Oleh: Chusnatul Jannah
Anggota Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban
Apa yang disampaikan Pak Mahfud MD ada benarnya. Ia meminta industri hukum tidak dipraktikkan dalam penegakan hukum Indonesia. Industri hukum yang dimaksud adalah penegakan hukum yang tidak berdasarkan asas keadilan. Menurutnya, industri hukum merupakan bentuk penyelewengan. "Orang yang bersalah diatur sedemikian rupa agar tidak bersalah. Orang tak bersalah dibuatkan masalah agar bersalah. Hukum pun ditukangi seakan-akan seperti barang yang bisa disetel dengan keahlian dan keterampilan," katanya. Sindiran ini ia tujukan untuk lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan hakim.
Sungguh pernyataan yang sangat menarik di tengah penegakan hukum yang masih suram. Apa yang disampaikan Mahfud MD sangat berbanding terbalik dalam praktiknya. Justru industri hukum itu diproduksi sendiri oleh pemerintah. Sejauh ini penegakan hukum di masa pemerintahan Jokowi memiliki catatan merah. Bahkan dalam pidato kampanye pilpres lalu, Jokowi tak menyinggung sama sekali komitmen pemerintahannya terkait penegakan hukum. Hal kontroversi yang paling kentara terkait hukum ialah revisi UU KPK. Gelombang massa yang memprotes upaya memutilasi peran KPK dalam pemberantasan korupsi tak digubrisnya. Revisi UU KPK itu tetap saja dilanjutkan tanpa restu rakyat.
Menilik ke belakang, UU Ormas yang terbit setelah penerbitan Perppu Ormas. Disebut-sebut Perppu Ormas itu hanya menyasar salah satu kelompok yang dituduh anti NKRI dan Pancasila. Pemerintah melalui Menkopolhukam pun membubarkan ormas tersebut. Tanpa didahului peringatan, mereka dibubarkan menurut penilaian pemerintah sendiri. Belum lagi perlakuan berbeda pemerintahan Jokowi terhadap lawan politik dan pendukungnya. UU ITE kerap digunakan untuk membungkam lawan politik yang kritis. Ujaran kebencian menjadi pasal ampuh menjerat mereka. Para aktivis pro Prabowo saat itu berakhir juga di balik jeruji besi. Contohnya adalah Ahmad Dhani dan sejumlah aktivis lainnya yang kemudia bebas.
Industri hukum itu memang ada. Yang tidak bersalah dibuat bersalah. Praktiknya bisa kita lihat kasus chat mesum HRS, kriminalisasi ulama dan sejumlah aktivis yang berseberangan dengan pemerintah. Yang bersalah dibuat sedemikian rupa hingga tidak bersalah. Hal ini nampak dari tebang pilih hukum yang diterapkan. Para pendukung penguasa seolah tak tersentuh hukum. Sebut saja Deny Siregar, Ade Armando, Victor Laiskodat, dan Abu Janda adalah sejumlah aktivis projo yang acapkali melontarkan narasi ujaran kebencian dan penodaan agama. Mereka pun masih bebas menghirup udara segar dan berkeliaran dengan narasi-narasi yang cenderung berpotensi memecah belah umat. Andaikata hal itu dilakukan aktivis kontra penguasa, apa bakal tenteram seperti mereka? Inilah secuil bukti bahwa apa yang disampaikan Prof Mahfud MD bukanlah isapan jempol semata.
Memang seharusnya begitu. Tak boleh ada industri hukum di negeri yang katanya negara hukum. Gesekan antara rakyat dan penguasa terjadi karena tidak ada rasa keadilan di negeri ini. Negara harusnya hadir memberi rasa keadilan itu. Sehingga gejolak rakyat mampu diredam. Adil adalah hal mendasar yang harus dilakukan penguasa. Adil dalam memberitakan. Adil dalam menghukumi. Adil dalam menyejahterakan. Dan muara semua keadilan itu adalah adil dalam memimpin. Pemimpin yang adil akan dicintai rakyatnya. Sekaligus berbuah pahala untuknya. Sementara pemimpin yang curang akan dibenci rakyatnya. Dan hisabnya kelak sangat berat. Semoga masih ada secerca harapan untuk kami. Negeri ini butuh keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Dan hal itu dibutuhkan kepemimpinan yang amanah dan berkeadilan. []
Anggota Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban
Apa yang disampaikan Pak Mahfud MD ada benarnya. Ia meminta industri hukum tidak dipraktikkan dalam penegakan hukum Indonesia. Industri hukum yang dimaksud adalah penegakan hukum yang tidak berdasarkan asas keadilan. Menurutnya, industri hukum merupakan bentuk penyelewengan. "Orang yang bersalah diatur sedemikian rupa agar tidak bersalah. Orang tak bersalah dibuatkan masalah agar bersalah. Hukum pun ditukangi seakan-akan seperti barang yang bisa disetel dengan keahlian dan keterampilan," katanya. Sindiran ini ia tujukan untuk lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan hakim.
