Pemilu presiden telah berlalu sekitar setengah tahun yang lalu. Dilantiknya kembali Jokowi sebagai presiden petahan periode kedua telah membuktikan kemampuannya menembus benteng-benteng suara rakyat Indonesia. Meski dengan alur cerita yang sangat dramatis dan penuh intrik, kekuasaan mutlak pada paslon Jokowi-Ma’ruf. Kini, kekuasaan itu telah digenggam kembali untuk satu periode berikutnya. Bahkan para pembantu kabinetnya mengeluarkan usulan agara kempemimpininan Presiden diajukan menjadi tiga periode. Artinya, periode depan kemungkinan besar akan digenggam oleh Presiden Joko Widodo.
Setengah tahun kepemimpian telah berjalan. Tentunya tidak terlalu dini untuk membingkai kleidoskop kinerja presiden terpilih ini. Sebab, sudah terhimpun beberapa hasil kebijakan yang telah dikerjakan oleh kabinetnta dalam kurun waktu yang singkat tidak sampai hitungan setahun. Luar biasa bukan?. Kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Jokowi – Ma’ruf melalui pelaksana kabinet (para menteri) betul – betul nyata dan sangat kontroversial. Sebut saja kebijakan Kementerian pendidikan nasional yang telah mewacanakan beberapa terobosan seperti perombakan kurikulum k-13 terbaru hanya berjalan normal dua tahun terakhir. Kemudian revisi ulang persyaratan Sergu yang dinilai oleh para guru semakin dipersulit. Lalu permainan gelar akademis yang dianggap tidak penting. Kontroversi senada juga ada di Kementerian Agama. Muncul kebijakan yang sungguh menyakitkan hati ummat Islam. Mulai dari kebijakan pengawasan ceramah mesjid. Sertifikasi ulama, penghapusan materi pelajaran jihad dan Khilafah, sterilisasi PAUD/TK yang kini dianggap menjadi bibit radikalisme, hingga bully-an cadar dan celana cingkrang. Rezim sedang menyampaikan pesan bahwa pemerintahan Jokowi – Ma’ruf diancam oleh ajaran Islam dan kaum intelektual.
Dalam bidang ekonomi, rakyat semakin terjepit. Keran impor semakin menguasai. Produk lokal diabaikan, seperti beras bulog yang dibuang dan ayam yang dihanguskan. Belum lagi impor garam, bahan mentah obat, dan cangkul. Kesehatan juga semakin mendekati “warning”. Tarif BPJS terus naik meski rakyat sudah tidak mampu. Layanannya pun ditetapkan hanya pada pelayanan dasar medic bukan pelayanan seluruhnya. Alasannya agar BPJS tidak deficit. Lagi-lagi yang diutamakan adalah perusahaan Asuransi swasta bukan kesehatan rakyat. Angka stunting juga kini meningkat di tiap daerah. Penderitaan rakyat semakin memilukan kebijakan-kebijakan “otoriter” yang sesuka – sukanya membuat peraturan. Kegagalan pemerintah mengurus negeri ini semakin tampak jelas.
Inikah Wajah Demokrasi yang Dibela?
