OLEH: SALAMUDDIN DAENG
TENTU saja yang diminta bangun kilang oleh Presiden Jokowi adalah BUMN Pertamina. Mengapa? Karena Pertamina lah yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah untuk membangun kilang.
Sebab, pemerintah tak mungkin dan tidak boleh membangun kilang sendiri, karena kilang adalah usaha bisnis, sedangkan pemerintah tidak boleh berbisnis. Kalau pemerintah boleh berbisnis, maka pemerintah bisa disalahkan atas masalah ini.
Namun setelah lima tahun Pemerintahan Jokowi, tak satupun kilang yang terbangun. Bahkan belum ada tanda tanda meski 1 persen kilang bakal terbangun. Permintaan Presiden Jokowi tak didengar. Pihak pihak yang diserahkan tanggung jawab melaksanakan ini tidak melakukan langkah langkah sama sekali. Sungguh aneh! Perintah Presiden dianggap angin lalu.
Bagaimana dengan upaya Pertamina ke arah pembangunan kilang? Seharusnya memang pertamina yang paling kompeten bangun kilang. Pertamina BUMN migas satu satunya di tanah air. Pertamina salah satu perusahaan terbesar di Indonesia. Belanja minyak pertamina bisa mencapai Rp 1.000 triliun setiap tahun. Masa iya Pertamina tak sanggup bangun kilang?
Tapi kenyataannya Pertamina tak sanggup membangun kilang. Ini wajar dipertanyakkan oleh Presiden. Bayangkan kilang-kilang minyak yang ada sekarang adalah kilang tua. Entah sampai berapa lama lagi sanggup beroperasi untuk memenuhi kebutuhan migas nasional, tuntutan zaman, tuntutan isu-isu energi ramah lingkungan dan lain sebagainya.
Jangan jangan ada mafia yang sengaja menghalang-halangi pembangunan kilang. Agar Pertamina tetap tergantung pada impor migas, terutama sekali impor solar dan elpiji.
Impor migas jauh lebih gampang menghitung untungnya daripada bangun kilang sendiri. Atau jangan-jangan ada setoran besar dari importir yang bermain di sini. Presiden harus mengecek keberadaan mafia impor ini dan memberantasnya sampai tuntas.
Padahal di Pertamina sendiri sudah dibuat dua direksi yang ada kaitannya dengan pembangunan kilang, yakni direktur megaproyek dan didukung oleh direktur infrastruktur. Apa pekerjaan direksi direksi teraebut selama ini? Kok bisa 1 persen kilang tidak jalan.
Wajar saja Presiden Jokowi murka. Mengapa Direktur utama (Dirut) seolah cuek saja menganggap omongan presiden sebagai dagelan?
Kalau alasannya Pertamina tak punya uang? Maka seharusnya Pertamina pandai cari uang, pandai cari mitra. Perusahaan sebesar Pertamina pasti gampang cari uang. Kecuali kalau direksi direksi tidak mau atau malas, maka dan cari uang, atau menjadi perpanjangan tangan pihak lain yang tak mau kilang minyak Pertamina terbangun. Kalau begitu ya terima nasib. Presiden Jokowi murka.
Utang Global Bond Menumpuk
Wajar presiden murka dengan kinerja perusahaan migas nasional, karena selama lima tahun terakhir tidak ada satu kilang migas yang terbangun. Padahal Pertamina yang ditugaskan membangun kilang dan telah banyak menumpuk utang dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Pertanyaan publik mungkin sama dengan pertanyaan Presiden, digunakan untuk apa uang hasil utang tersebut digunakan Pertamina ?
Setelah libur beberapa tahun membuat global bond, pada akhir Tahun 2018 yakni tanggal 7 November 2018, tiga bulan setelah Dirut Pertamina yang baru dilantik, Pertamina mengambil utang global bond senilai 750 juta dolar AS. Nicke Widyawati menjabat PLT Dirut Pertamina sejak April 2018.