Sungguh pernyataan yang sangat menarik di tengah penegakan hukum yang masih suram. Apa yang disampaikan Mahfud MD sangat berbanding terbalik dalam praktiknya. Justru industri hukum itu diproduksi sendiri oleh pemerintah. Sejauh ini penegakan hukum di masa pemerintahan Jokowi memiliki catatan merah. Bahkan dalam pidato kampanye pilpres lalu, Jokowi tak menyinggung sama sekali komitmen pemerintahannya terkait penegakan hukum. Hal kontroversi yang paling kentara terkait hukum ialah revisi UU KPK. Gelombang massa yang memprotes upaya memutilasi peran KPK dalam pemberantasan korupsi tak digubrisnya. Revisi UU KPK itu tetap saja dilanjutkan tanpa restu rakyat.
Menilik ke belakang, UU Ormas yang terbit setelah penerbitan Perppu Ormas. Disebut-sebut Perppu Ormas itu hanya menyasar salah satu kelompok yang dituduh anti NKRI dan Pancasila. Pemerintah melalui Menkopolhukam pun membubarkan ormas tersebut. Tanpa didahului peringatan, mereka dibubarkan menurut penilaian pemerintah sendiri. Belum lagi perlakuan berbeda pemerintahan Jokowi terhadap lawan politik dan pendukungnya. UU ITE kerap digunakan untuk membungkam lawan politik yang kritis. Ujaran kebencian menjadi pasal ampuh menjerat mereka. Para aktivis pro Prabowo saat itu berakhir juga di balik jeruji besi. Contohnya adalah Ahmad Dhani dan sejumlah aktivis lainnya yang kemudia bebas.
Industri hukum itu memang ada. Yang tidak bersalah dibuat bersalah. Praktiknya bisa kita lihat kasus chat mesum HRS, kriminalisasi ulama dan sejumlah aktivis yang berseberangan dengan pemerintah. Yang bersalah dibuat sedemikian rupa hingga tidak bersalah. Hal ini nampak dari tebang pilih hukum yang diterapkan. Para pendukung penguasa seolah tak tersentuh hukum. Sebut saja Deny Siregar, Ade Armando, Victor Laiskodat, dan Abu Janda adalah sejumlah aktivis projo yang acapkali melontarkan narasi ujaran kebencian dan penodaan agama. Mereka pun masih bebas menghirup udara segar dan berkeliaran dengan narasi-narasi yang cenderung berpotensi memecah belah umat. Andaikata hal itu dilakukan aktivis kontra penguasa, apa bakal tenteram seperti mereka? Inilah secuil bukti bahwa apa yang disampaikan Prof Mahfud MD bukanlah isapan jempol semata.
Memang seharusnya begitu. Tak boleh ada industri hukum di negeri yang katanya negara hukum. Gesekan antara rakyat dan penguasa terjadi karena tidak ada rasa keadilan di negeri ini. Negara harusnya hadir memberi rasa keadilan itu. Sehingga gejolak rakyat mampu diredam. Adil adalah hal mendasar yang harus dilakukan penguasa. Adil dalam memberitakan. Adil dalam menghukumi. Adil dalam menyejahterakan. Dan muara semua keadilan itu adalah adil dalam memimpin. Pemimpin yang adil akan dicintai rakyatnya. Sekaligus berbuah pahala untuknya. Sementara pemimpin yang curang akan dibenci rakyatnya. Dan hisabnya kelak sangat berat. Semoga masih ada secerca harapan untuk kami. Negeri ini butuh keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Dan hal itu dibutuhkan kepemimpinan yang amanah dan berkeadilan. []