RIDHMEDIA - Koordinator Komisi buat Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (KontraS) Yati Andriyani menjelaskan kebebasan hak berkumpul dan menyuarakan pendapat di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo mengkhawatirkan.
Persoalan ini berkiblat pada hasil pantauan yang dilalukan KontraS selama periode 2015-2018. Dalam periode ini ada 1.056 peristiwa pembatasan dan pelanggaran terhadap hak berkumpul yang terjadi di semua provinsi di Indonesia.
“Kebebasan berkumpul warga negara yakni hak fundamental, juga terkait dengan hak-hak lainnya. Kalau hak ini dibatasi atau dilanggar, maka bakal berdampak pada hak beorganisasi dan hak berpendapat,” ujar Yati, Jumat(6/12).
Semua peristiwa pembatasan dan pelanggaran sebagian diantaranya menyertakan aparat negara. Mereka terlibat dalam upaya membatasi atau menghalangi warga berkumpul.
Aparat terlibat dan berpihak pada kelompok-kelompok yang menolak kebebasan berkumpul. “Bahkan, enggak jarang menggunakan cara-cara militer buat membatasi atau melanggar kebebasan berkumpul,”lanjutnya.
tidak cuma itu, kata Yati, aparat negara ikut berperan dalam membatasi atau melarang hak dalam isu-isu tertentu atau isu-isu lain yang sengaja diciptakan oleh negara utuk menakut-nakuti warga.
Karenanya KontraS melihat situasi kebebasan berkumpul di periode kedua pemerintahan Jokowi bisa saja jalan di tempat atau malah kian buruk. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal itu bisa terjadi.
“Periode kedua boleh menjadi jalan di tempat karna masih adanya sejumlah aturan yang membatasi hak kebebasan berkumpul, seperti undang-undang tentang organisasi kemasyarakatan, dimana pemerintah bisa membubarkan sebuah organisasi kemasyarakatan tanpa lewat proses peradilan,”ungkapnya, seperti dilansir VOA, Sabtu(7/12).
KontraS juga enggak melihat bakal adanya suatu aturan yang bakal memberikan jaminan buat hak kebebasan berkumpul secara lebih konkret, lebih kuat. “Yang ada justru sebaliknya. Ada aturan-aturan yang tengah direncanakan dan itu dapat mengancam jika dilanjutkan,” kata Yati.
Sebagai contoh yakni sejumlah pasal dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang bakal dapat mengancam kebebasan berkumpul dan berpendapat warga negara. Pasal pemidanaan terhadap tindakan yang dianggap menyerang kehormatan presiden.
Rivanlee Anandar, Staf Biro Penelitian, Pemantauan, dan Dokumentasi KontraS, menjelaskan lembaganya menjadikan tiga daerah yang dijadikan patokan buat mengukur situasi kebebasan berkumpul di Indonesia, yakni Jawa Barat, Yogyakarta, dan Papua.
Ketiga daerah tersebut dijadikan sampel karna masifnya angka pembatasan kebebasan berkumpul secara damai dan terdapat kasus-kasus penting yang mendapat perhatian publik secara luas.[]