Oleh: Sya'roni
Ketua Presidium Perhimpunan Masyarakat Madani (PRIMA)
REZIM Agus Rahardjo cs di KPK akan segera berakhir. Nantinya hanya Alexander Marwata saja yang akan meneruskan ke periode kedua. Empat komisioner lainnya sayonara.
Soal kinerja, masyarakat bisa menilainya sendiri. LSI merekam pendapat masyarakat dalam surveinya yang menyatakan angka kepercayaan publik terhadap KPK turun dari 89 persen menjadi 85,7 persen. Turun 3,3 persen.
Penurunan kepercayaan publik adalah imbas tidak garangnya KPK terhadap koruptor kelas kakap. Misalnya, kasus impor pangan.
Imbas menurunnya kepercayaan publik terlihat dari sedikitnya dukungan moral dari masyarakat di saat KPK mengalami tekanan. Kasus penyiraman Novel Baswedan dan revisi UU KPK mengonfirmasi bahwa dukungan masyarakat tidak sebesar dulu saat KPK ditekan dalam kasus cicak vs buaya.
Kondisi tersebut tentu mengkhawatirkan eksistensi KPK ke depan. Apalagi sekarang telah berlaku UU KPK yang baru dimana KPK tidak bisa lagi "semena-mena" melakukan OTT. Harus seizin Dewan Pengawas terlebih dahulu. Padahal OTT adalah senjata andalan KPK dalam menggulung koruptor dan sekaligus menaikkan "rating" kinerjanya.
Suap Impor Pangan
Batas purna tugas tinggal hitungan beberapa hari. Turunnya angka kepercayaan publik harus dijawab dengan kerja nyata. Harus ada aksi besar pengganti OTT.
Di antara kasus besar yang bisa menjadi pengungkit kerja nyata KPK adalah membongkar kasus impor pangan. Ekonom Dr. Rizal Ramli pada Oktober 2018 sudah melaporkan kasus ini ke KPK. Tak tanggung-tanggung, total kerugian mencapai Rp 24 triliun.
Bila KPK mau bergerak sejatinya sudah memiliki bukti yang cukup. KPK bisa menjadikan OTT Bowo Sidik Pangarso sebagai pintu masuk. Bowo Sidik Pangarso adalah mantan anggota DPR RI yang mengaku disuap oleh mantan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita Rp. 2 miliar untuk memuluskan pembahasan Permendag tentang gula rafinasi.
Pernyataan Bowo Sidik konsisten baik saat di-BAP di KPK maupun saat memberikan keterangan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor. Dirinya protes keras karena KPK tidak berhasil memanggil Enggartiasto Lukita.
Padahal, pada awalnya KPK tampak garang. KPK bertindak cepat menggeledah ruangan kerja Enggar di Kementerian Perdagangan (29/4/2019). Keesokan harinya penggeledahan berlanjut ke rumah pribadi Enggar di Jl. Sriwijaya, Jakarta Selatan (30/4/2019).
Tidak berhenti di situ. Pada 2 Juli 2019, KPK melayangkan surat panggilan kepada Enggar untuk dikorek keterangannya di kantor KPK. Namun panggilan tersebut tidak digubris. KPK kemudian berturut-turut melayangkan panggilan kedua dan ketiga pada 8/7/2019 dan 18/7/2019.
Sebanyak tiga kali panggilan KPK tidak digubris oleh Enggar. Sampai kasusnya masuk ke pengadilan, Enggar tidak pernah tersentuh. Publik kecewa. KPK yang tadinya garang terlihat tidak berdaya dan hanya sekedar bisa menyampaikan kekecewaan terhadap pejabat tinggi yang tidak taat hukum.
Beras Busuk dan Garam Tidak Laku
Tahun 2018 bisa disebut sebagai tahun ugal-ugalan impor pangan. Hampir semua komiditi pangan diimpor. Sebut saja misalnya, impor beras sebanyak 2 juta ton dan impor garam sebanyak 3,7 juta ton. Bahkan memasuki 2019, impor garam ditambah lagi sebanyak 2,7 juta ton.
Dalam impor beras, publik sudah menyampaikan penolakan keras. Pasalnya produksi dalam negeri masih cukup dan saat itu akan memasuki musim panen raya. Jika dipaksakan impor beras bisa menjatuhkan harga beras petani.
Penolakan tidak hanya dari publik. Bahkan Dirut Bulog Budi Waseso (Buwas) menyatakan penolakan impor beras. Menurutnya, gudang Bulog sudah penuh dan tidak bisa lagi menampung beras impor. Namun, penolakan Dirut Bulog tidak digubris dan impor terus berlanjut.
Kabar buruk mulai datang saat memasuki 2019. Pada Mei 2019, Buwas menyatakan dari 1,8 juta ton beras yang diimpor oleh Bulog yang terpakai hanya 150 ribu ton. Kondisi tersebut disebabkan rasa beras impor kurang cocok untuk lidah orang Indonesia. Pada awal Desember 2019, Bulog kembali mengagetkan publik karena akan membuang 20 ribu ton beras busuk senilai Rp. 160 miliar.
Kabar buruk juga datang dari para petambak garam. Dikabarkan saat ini harga garam jatuh pada titik terendah yakni Rp. 100 per kg. Para petambak garam gigit jari. Hasil jerih payahnya dihargai sangat murah. Padahal, di saat normal harga garam bisa mencapai Rp. 700 per kg. Para petambak garam meyakini jatuhnya garam lokal disebabkan membanjirnya garam impor.
Tagar Tangkap Enggar
Publik yang gemas dengan kesaktian Enggar memviralkan Tagar Tangkap Enggar di Twitter. Beberapa hari tagar tersebut menduduki puncak trending topic. Sekarang tinggal KPK, tetap sekedar menonton atau bertindak sesuai keinginan rakyat.
Semua sudah ada. Laporan sudah ada sebagaimana yang dilaporkan oleh ekonom Rizal Ramli pada 2018. Kesaksian sudah ada sebagaimana pengakuan Bowo Sidik Pangarso yang menerima suap Rp. 2 miliar dari Enggar.
Kerugian sudah ada sebagaimana penuturan Bulog tentang adanya beras busuk sebanyak 20 ribu ton atau senilai Rp. 160 miliar. Selain itu penuturan petambak garam tentang tidak lakunya garam lokal juga bukti nyata betapa kejamnya kebijakan impor garam.
Ayo KPK bangkitlah. Inilah waktu injury time bagi Agus Rahardjo cs untuk meninggalkan warisan nyata. Bila KPK berani menangkap Enggar, maka nama-nama komisioner KPK akan dikenang sebagai pendekar pemberantasan korupsi.
Namun jika diam saja menunggu acara seremonial serah terima jabatan kepada komisioner KPK yang baru, maka tidak ada yang perlu diceritakan lagi. Kiprah Agus Rahardjo cs akan dikubur dalam-dalam. Sejarah hanya akan mengingat, KPK di bawah nakhkoda Agus Rahardjo cs mengalami penurunan kepercayaan publik sebanyak 3,3 persen. (*)