Selanjutnya tahun 2019 Pertamina dua kali 750 juta dolar AS membuat utang global bond tepatnya pada bulan Juni atau senilai 1,5 miliar dolar AS. Dengan demikian jumlah utang global bond yang dibuat oleh direktur utama Pertamina Nicke Widyawati mencapai Rp 31,5 triliun dalam kurun waktu kurang dari setahun.
Global bond yang baru mengakumulasi total utang global bond yang dibuat pada masa masa sebelumnya, yakni tahun 2011 senilai 1,5 miliar dolar AS, tahun 2012 senilai 2,5 miliar dolar AS, tahun 2013 senilai 3,25 miliar dolar AS, dan tahun 2014 senilai 1,5 miliar dolar AS.
Utang pertamina terus menumpuk, belum termasuk utang utang pada bank, namun anehnya produksi migas juga tidak meningkat secara significant. Justru yang paling tragis adalah impor migas, terutama LPG yang justru meroket.
Lebih tragis lagi tidak ada satu kilangpun yang terbangun. Padahal ini merupakan tugas utama yang diberikan Presiden Jokowi agar Pertamina membangun kilang. Presiden Jokowi murka karena belum ada 1 persen pun kemajuan dalam pembangunan kilang.
Lalu untuk apa utang utang itu digunakan? Pada sisi lain untung pertamina juga makin mengecil, bahkan merugi. Kinerja keuangan yang kurang baik ini akan menjadi masalah besar pada Pertamina di masa mendatang. Dengan kemampuan mendapatkan laba saat ini, maka mustahil utang utang itu dapat dibayar dari produktifitas perusahaan.
Berbeda kalau Pertamina mengambil utang dan berhasil membangun kilang pengolahan migas. Maka produktifitas utang tersebut akan dapat membantu perusahaan membayar kewajiban di masa medatang. Tapi jika perintah Presiden Jokowi dianggap angin lalu seperti ini, maka suatu saat Pertamina bisa gagal bayar utang.
(Penulis adalah peneliti senior Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
TENTU saja yang diminta bangun kilang oleh Presiden Jokowi adalah BUMN Pertamina. Mengapa? Karena Pertamina lah yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah untuk membangun kilang.
Sebab, pemerintah tak mungkin dan tidak boleh membangun kilang sendiri, karena kilang adalah usaha bisnis, sedangkan pemerintah tidak boleh berbisnis. Kalau pemerintah boleh berbisnis, maka pemerintah bisa disalahkan atas masalah ini.
Namun setelah lima tahun Pemerintahan Jokowi, tak satupun kilang yang terbangun. Bahkan belum ada tanda tanda meski 1 persen kilang bakal terbangun. Permintaan Presiden Jokowi tak didengar. Pihak pihak yang diserahkan tanggung jawab melaksanakan ini tidak melakukan langkah langkah sama sekali. Sungguh aneh! Perintah Presiden dianggap angin lalu.
Bagaimana dengan upaya Pertamina ke arah pembangunan kilang? Seharusnya memang pertamina yang paling kompeten bangun kilang. Pertamina BUMN migas satu satunya di tanah air. Pertamina salah satu perusahaan terbesar di Indonesia. Belanja minyak pertamina bisa mencapai Rp 1.000 triliun setiap tahun. Masa iya Pertamina tak sanggup bangun kilang?
Tapi kenyataannya Pertamina tak sanggup membangun kilang. Ini wajar dipertanyakkan oleh Presiden. Bayangkan kilang-kilang minyak yang ada sekarang adalah kilang tua. Entah sampai berapa lama lagi sanggup beroperasi untuk memenuhi kebutuhan migas nasional, tuntutan zaman, tuntutan isu-isu energi ramah lingkungan dan lain sebagainya.
Jangan jangan ada mafia yang sengaja menghalang-halangi pembangunan kilang. Agar Pertamina tetap tergantung pada impor migas, terutama sekali impor solar dan elpiji.