Indonesia kini semakin tidak memiliki kekuatan. Baik untuk mengurusi urusan dalam negerinya apalagi untuk urusan luar negeri. Rakyat semakin bingung kemana arah bangsa ini akan dibawa. Para pengusung demokrasi masih saja bersikukuh mengtaakan bahwa demokrasi di Indonesia telah memasuki tahapan dewasa. Dengan berjalannya pemilu langsung dan bebas menjadikan demokrasi semakin diterima masyarakat luas. Meskipun pada kenyataannya, demokrasi itu telah mati. Demokrasi mengajarkan pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Sebagai teori unggulan Montesquiue dengan trias politicanya membangun system pemerintahan yang konon katanya melibatkan rakyat. Namun rakyat yang mana yang dimaksud? Apakaha selama ini rakyat telah memilih pilihannya sendiri? Apakah selama ini rakyat telah diurus dengan pilihannya sendiri? Apakah selama ini rakyat telah sejahtera dengan pilihannya sendiri? Dan apakah selama ini hak rakyat telah ditunaikan oleh mereka yang mengklaim hasil pilihan rakyat? Sebagaimana Negara yang menganut demokrasi, harusnya jawaban itu adalah “ya”. Namun jelas, jawabannya adalah tidak. Para pemimpin negeri hanya bekerja dengan mengatasnamakan rakyat dan atas kehendak rakyat. Betulkah sumber daya alam dijual atas kehendak rakyat? Betulkah perkembangan HIV AIDS karena maraknya LGBT adalah demi rakyat? Apakah pemilihan para pejabat menteri itu juga hasil keputusan rakyat? Paksakan saja dikatakn “ya.” Tetapi rakyat itu adalah rakyat yang ada dilegislatif yang mewakili partai-partai, para menteri hasil pesanan partai, para menteri hasil pesanan investor, para meneteri hasil jasa sumbangan suara pemilu, para menteri yang mendukung calon pemimpin. Itulah kategori rakyatnya. Rakyat tertentu, dari kelas elit dan kalangan partai politik. Semua satu paket demi mempertanhankan pemerintahan yang ada dari rongrongan rakyat yang sessungguhnya. Kinerja hanya menghasilkan hutang dan menjual asset Negara , kotornya mereka selalu mengatakan atas nama kepentingan rakyat.
Ketika ada rakyat lain yang mati kelaparan, generasi candu narkoba, tidak punya rumah, pengangguran yang menganga, kejahatan merajelela dan korupsi melambung tinggi, meregang nyawa ditolak BPJS, adakah penguasa yang mengatasnamakan rakyat tadi peduli? Bukankah rakyat kelas lain yang mayoritas itu disuruh mengurus dirinya sendiri? Jika sanggup bermain hukum, maka lakukan. Jika tidak, cukup diam dan telan saja. Sebab untuk meminta pembelaan dari hukum yang ada, membutuhkan mahar yang mahal. Jual beli hukum juga menjadi wajah demokrasi.
Indonesia Berwajah Diktatoris?
Sebenarnya kerusakan yang menimpa negeri ini bukan dimulai dari rezim sekarang. Meskipun semua marasakan baru baru ini. Namun kerusakan itu telah ada puluhan tahun. Sejak Indonesia merdeka dipimpin Soekarno, Inodnesia juga tidak lepas dari wajah kebengisan penguasa. Mencurigai ulama, menghabisi pesantren, pemerkosaan wanita oleh oknum-oknum aparat orde lama dan orde baru yang tidak terungkap hingga hari ini. Jargon unggulan hak asasi manusia dalam sistem demokrasi telah banyak dilanggar. Sebab pada hakikatnya, demokrasi itu sendirilah yang memberi ruang untuk melahirkan pemimpin diktator. Standar ganda nilai kebebasan telah membuat penganutnya semena-mena. Sebab semua merasa memiliki hak asasi untuk berbuat apapaun. Pemerintah merasa memilik hak membubarkan ormas-ormas yang dianggap mengancam eksistenis kekuasaannya. Merasa memiliki hak utuk membungkam aktifis yang vocal mengktitik. Merasa berhak mengatur ulama dalam berceramah. Merasa berhak mendikte keputusan legisltaif dan yudisial. Para menetri merasa punya hak untuk melangkahi Presiden, para dewan merasa berhak menolak atau menerima keputusan presiden. Mahkamah Agung juga merasa berhak menerima atau menolak pesanan Presiden. Tupoksi kerja yang ada hanya bersandar pada “perasaan hak” bukan pada “kewajiban” yang ditetapkan. Mulai dari orde lama hingga hari ini, wajah demokrasi yang diemban adalah diktatoris.
Demokrasi itu sangat lemah. Tidak punya pemikiran yang tegas dan lugas. Ia bisa ditunggangi siappaun. Baik diktatoris, kapitalis maupun sosialis. Karena senjata utamanya adalah “hak”. Maka sungguh tidak akan mampu negeri ini melangkah maju ke depan dan berperadaban jika tetap memakai demokrasi. Kediktatoran tidak akan berhenti dan akan semakin menjadi-jadi.
