RIDHMEDIA - Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi, Arif Budimanta, mengatakan, pihak istana masih mengkaji lebih lanjut pemberian sanksi pidana kepada pengusaha nakal pelanggar aturan.
Pengaturan sanksi akan dicantumkan dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law.
Ia menyatakan, pemerintah tetap akan memberikan sanksi terhadap pengusaha yang melakukan tindakan kriminal.
"Kalau itu fraud dengan intention (sengaja) itu yang terkait dengan kriminal tetap harus dipertimbangkan (sanksi pidana)," katanya, Rabu (18/12/2019).
Lebih lanjut, ia bilang pemerintah tengah mempertimbangkan pembentukan tim pengawas dari kalangan profesional.
Mereka akan bertanggung jawab mengawal kepatuhan norma, standar, dan prosedur yang berlaku dalam dunia usaha, misalnya berkaitan dengan aturan perpajakan.
"Jadi ada yang mengawasi itu tidak terjadi fraud (kejahatan) dan sebagainya. (Jika terjadi) maka itu mungkin sanksinya terkait administratif," imbuhnya.
Pernyataan Arif tersebut berbanding terbalik dengan informasi dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, yang menyebut pemerintah akan mengubah aturan sanksi pidana kepada para pengusaha “nakal”.
Ia bilang, pengusaha nakal hanya akan diberikan sanksi administrasi kalau mereka melanggar aturan.
Airlangga menyatakan, penghapusan sanksi pidana akan dituangkan dalam RUU Omnibus Law Perpajakan.
Penghapusan sanksi pidana tersebut bertujuan untuk membuat ekosistem usaha lebih kondusif dan nyaman bagi investor.
"Jadi kami melihat untuk berusaha basis hukumnya kita ubah bukan kriminal, tapi administratif. Dan kita sudah melakukan ini di pasar modal perbankan," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Herman Juwono, meminta pemerintah tidak menghapus sanksi pidana bagi pengusaha nakal.
"Kalau tidak dilakukan, itu berarti negara tidak menunjukkan eksistensinya," ujarnya.
Ia menjelaskan, pelanggaran terbagi dalam dua kategori, yakni pelanggaran dengan unsur kesengajaan dan kelalaian.
Herman yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Perkumpulan Konsultan Praktisi Perpajakan Indonesia ini lantas memberikan contoh pelanggaran di bidang perpajakan.
Tindakan kejahatan dalam perpajakan, seperti memalsukan omset sehingga kewajiban pajak lebih rendah atau memanipulasi nilai dalam faktur, menurut dia masuk dalam kategori pidana kriminal.
Sebaliknya, pelanggaran yang dipicu kelalaian, misalnya seorang pengusaha lupa membayar pajak akibat kesibukan, ia maklum jika sanksi yang diberikan hanya bersifat administratif.
"Setiap perbuatan jahat harus mendapatkan sanksi pidana, karena di mana-mana ada yang namanya hukum perdata dan pidana," ujarnya. [mc]
Pengaturan sanksi akan dicantumkan dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law.
Ia menyatakan, pemerintah tetap akan memberikan sanksi terhadap pengusaha yang melakukan tindakan kriminal.
"Kalau itu fraud dengan intention (sengaja) itu yang terkait dengan kriminal tetap harus dipertimbangkan (sanksi pidana)," katanya, Rabu (18/12/2019).
Lebih lanjut, ia bilang pemerintah tengah mempertimbangkan pembentukan tim pengawas dari kalangan profesional.
Mereka akan bertanggung jawab mengawal kepatuhan norma, standar, dan prosedur yang berlaku dalam dunia usaha, misalnya berkaitan dengan aturan perpajakan.
"Jadi ada yang mengawasi itu tidak terjadi fraud (kejahatan) dan sebagainya. (Jika terjadi) maka itu mungkin sanksinya terkait administratif," imbuhnya.
Pernyataan Arif tersebut berbanding terbalik dengan informasi dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, yang menyebut pemerintah akan mengubah aturan sanksi pidana kepada para pengusaha “nakal”.
Ia bilang, pengusaha nakal hanya akan diberikan sanksi administrasi kalau mereka melanggar aturan.
Airlangga menyatakan, penghapusan sanksi pidana akan dituangkan dalam RUU Omnibus Law Perpajakan.
Penghapusan sanksi pidana tersebut bertujuan untuk membuat ekosistem usaha lebih kondusif dan nyaman bagi investor.
"Jadi kami melihat untuk berusaha basis hukumnya kita ubah bukan kriminal, tapi administratif. Dan kita sudah melakukan ini di pasar modal perbankan," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Herman Juwono, meminta pemerintah tidak menghapus sanksi pidana bagi pengusaha nakal.
"Kalau tidak dilakukan, itu berarti negara tidak menunjukkan eksistensinya," ujarnya.
Ia menjelaskan, pelanggaran terbagi dalam dua kategori, yakni pelanggaran dengan unsur kesengajaan dan kelalaian.
Herman yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Perkumpulan Konsultan Praktisi Perpajakan Indonesia ini lantas memberikan contoh pelanggaran di bidang perpajakan.
Tindakan kejahatan dalam perpajakan, seperti memalsukan omset sehingga kewajiban pajak lebih rendah atau memanipulasi nilai dalam faktur, menurut dia masuk dalam kategori pidana kriminal.
Sebaliknya, pelanggaran yang dipicu kelalaian, misalnya seorang pengusaha lupa membayar pajak akibat kesibukan, ia maklum jika sanksi yang diberikan hanya bersifat administratif.
"Setiap perbuatan jahat harus mendapatkan sanksi pidana, karena di mana-mana ada yang namanya hukum perdata dan pidana," ujarnya. [mc]