PUBLIK dihebohkan dengan sitaan Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta terhadap pesawat baru A330-900 Neo yang baru saja dibeli di Prancis oleh Garuda.
Barang mewah yang enggak disebutkan dalam manifesto pesawat tersebut berisi motor mewah Harley Davidson dan Sepeda Brompton yang dipecah dalam bentuk 18 kotak.
Dari 18 kotak terdapat 15 kotak berisi part motor Harley Davidson dan 3 kotak berisi 2 unit sepeda brompton. Kemudian, 15 kotak bertulis coli claimtag inisial SAW dan 3 kotak bertulis coli claimtag inisial LS.
Pesawat terbang dari pabrikan Airbus di Toulouse, Prancis, pada 16 November 2019 kemudian mendarat keesokan harinya di area GMF Bandara Soetta.
Jurubicara Garuda menyebutkan dalam pesawat ada 10 awak dan 22 penumpang petinggi Garuda. Garuda enggak menyebutkan detail namanya, tapi menurut MediaIndonesia.com mereka ialah para direksi garuda termasuk Direksi Utama Garuda (Ari Askhara) dan istri (Dyana Dewi), Iwan Joeniarto (Direksi Teknik dan Layanan Garuda), Mohammad Iqbal (Direksi Kargo dan Pengembangan Usaha), dan Heri Akhyar (Direksi Human Capital).
Para direksi tersebut tengah melakukan tugas perusahaan yakni menjemput pesawat baru yang dipesan Garuda.
Karyawan Yang Dituduh
Kepala Subdirektorat Informasi dan Komunikasi Ditjen Bea dan Cukai Denny Surjantoro membenarkan adanya sejumlah direksi Garuda di pesawat yang membawa onderdil Harley Davidson dan sepeda Brompton itu.
Namun hal tersebut dibantah Jubir VP Corporate Secretary Garuda Ikhsan Rosan dengan berkata selundupan tersebut milik seorang karyawan Garuda Indonesia, yaitu petugas yang menjemput disana (petugas on board pesawat) dan bukan penumpang komersial Garuda.
Harga Harley Davidson Model Softail FXDR 114 seharga Rp 685 juta dan harga Brompton S2L-X Black seharga Rp 53,5 juta, dikali 2 unit, sebesar Rp 107 juta. Total sekitar Rp 795 juta. Karyawan seperti apa yang dituduh dengan pekerjaan petugas on board pesawat itu?
Rusak Reputasi Garuda
Dengan kejadian seperti ini, Garuda sebagai perusahaan pasti dirugikan. Reputasi Garuda yang adalah BUMN papan atas tercoreng dalam temuan penyeludupan 18 kotak dengan petinggi direksi di dalamnya.
Sebelumnya, masyarakat mengeluh soal layanan Garuda, dengan harga tiket pesawat yang tinggi dan jenis makanan yang enggak berkualitas menambah beban reputasi perusahaan.
Direksi sebelumnya Emirsyah Satar (mantan Dirut) dan Hadinoto Soedigno (mantan Direksi Teknik dan Layanan Garuda) ditetapkan tersangka dalam kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) oleh KPK. Apakah prinsip good corporate governance (GCG) menjadi permainan vested interest di tubuh BUMN menjadi marak? Setidaknya itulah pertanyaan publik yang menjadi PR Menteri BUMN baru, Erick Tohir.
Saham Garuda tercatat turun 12 persen (mtm) dari 580K (5 Nov 2019) menjadi 510K (5 Des 2019). Ini pertanda kasus penyeludupan tersebut perlu mendapatkan perhatian serius agar daya rusaknya enggak memberatkan nilai pasar perusahaan.
Shortfall Pajak 2019
Sungguh sangat miris, kejadian 18 kotak penyeludupan berisi Harley Davidson dan Brompton tersebut terjadi ketika negara tengah mengalami shortfall pajak yang cukup tinggi dan defisit APBN membengkak.
Direktorat Jenderal Pajak memperkirakan kekurangan penerimaan pajak pada tahun ini bakal berada di atas proyeksi. Kementerian Keuangan sebelumnya menargetkan shortfall pajak 2019 mencapai Rp 140 triliun.
Pada 2017 dan 2018, shortfall pajak masing-masing sebesar Rp 127,2 triliun dan Rp 110, 78 triliun. Sementara, realisasi penerimaan pajak dari awal tahun hingga Oktober 2019 baru mencapai 65,71 persen dari target Rp 1.786,38 triliun. Jadi, masih ada kekurangan sekitar Rp 612,5 triliun.
Tax ratio dari 2010 ke 2018 terus menurun, dari 9,52 persen menjadi 8,85 persen. Itu cuma rasio pajak tanpa dihitung dengan bea dan cukai, serta royalti dari SDA migas dan tambang. Sementara tax ratio keseluruhan turun dari 13,61 persen pada 2010 menjadi 11,45 persen pada 2018.
Kesadaran petinggi direksi BUMN harusnya yang sangat peduli dengan jatuhnya capaian target pajak ketika ini. Mereka mempunyai tugas bagaimana membantu shorfall pajak tersebut agar enggak terlalu lebar.
Temuan 18 kotak menunjukkan betapa rendahnya nasionalisme oknum direksi Garuda tersebut. BUMN ke depan perlu selektif memilih direksinya. Mereka yang berpotensi mempunyai vested interest perlu dipinggirkan karna jiwa nasionalisme oknum seperti itu sangat rendah.
Tidak Hanya Dicopot, Tapi Harus Diproses Hukum
Publik menunggu hasil investigasi lapangan pihak Bea Cukai maupun Kementerian BUMN, jika pelakunya ialah oknum direksi maka oknum tersebut enggak cuma dicopot dari jabatannya tapi perlu diproses hukum buat memberi shock terapi agar enggak terulang di kemudian hari.
Bea Cukai dan BUMN juga perlu tranparan dalam pemeriksaan kasus ini. Sebenarnya kasus tersebut telah terungkap pada 17 November 2019, tetapi baru dibuka ke publik pada 4 Desember 2019 kemarin. Bertepatan dengan wawancara Erick Thohir, Menteri BUMN baru oleh salah satu media swasta nasional.
Nasionalisme Tidak Retorika
Cinta terhadap tanah air perlu menjadi landasan seluruh direksi BUMN yang seharusnya melandasi cara berfikir dan bertindak dalam mengoperasikan BUMN. Tindakan pemanfaatkan BUMN buat vested pribadi dan kelompok perlu dicegah caranya dengan memilih personal yang mempunyai integritas tinggi.
Ke depan, tindakan memalukan tersebut enggak boleh terulang dalam sejarah perusahan plat merah negara lagi. Nasionalisme bukan retorika tapi nasionalisme ialah pelaksanaan kata-kata. rmol.id
Hidayat Matnoer MPP
Pengamat Kebijakan Publik dan Moneter Indonesia, Ketua Harian Garbi DKI, Ketua BEM UI 2003
(*)