Solusi Untuk Negeri
Segala kerusakan yang telah terjadi, seyogyanya menjadi pelajaran berharga bagi rakyat. Dari rezim ke rezim, pemilu ke pemilu tidak membawa perubahan yang hakiki bagi kebangkitan negeri. Rakyat semakin tertindas apalagi ditambah dengan kebijakan kapitalis yang materialis atas nama demokratisasi. Sudah saatnya semua ini diakhiri dan menyampaikan solusi ampuh untuk mengamputasi semua permasalahan yang telah mengakar dan berkarat. Karena akarnya adalah sekulerisme yang menunggangi demokrasi. Maka akar itu harus dicabut dan diganti dengan Islam. Islam sebagai sebuah aturan hiudp yang mendasar dan menyeluruh akan memberikan penyelasiaan masalah yang sesui dengan fitrah manusia. Jauh dari kediktatoran, dan mendatangkan keberkahan. Hukum Sang Maha Pencipta menjadi standar benar dan salah. Kewajiban menjadi acuan bekerja bagi pemegang tampuk kekuasaan. Penerapan syariah Islam yang diamini oleh individu, dikontrol masyarakat dan ditegakkan oleh Negara adalah satu-satunya solusi untuk negeri.
Sudah cukup pertumpahan darah akibat sengketa pemilu, sudah cukup drama politik untuk menjatuhkan Islam, sudah cukup keberagaman menjadi alasan ditolaknya hukum Allah. sudah cukup derita akibat BPJS, dan kesewang-wenangan lainnya.
Syariah Islam memngajarkana konsep kepemimpinan yang manusiawi. Aturannya tidak hanya rahmat bagi kaum muslim, namun juga non muslim. Pejabat adalah pelayan rakyat yang akan diangkat kepala Negara dari kalangan yang ahli dibidangnya. Bukan karena pesanan partai apalagi investor. Semua itu tidak akan berlaku dalam pemerintahan Islam. Peluang kriminal sangat kecil karena hukum Allah bersifat mencegah dan menebus dosa. Rakyat akan dibingkai dalam syariah yang mulia hingga melahirkan peradaban adidaya yang disegani dunia. Yakinlah, bahwa Indonesia hanya akan selamat di bawah naungan Islam kaffah.
Oleh : Nahdoh Fikriyyah Islam
Dosen dan Pengamat Politik
Setengah tahun kepemimpian telah berjalan. Tentunya tidak terlalu dini untuk membingkai kleidoskop kinerja presiden terpilih ini. Sebab, sudah terhimpun beberapa hasil kebijakan yang telah dikerjakan oleh kabinetnta dalam kurun waktu yang singkat tidak sampai hitungan setahun. Luar biasa bukan?. Kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Jokowi – Ma’ruf melalui pelaksana kabinet (para menteri) betul – betul nyata dan sangat kontroversial. Sebut saja kebijakan Kementerian pendidikan nasional yang telah mewacanakan beberapa terobosan seperti perombakan kurikulum k-13 terbaru hanya berjalan normal dua tahun terakhir. Kemudian revisi ulang persyaratan Sergu yang dinilai oleh para guru semakin dipersulit. Lalu permainan gelar akademis yang dianggap tidak penting. Kontroversi senada juga ada di Kementerian Agama. Muncul kebijakan yang sungguh menyakitkan hati ummat Islam. Mulai dari kebijakan pengawasan ceramah mesjid. Sertifikasi ulama, penghapusan materi pelajaran jihad dan Khilafah, sterilisasi PAUD/TK yang kini dianggap menjadi bibit radikalisme, hingga bully-an cadar dan celana cingkrang. Rezim sedang menyampaikan pesan bahwa pemerintahan Jokowi – Ma’ruf diancam oleh ajaran Islam dan kaum intelektual.
