RIDHMEDIA - Ketua Lembaga Perlindungan Anak Generasi (LPA Generasi) Ena Nurjanah meminta Wakil Presiden Maruf Amin untuk menjelaskan maksud pernyataanya yang menyebut banyak pendidik di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) mengajarkan radikalisme.
Ena meminta Ma'ruf untuk menyampaikannya ke publik dengan jelas maksud penyatananya tersebut agar isu ini tidak menjadi isu liar.
"Jika mengajarkan radikalisme terkait menceritakan sejarah yang berdarah-darah, maka itu belum tentu bermakna radikalisme," ujar Ena dalam keterangan tertulisnya, Senin (2/12/2019).
"Bisa jadi itu karena gurunya kurang memahami cara yang tepat dalam menyampaikan kisah sejarah kepada anak-anak PAUD," sambungnya.
Ia menuturkan, jika penilaian radikalisme itu dikarenakan cara kemampuan guru yang menyampaikan materi ajar, maka sebaiknya harus ada evaluasi dari cara ajar guru tersebut. Sehingga Ma'ruf yang juga Ketua MUI nonaktif itu tidak perlu sampai menyebut kalau guru mengajarkan radikalisme.
"Jadi alangkah baiknya untuk tidak langsung membuat penilaian hanya karena melihat, tanpa mengenali dan memahami fakta yang ada di lapangan," ujarnya.
Lebih lanjut, ia menilai para guru PAUD pasti akan marah dan kecewa jika disebut mengajarkan radikalisme kepada murid.
"Mereka pasti kecewa, bahkan bisa jadi marah dengan sangkaan yang belum tentu benar," ucapnya.
Menurut Ena ada hal yang lebih penting dan harus dilakukan pemerintah, yakni soal ketersediaan guru yang baik Indonesia. Pasalnya, berasal dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 menyebutkan Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Anak-anak Usia Dini (PAUD) di Indonesia baru sekitar 37,92 persen.
"Fokus utama pemerintah semestinya memperbanyak berdirinya PAUD serta menghadirkan guru PAUD yang terdidik dan berkualitas bagi terpenuhinya hak pendidikan anak usia dini," pungkasnya.[src]
Ena meminta Ma'ruf untuk menyampaikannya ke publik dengan jelas maksud penyatananya tersebut agar isu ini tidak menjadi isu liar.
"Jika mengajarkan radikalisme terkait menceritakan sejarah yang berdarah-darah, maka itu belum tentu bermakna radikalisme," ujar Ena dalam keterangan tertulisnya, Senin (2/12/2019).
"Bisa jadi itu karena gurunya kurang memahami cara yang tepat dalam menyampaikan kisah sejarah kepada anak-anak PAUD," sambungnya.
Ia menuturkan, jika penilaian radikalisme itu dikarenakan cara kemampuan guru yang menyampaikan materi ajar, maka sebaiknya harus ada evaluasi dari cara ajar guru tersebut. Sehingga Ma'ruf yang juga Ketua MUI nonaktif itu tidak perlu sampai menyebut kalau guru mengajarkan radikalisme.
"Jadi alangkah baiknya untuk tidak langsung membuat penilaian hanya karena melihat, tanpa mengenali dan memahami fakta yang ada di lapangan," ujarnya.
Lebih lanjut, ia menilai para guru PAUD pasti akan marah dan kecewa jika disebut mengajarkan radikalisme kepada murid.
"Mereka pasti kecewa, bahkan bisa jadi marah dengan sangkaan yang belum tentu benar," ucapnya.
Menurut Ena ada hal yang lebih penting dan harus dilakukan pemerintah, yakni soal ketersediaan guru yang baik Indonesia. Pasalnya, berasal dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 menyebutkan Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Anak-anak Usia Dini (PAUD) di Indonesia baru sekitar 37,92 persen.
"Fokus utama pemerintah semestinya memperbanyak berdirinya PAUD serta menghadirkan guru PAUD yang terdidik dan berkualitas bagi terpenuhinya hak pendidikan anak usia dini," pungkasnya.[src]