Impor migas jauh lebih gampang menghitung untungnya daripada bangun kilang sendiri. Atau jangan-jangan ada setoran besar dari importir yang bermain di sini. Presiden harus mengecek keberadaan mafia impor ini dan memberantasnya sampai tuntas.
Padahal di Pertamina sendiri sudah dibuat dua direksi yang ada kaitannya dengan pembangunan kilang, yakni direktur megaproyek dan didukung oleh direktur infrastruktur. Apa pekerjaan direksi direksi teraebut selama ini? Kok bisa 1 persen kilang tidak jalan.
Wajar saja Presiden Jokowi murka. Mengapa Direktur utama (Dirut) seolah cuek saja menganggap omongan presiden sebagai dagelan?
Kalau alasannya Pertamina tak punya uang? Maka seharusnya Pertamina pandai cari uang, pandai cari mitra. Perusahaan sebesar Pertamina pasti gampang cari uang. Kecuali kalau direksi direksi tidak mau atau malas, maka dan cari uang, atau menjadi perpanjangan tangan pihak lain yang tak mau kilang minyak Pertamina terbangun. Kalau begitu ya terima nasib. Presiden Jokowi murka.
Utang Global Bond Menumpuk
Wajar presiden murka dengan kinerja perusahaan migas nasional, karena selama lima tahun terakhir tidak ada satu kilang migas yang terbangun. Padahal Pertamina yang ditugaskan membangun kilang dan telah banyak menumpuk utang dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Pertanyaan publik mungkin sama dengan pertanyaan Presiden, digunakan untuk apa uang hasil utang tersebut digunakan Pertamina ?
Setelah libur beberapa tahun membuat global bond, pada akhir Tahun 2018 yakni tanggal 7 November 2018, tiga bulan setelah Dirut Pertamina yang baru dilantik, Pertamina mengambil utang global bond senilai 750 juta dolar AS. Nicke Widyawati menjabat PLT Dirut Pertamina sejak April 2018.
Selanjutnya tahun 2019 Pertamina dua kali 750 juta dolar AS membuat utang global bond tepatnya pada bulan Juni atau senilai 1,5 miliar dolar AS. Dengan demikian jumlah utang global bond yang dibuat oleh direktur utama Pertamina Nicke Widyawati mencapai Rp 31,5 triliun dalam kurun waktu kurang dari setahun.
Global bond yang baru mengakumulasi total utang global bond yang dibuat pada masa masa sebelumnya, yakni tahun 2011 senilai 1,5 miliar dolar AS, tahun 2012 senilai 2,5 miliar dolar AS, tahun 2013 senilai 3,25 miliar dolar AS, dan tahun 2014 senilai 1,5 miliar dolar AS.
Utang pertamina terus menumpuk, belum termasuk utang utang pada bank, namun anehnya produksi migas juga tidak meningkat secara significant. Justru yang paling tragis adalah impor migas, terutama LPG yang justru meroket.
Lebih tragis lagi tidak ada satu kilangpun yang terbangun. Padahal ini merupakan tugas utama yang diberikan Presiden Jokowi agar Pertamina membangun kilang. Presiden Jokowi murka karena belum ada 1 persen pun kemajuan dalam pembangunan kilang.
Lalu untuk apa utang utang itu digunakan? Pada sisi lain untung pertamina juga makin mengecil, bahkan merugi. Kinerja keuangan yang kurang baik ini akan menjadi masalah besar pada Pertamina di masa mendatang. Dengan kemampuan mendapatkan laba saat ini, maka mustahil utang utang itu dapat dibayar dari produktifitas perusahaan.
Berbeda kalau Pertamina mengambil utang dan berhasil membangun kilang pengolahan migas. Maka produktifitas utang tersebut akan dapat membantu perusahaan membayar kewajiban di masa medatang. Tapi jika perintah Presiden Jokowi dianggap angin lalu seperti ini, maka suatu saat Pertamina bisa gagal bayar utang.
(Penulis adalah peneliti senior Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)