Dalam bidang ekonomi, rakyat semakin terjepit. Keran impor semakin menguasai. Produk lokal diabaikan, seperti beras bulog yang dibuang dan ayam yang dihanguskan. Belum lagi impor garam, bahan mentah obat, dan cangkul. Kesehatan juga semakin mendekati “warning”. Tarif BPJS terus naik meski rakyat sudah tidak mampu. Layanannya pun ditetapkan hanya pada pelayanan dasar medic bukan pelayanan seluruhnya. Alasannya agar BPJS tidak deficit. Lagi-lagi yang diutamakan adalah perusahaan Asuransi swasta bukan kesehatan rakyat. Angka stunting juga kini meningkat di tiap daerah. Penderitaan rakyat semakin memilukan kebijakan-kebijakan “otoriter” yang sesuka – sukanya membuat peraturan. Kegagalan pemerintah mengurus negeri ini semakin tampak jelas.
Inikah Wajah Demokrasi yang Dibela?
Indonesia kini semakin tidak memiliki kekuatan. Baik untuk mengurusi urusan dalam negerinya apalagi untuk urusan luar negeri. Rakyat semakin bingung kemana arah bangsa ini akan dibawa. Para pengusung demokrasi masih saja bersikukuh mengtaakan bahwa demokrasi di Indonesia telah memasuki tahapan dewasa. Dengan berjalannya pemilu langsung dan bebas menjadikan demokrasi semakin diterima masyarakat luas. Meskipun pada kenyataannya, demokrasi itu telah mati. Demokrasi mengajarkan pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Sebagai teori unggulan Montesquiue dengan trias politicanya membangun system pemerintahan yang konon katanya melibatkan rakyat. Namun rakyat yang mana yang dimaksud? Apakaha selama ini rakyat telah memilih pilihannya sendiri? Apakah selama ini rakyat telah diurus dengan pilihannya sendiri? Apakah selama ini rakyat telah sejahtera dengan pilihannya sendiri? Dan apakah selama ini hak rakyat telah ditunaikan oleh mereka yang mengklaim hasil pilihan rakyat? Sebagaimana Negara yang menganut demokrasi, harusnya jawaban itu adalah “ya”. Namun jelas, jawabannya adalah tidak. Para pemimpin negeri hanya bekerja dengan mengatasnamakan rakyat dan atas kehendak rakyat. Betulkah sumber daya alam dijual atas kehendak rakyat? Betulkah perkembangan HIV AIDS karena maraknya LGBT adalah demi rakyat? Apakah pemilihan para pejabat menteri itu juga hasil keputusan rakyat? Paksakan saja dikatakn “ya.” Tetapi rakyat itu adalah rakyat yang ada dilegislatif yang mewakili partai-partai, para menteri hasil pesanan partai, para menteri hasil pesanan investor, para meneteri hasil jasa sumbangan suara pemilu, para menteri yang mendukung calon pemimpin. Itulah kategori rakyatnya. Rakyat tertentu, dari kelas elit dan kalangan partai politik. Semua satu paket demi mempertanhankan pemerintahan yang ada dari rongrongan rakyat yang sessungguhnya. Kinerja hanya menghasilkan hutang dan menjual asset Negara , kotornya mereka selalu mengatakan atas nama kepentingan rakyat.
Ketika ada rakyat lain yang mati kelaparan, generasi candu narkoba, tidak punya rumah, pengangguran yang menganga, kejahatan merajelela dan korupsi melambung tinggi, meregang nyawa ditolak BPJS, adakah penguasa yang mengatasnamakan rakyat tadi peduli? Bukankah rakyat kelas lain yang mayoritas itu disuruh mengurus dirinya sendiri? Jika sanggup bermain hukum, maka lakukan. Jika tidak, cukup diam dan telan saja. Sebab untuk meminta pembelaan dari hukum yang ada, membutuhkan mahar yang mahal. Jual beli hukum juga menjadi wajah demokrasi.
Indonesia Berwajah Diktatoris?
