RIDHMEDIA - Wacana hukuman mati bagi koruptor yang disampaikan Jokowi dianggap tak substansial. Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai hanya sebatas jargon belaka di tengah ancaman pemberantasan korupsi.
Masyarakat tentunya masih sangat ingat bagaimana Presiden Jokowi juga memberi grasi kepada napi kasus korupsi Annas Maamun dengan alasan kondisi kesehatan dan usia.
Menilik kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait putusan terhadap koruptor pada 2018, ditemukan bahwa 79 persen atau 918 terdakwa diputus dengan hukuman ringan (1-4 tahun), 180 terdakwa (15,4 persen) lainnya dihukum sedang (4-10 tahun) dan 9 terdakwa (0,77 persen) divonis hukuman berat (lebih dari 10 tahun).
Pemerintah lewat Kementerian Hukum dan HAM beberapa kali memangkas vonis narapidana kasus korupsi lewat remisi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyebut Jokowi keliru menyampaikan perlu revisi UU Tipikor untuk memasukkan hukuman mati. Kurnia mengatakan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor sudah mengatur tentang hukuman mati bagi pelaku korupsi.
"Pernyataan Presiden keliru jika menyebutkan bahwa memasukkan hukuman mati mesti merevisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," kata Kurnia.
Kurnia menyatakan kehendak masyarakat saat ini bukan pada penerapan hukuman mati bagi koruptor. Menurutnya, kehendak masyarakat adalah menyelamatkan KPK dengan mengeluarkan Perppu pembatalan UU KPK hasil revisi.
"Bagaimana Presiden dapat menyelamatkan KPK melalui penerbitan perppu. Sebab, sampai hari ini sikap presiden masih tidak jelas terkait pemberantasan korupsi," papar Kurnia.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan wacana hukuman mati bagi koruptor yang disinggung Jokowi hanya akan memunculkan perdebatan baru.
"Bagi saya memperdebatkan hal hal yang panjang lebar, tidak juga bermanfaat bagi pemberantasan korupsi, memberikan wacana yang tidak akan menyelesaikan masalah," kata Feri, Selasa (10/12).
Feri menilai pidana mati menjadi perdebatan selama ini, karena banyak yang menolak penerapan hukuman tersebut. Menurutnya, ketimbang menimbulkan perdebatan baru, Jokowi lebih baik melakukan tindakan yang konkret dalam pemberantasan korupsi.
Menurut Feri, hal yang paling utama, Jokowi berani menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk membatalkan Undang-Undang 19 /2019 tentang KPK serta menegaskan tak lagi memberikan grasi kepada koruptor.
"Bagi saya, Presiden sedang membangun perdebatan baru saja, agar kemudian kita melupakan hal-hal yang lebih penting," ujar Feri.
Menko Polhukam Mahfud MD membenarkan bahwa tak perlu beleid baru untuk menerapkan hukuman mati bagi para koruptor. Pasalnya, sambung Mahfud, itu sudah ada dalam UU Tipikor.
"Tapi kan itu urusan hakim. Kadang kala hakimnya malah memutus bebas, kadang kala hukumannya ringan sekali, kadang kala [vonisnya] sudah ringan dipotong lagi. Ya sudah itu, urusan pengadilan. Di luar urusan pemerintah," ujar Mahfud di kantornya, Jakarta, Selasa (10/12). [rmo]
Masyarakat tentunya masih sangat ingat bagaimana Presiden Jokowi juga memberi grasi kepada napi kasus korupsi Annas Maamun dengan alasan kondisi kesehatan dan usia.
Menilik kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait putusan terhadap koruptor pada 2018, ditemukan bahwa 79 persen atau 918 terdakwa diputus dengan hukuman ringan (1-4 tahun), 180 terdakwa (15,4 persen) lainnya dihukum sedang (4-10 tahun) dan 9 terdakwa (0,77 persen) divonis hukuman berat (lebih dari 10 tahun).
Pemerintah lewat Kementerian Hukum dan HAM beberapa kali memangkas vonis narapidana kasus korupsi lewat remisi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyebut Jokowi keliru menyampaikan perlu revisi UU Tipikor untuk memasukkan hukuman mati. Kurnia mengatakan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor sudah mengatur tentang hukuman mati bagi pelaku korupsi.
"Pernyataan Presiden keliru jika menyebutkan bahwa memasukkan hukuman mati mesti merevisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," kata Kurnia.
Kurnia menyatakan kehendak masyarakat saat ini bukan pada penerapan hukuman mati bagi koruptor. Menurutnya, kehendak masyarakat adalah menyelamatkan KPK dengan mengeluarkan Perppu pembatalan UU KPK hasil revisi.
"Bagaimana Presiden dapat menyelamatkan KPK melalui penerbitan perppu. Sebab, sampai hari ini sikap presiden masih tidak jelas terkait pemberantasan korupsi," papar Kurnia.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan wacana hukuman mati bagi koruptor yang disinggung Jokowi hanya akan memunculkan perdebatan baru.
"Bagi saya memperdebatkan hal hal yang panjang lebar, tidak juga bermanfaat bagi pemberantasan korupsi, memberikan wacana yang tidak akan menyelesaikan masalah," kata Feri, Selasa (10/12).
Feri menilai pidana mati menjadi perdebatan selama ini, karena banyak yang menolak penerapan hukuman tersebut. Menurutnya, ketimbang menimbulkan perdebatan baru, Jokowi lebih baik melakukan tindakan yang konkret dalam pemberantasan korupsi.
Menurut Feri, hal yang paling utama, Jokowi berani menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk membatalkan Undang-Undang 19 /2019 tentang KPK serta menegaskan tak lagi memberikan grasi kepada koruptor.
"Bagi saya, Presiden sedang membangun perdebatan baru saja, agar kemudian kita melupakan hal-hal yang lebih penting," ujar Feri.
Menko Polhukam Mahfud MD membenarkan bahwa tak perlu beleid baru untuk menerapkan hukuman mati bagi para koruptor. Pasalnya, sambung Mahfud, itu sudah ada dalam UU Tipikor.
"Tapi kan itu urusan hakim. Kadang kala hakimnya malah memutus bebas, kadang kala hukumannya ringan sekali, kadang kala [vonisnya] sudah ringan dipotong lagi. Ya sudah itu, urusan pengadilan. Di luar urusan pemerintah," ujar Mahfud di kantornya, Jakarta, Selasa (10/12). [rmo]