanya. Fadli Zon lalu mengambil contoh hasil survei LSI pada November 2019, di mana disebutkan bahwa 43 persen publik merasa takut berbicara politik.
Menariknya lagi, ungkap Fadli Zon, jumlah ini meningkat 100 persen dari Pemilu 2014 yang hanya 17 persen. Bagi Fadli Zon hal ini tidaklah mengagetkan. "Dari perspektif kebebasan sipil dan berpendapat, sangat jelas bahwa ini sebuah kemunduran demokrasi yang memalukan," klaim dia.
Oleh karena itu, Fadli Zon meminta Presiden Joko Widodo untuk tidak bisa tinggal diam melihat nasib demokrasi yang dinilainya porak-poranda.
"Untuk masa periode kedua ini, saya berharap presiden bertanggung jawab untuk membenahi kualitas demokrasi kita yang defisit. Tinggalkan legacy yang buruk, kecuali pemerintah memang ingin meneruskan keterpurukan demokrasi ini," ungkap Ketua BKSAP (Badan Kerja Sama Antar Parlemen) DPR RI ini. [viva]