RIDHMEDIA - Sebanyak lebih dari 70 juta orang di dunia terpaksa mengungsi akibat perang, konflik, dan persekusi. Lebih dari 25 juta adalah pengungsi yang melewati perbatasan internasional dan tidak bisa pulang.
Hal itu yang kemudian menjadi bahasan utama dalam Forum Pengungsi Global atau Global Refugee Forum yang digelar untuk kali pertama di Jenewa, Swiss pada 17 Desember 2019 dan berlangsung selama tiga hari.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyahari menjadi salah satu delegasi Indonesia dalam forum yang dihadiri lebih dari 2 ribu delegasi, mulai dari perwakilan pemerintah, PBB, masyarakat madani, hingga badan-badan kemanusiaan dan pemimpin bisnis.
“Ini jelas masalah kita bersama, masalah dunia, masalah kemanusiaan global yang harus kita cari solusinya bersama, bukan hanya satu atau sejumlah negara saja,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (18/12).
Kharis kemudian mengurai data Badan Pengungsi PBB (UNHCR) yang menyebut lebih dua pertiga pengungsi di seluruh dunia berasal dari hanya lima negara, yaitu Suriah (6,7 juta), Afghanistan (2,7 juta), Sudan Selatan (2,3 juta), Myanmar (1,1 juta), dan Somalia (0,9 juta).
Turki menjadi negara yang menampung pengungsi dalam jumlah banyak, yaitu mencapai 3,7 juta yang mayoritas berasal dari Suriah.
Politisi PKS itu mengurai bahwa saat ini juga tengah terjadi tren gelombang pengungsi global yang mengarus ke Indonesia sejak beberapa tahun terakhir.
“Mereka berpindah karena dipicu oleh perang, konflik dan persekusi menahun di negara asalnya,” terangnya.
Menyikapi situasi itu, pemerintah Indonesia telah mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri.
Secara garis besar, Perpres 125 mengatur bagaimana pemerintah pusat dan pemerintah daerah membantu pengungsi di areanya dan berkoordinasi dengan UNHCR untuk menemukan masalah dan mencari solusi bagi pengungsi.
Atas dasar itu, Kharis berpandangan bahwa Indonesia bisa menawarkan diri untuk menjadi solusi bagi negara yang tidak meratifikasi konvensi dan protokol PBB mengenai status pengungsi dengan membuat regulasi lokal.
“Sehingga upaya pemenuhan hak-hak mendasar bagi pengungsi yang paling rentan, seperti fasilitas penampungan sementara dan akses pada layanan kesehatan dapat diberikan,” tutup Kharis. [rml]
Hal itu yang kemudian menjadi bahasan utama dalam Forum Pengungsi Global atau Global Refugee Forum yang digelar untuk kali pertama di Jenewa, Swiss pada 17 Desember 2019 dan berlangsung selama tiga hari.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyahari menjadi salah satu delegasi Indonesia dalam forum yang dihadiri lebih dari 2 ribu delegasi, mulai dari perwakilan pemerintah, PBB, masyarakat madani, hingga badan-badan kemanusiaan dan pemimpin bisnis.
“Ini jelas masalah kita bersama, masalah dunia, masalah kemanusiaan global yang harus kita cari solusinya bersama, bukan hanya satu atau sejumlah negara saja,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (18/12).
Kharis kemudian mengurai data Badan Pengungsi PBB (UNHCR) yang menyebut lebih dua pertiga pengungsi di seluruh dunia berasal dari hanya lima negara, yaitu Suriah (6,7 juta), Afghanistan (2,7 juta), Sudan Selatan (2,3 juta), Myanmar (1,1 juta), dan Somalia (0,9 juta).
Turki menjadi negara yang menampung pengungsi dalam jumlah banyak, yaitu mencapai 3,7 juta yang mayoritas berasal dari Suriah.
Politisi PKS itu mengurai bahwa saat ini juga tengah terjadi tren gelombang pengungsi global yang mengarus ke Indonesia sejak beberapa tahun terakhir.
“Mereka berpindah karena dipicu oleh perang, konflik dan persekusi menahun di negara asalnya,” terangnya.
Menyikapi situasi itu, pemerintah Indonesia telah mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri.
Secara garis besar, Perpres 125 mengatur bagaimana pemerintah pusat dan pemerintah daerah membantu pengungsi di areanya dan berkoordinasi dengan UNHCR untuk menemukan masalah dan mencari solusi bagi pengungsi.
Atas dasar itu, Kharis berpandangan bahwa Indonesia bisa menawarkan diri untuk menjadi solusi bagi negara yang tidak meratifikasi konvensi dan protokol PBB mengenai status pengungsi dengan membuat regulasi lokal.
“Sehingga upaya pemenuhan hak-hak mendasar bagi pengungsi yang paling rentan, seperti fasilitas penampungan sementara dan akses pada layanan kesehatan dapat diberikan,” tutup Kharis. [rml]