Sebenarnya kerusakan yang menimpa negeri ini bukan dimulai dari rezim sekarang. Meskipun semua marasakan baru baru ini. Namun kerusakan itu telah ada puluhan tahun. Sejak Indonesia merdeka dipimpin Soekarno, Inodnesia juga tidak lepas dari wajah kebengisan penguasa. Mencurigai ulama, menghabisi pesantren, pemerkosaan wanita oleh oknum-oknum aparat orde lama dan orde baru yang tidak terungkap hingga hari ini. Jargon unggulan hak asasi manusia dalam sistem demokrasi telah banyak dilanggar. Sebab pada hakikatnya, demokrasi itu sendirilah yang memberi ruang untuk melahirkan pemimpin diktator. Standar ganda nilai kebebasan telah membuat penganutnya semena-mena. Sebab semua merasa memiliki hak asasi untuk berbuat apapaun. Pemerintah merasa memilik hak membubarkan ormas-ormas yang dianggap mengancam eksistenis kekuasaannya. Merasa memiliki hak utuk membungkam aktifis yang vocal mengktitik. Merasa berhak mengatur ulama dalam berceramah. Merasa berhak mendikte keputusan legisltaif dan yudisial. Para menetri merasa punya hak untuk melangkahi Presiden, para dewan merasa berhak menolak atau menerima keputusan presiden. Mahkamah Agung juga merasa berhak menerima atau menolak pesanan Presiden. Tupoksi kerja yang ada hanya bersandar pada “perasaan hak” bukan pada “kewajiban” yang ditetapkan. Mulai dari orde lama hingga hari ini, wajah demokrasi yang diemban adalah diktatoris.
Demokrasi itu sangat lemah. Tidak punya pemikiran yang tegas dan lugas. Ia bisa ditunggangi siappaun. Baik diktatoris, kapitalis maupun sosialis. Karena senjata utamanya adalah “hak”. Maka sungguh tidak akan mampu negeri ini melangkah maju ke depan dan berperadaban jika tetap memakai demokrasi. Kediktatoran tidak akan berhenti dan akan semakin menjadi-jadi.
Solusi Untuk Negeri
Segala kerusakan yang telah terjadi, seyogyanya menjadi pelajaran berharga bagi rakyat. Dari rezim ke rezim, pemilu ke pemilu tidak membawa perubahan yang hakiki bagi kebangkitan negeri. Rakyat semakin tertindas apalagi ditambah dengan kebijakan kapitalis yang materialis atas nama demokratisasi. Sudah saatnya semua ini diakhiri dan menyampaikan solusi ampuh untuk mengamputasi semua permasalahan yang telah mengakar dan berkarat. Karena akarnya adalah sekulerisme yang menunggangi demokrasi. Maka akar itu harus dicabut dan diganti dengan Islam. Islam sebagai sebuah aturan hiudp yang mendasar dan menyeluruh akan memberikan penyelasiaan masalah yang sesui dengan fitrah manusia. Jauh dari kediktatoran, dan mendatangkan keberkahan. Hukum Sang Maha Pencipta menjadi standar benar dan salah. Kewajiban menjadi acuan bekerja bagi pemegang tampuk kekuasaan. Penerapan syariah Islam yang diamini oleh individu, dikontrol masyarakat dan ditegakkan oleh Negara adalah satu-satunya solusi untuk negeri.
Sudah cukup pertumpahan darah akibat sengketa pemilu, sudah cukup drama politik untuk menjatuhkan Islam, sudah cukup keberagaman menjadi alasan ditolaknya hukum Allah. sudah cukup derita akibat BPJS, dan kesewang-wenangan lainnya.
Syariah Islam memngajarkana konsep kepemimpinan yang manusiawi. Aturannya tidak hanya rahmat bagi kaum muslim, namun juga non muslim. Pejabat adalah pelayan rakyat yang akan diangkat kepala Negara dari kalangan yang ahli dibidangnya. Bukan karena pesanan partai apalagi investor. Semua itu tidak akan berlaku dalam pemerintahan Islam. Peluang kriminal sangat kecil karena hukum Allah bersifat mencegah dan menebus dosa. Rakyat akan dibingkai dalam syariah yang mulia hingga melahirkan peradaban adidaya yang disegani dunia. Yakinlah, bahwa Indonesia hanya akan selamat di bawah naungan Islam kaffah.
Oleh : Nahdoh Fikriyyah Islam
Dosen dan Pengamat Politik