Oleh: M Rizal Fadillah
Wow, angka yang cukup fantastis janji atau MOU Pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan dengan PB Nahdhatul Ulama. Mencuat karena "tagihan" terbuka Kyai Said Agil Siradj yang menyatakan "tak sepeserpun" terealisasi. Balasan Menkeu bahwa telah 211 Milyar terkucurkan. Saling bantahpun terjadi. Ada ketidaksepakatan pada angka bunga dari "proyek" yang di MOU kan.
Kerjasama tertutup jadi terbuka. Said Agil Siradj tiba tiba menjadi galak ke Pemerintah. Publik terkejut karena biasanya justru selalu senada dan seirama. Malah sering pasang badan. Muncul statemen bahwa intinya "dimanfaatkan, setelah itu ditinggalkan". Merasa tertipu. Akhirnya masyarakat pun ikut menilai dengan multi persepsi dari mulai Pemerintah yang biasa berdusta sampai soal mata duitan. Galak kalau ada tagihan.
Secara hukum sebenarnya "kerjasama" memberi keuntungan pada satu institusi tertentu bisa menjadi persoalan. Elemen korupsi rentan terpenuhi. Apalagi diam diam. Jika program gagal lebih parah artinya kerugian negara akan terjadi. Jika memang belum "sepeserpun" terealisasi maka baik Pemerintah maupun PBNU sebenarnya terselamatkan.
Jerat pelanggaran hukum tindak pidana korupsi cukup menganga untuk model MOU atau kerjasama seperti ini.
Penyaluran dana publik haruslah responsibel, akuntabel, maupun transparan. Jelas landasan hukumnya. Karenanya semestinya bukan bertengkar mengenai realisasi dana trilyunan akan tetapi justru fokus pada evaluasi dan koreksi model untuk alokasi yang lebih tepat. Uang negara sudah banyak bocor dengan pola kerjasama kongkalikong. Harus jelas program untuk menyejahterakan rakyat dengan basis ekonomi kekeluargaan yang bermoral.
Sekedar mengingatkan saja bahwa menurut Undang Undang No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang namanya
"Kolusi" adalah :
"permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dengan pihak ketiga yang merugikan rakyat, masyarakat, atau negara".
"Korupsi" itu :
"melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara".
Nah, kongkalikong atau kerjasama diam diam dengan pihak ketiga atau menguntungkan orang lain adalah unsur penting menuju kolusi dan korupsi. Kasus 1,5 Trilyun merupakan tontonan terang benderang tentang kebodohan dan keserakahan.
*) Pemerhati Politik
Bandung, 30 Desember 2019