Kritik Wacana Penghapusan Pidana Korporasi, Menkumham Sebut KPK Keliru

Ridhmedia
19/12/19, 17:34 WIB
RIDHMEDIA - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly menilai KPK sangat keliru karena mengkritik wacana penghapusan sanksi pidana terhadap korporasi yang terlibat korupsi.

Yasonna mengatakan yang akan dihapus itu justru pidana bagi kesalahan-kesalahan administrasi korporasi. Menurutnya, hal itu tidak termasuk ke dalam kejahatan korporasi yang terlarang.

"Enggak ada urusannya. Administrasinya. Kejahatan-kejahatan, kesalahan-kesalahan administrasi yang selama ini ada dipidana itu bukan kejahatan korporasi yang dilarang," kata Yasonna di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (19/12/2019).

Sebagaimana diketahui, wacana penghapusan sanksi pidana itu bakal diatur dalam kebijakan penyederhanaan regulasi atau omnibus law yang kali pertama digagas Presiden Jokowi.

KPK awalnya melayangkan kritik terhadap wacana penghapusan sanksi tersebut. Akan tetapi Yasonna malah menganggap kalau KPK belum mengetahui secara detail terkait dengan wacana itu.

"Enggak. Enggak ada urusannya itu mereka belum baca saja kok. Belum baca saya kira. Kami saja belum ini kok, jangan.... enggak ada lah," ucapnya.

Yasonna kemudian memaparkan bahwasanya ada sanksi kesalahan-kesalahan administrasi akan dimasukkan menjadi sanksi perdata atau memberikan denda. Ia menegaskan kalau kesalahan administrasi itu bukan termasuk ke dalam kejahatan korporasi.

"Jadi sanksi perdata. Denda. Bukan kejahatan korporasi. Kejahatan korporasi kan bukan di situ. Itu tindak pidana. Enggak ada urusannya tindak pidana dengan ini (pelanggaran administrasi)," kata dia.

Kritik tersebut pertama kali disampaikan oleh Wakil Ketua KPK Laode M Syarif.

Syarif menegaskan, penghapusan saksi pindana untuk korporasi dapat menyebabkan kemunduran sistem peradilan di Indonesia.

"Jadi, jangan membuat hukum yang kembali ke masa kolonial. Kita sudah milenial, malah kembali ke kolonial," kata Laode M Syarif di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis.

Syarif berharap, perumus omnibus law nantinya tetap memasukkan sanksi pidana untuk korporasi yang kedapatan melakukan tindak pidana korupsi.

Selain itu, Syarif juga meminta perumus aturan omnibus law dapat lebih dulu menyusun naskah akademik yang komprehensif, dengan mempertimbangkan penyelamatan aset negara.

"Kami berharap, ada naskah akademik. Jangan ujuk-ujuk langsung keluar pasal-pasal itu dari pemerintah. Naskah akademiknya harus jelas, siapa timnya yang melakukan itu," kata Syarif.[src]
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+