Mengukur Ketegasan Anies

Ridhmedia
17/12/19, 17:23 WIB
Oleh Tony Rosyid

Anies gak tegas! Dari mana mengukurnya? Dia akademisi, asal kota Jogja dan banyak senyum. Semua itu mengesankan bahwa Anies adalah sosok yang tak tegas. Itulah stigma terhadap Anies Baswedan, gubernur Jakarta saat ini. Benarkah stigma itu? Mari kita lihat.

Mengidentikkan akademisi dengan ketidaktegasan tentu keliru. Tapi, tegasnya seorang akademisi tak bisa diukur dengan marah, suara keras, gebrak meja atau maki-maki orang. Itu bukan akademisi, tapi preman. Sikap seperti itu bukan karakter, atau malah aib bagi seorang akademisi.

Jogja juga tak bisa diidentikkan dengan ketidaktegasan. Kurang tegas apa Hamengkubuwono X ketika menolak warga keturunan China punya hak milik tanah di kota gudeg itu. Kalimat "penghianat" nampaknya menjadi alasan kebijakan itu. Ini soal sejarah. Sang Raja Jogja juga menolak dengan tegas pembangunan tol, karena tak ingin rakyatnya dibebani dengan biaya tambahan ketika menggunakan fasilitas umum. Jalan itu milik rakyat, dan negara wajib menyediakannya. Kenapa harus bayar? Bener juga bos...

Banyak senyum juga bukan berarti tidak tegas. Lihat Pak Harto, 32 tahun memimpin Indonesia dengan senyum. Siapa yang berani bilang Pak Harto gak tegas? Jadi, jangan buru-buru menilai Anies gak tegas lantaran banyak senyum.

Soal tegas tidaknya seseorang tidak ada kaitanya ia akademisi atau bukan. Hanya saja, kalau seorang akademisi, tetap berbasis pada aturan dan sangat mempertimbangkan aspek norma dan etika. Tegas juga tak ada hubungannya dengan asal daerah. Apalagi dengan senyum. Emang orang tegas gak boleh senyum? Harus bertampang galak, berwajah seram dan mata melotot? Ya enggaklah tong...

Ketegasan bisa dilihat dari kebijakannya. Jadi, tegas tidaknya Anies Baswedan mesti diukur bagaimana ia bersikap dan membuat kebijakan sebagai seorang gubernur.

Diawali dengan menutup reklamasi dan Alexis. Ini kelewat tegas. Sebab, terlalu besar risiko politiknya. Dengan menutup Alexis, juga reklamasi, Anies harus berhadapan dengan pihak oligarki. Tangan-tangan kekuasaan yang berkolaborasi dengan taipan. Kendati begitu, sejumlah pihak masih menganggap bahwa itu janji politik. Wajar kalau harus ditutup. Belum menunjukkan orisinalitas ketegasan, katanya. Karena itu, publik masih perlu bukti ketegasan sikap dan kebijakan Anies dalam hal yang lain. Sesuatu yang tak ada kaitannya dengan janji politik.

Pasca tutup Alexis, Anies juga tutup tiga salon-spa di Pondok Indah. Mereka menyalahgunakan ijin jadi bisnis esek-esek. Tetap belum juga dianggap sebagai gebrakan. Kenapa? Karena wajah Anies terlalu kalem. Masih butuh banyak bukti ketegasan yang lain. Mungkin beda jika wajah Anies agak sangar. Gak usah buat kebijakan apapun, yang penting marah sama lurah atau camat dan gebrak meja, pasti akan dianggap tegas. Begitu umumnya kita membuat standar ketegasan. Ngawur!

Hari senen lalu (16/12) Anies menunjukkan bukti lagi. Alumni UGM ini copot seorang lurah Jelambar. Pasalnya? Sang lurah merendam pegawai honorer Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PSSU) di got untuk memperpanjang kontraknya. Ini perlakuan yang sangat tidak manusiawi. Dapat laporan, lihat bukti, Anies langsung ekskusi. Gak pakai banyak omong. Tanpa perlu gebrak meja dan bicara di depan kamera, Anies ganti lurah tersebut.

Kabarnya, Anies pernah beberapa kali memecat anak buah. Mulai dari lurah, dirut BUMD, hingga kepala dinas. Hanya saja, Anies tak pernah mengumumkannya ke media. Ada sisi kemanusiaan yang selalu ia harus jaga. Jangan sampai "sudah jatuh ketiban tangga". Sudah dipecat, masih juga dibuka aibnya ke publik. Tentu ini tak manusiawi. Sangat tidak etis. Pasti menyakiti perasaan yang bersangkutan, dan juga keluarganya. Anies paling tak suka melihat orang dipermalukan di depan publik.

Dan hari ini, Anies bikin gebrakan lagi. Copot  plt Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud). Pasalnya? Plt Kepala Dinas ini memberi penghargaan Adikarya Wisata ke  club malam atau diskotik Colosseum. Sebuah club malam yang sedang dalam investigasi terkait narkotika. Mengetahui hal itu, Anies pecat plt Kepala Dinasnya. Tetap dengan senyum dan tidak marah-marah.

Anies minta proses penilaian diusut. Jika ada yang lalai, kasih sanksi. Sebab, ini dianggap kesalahan fatal. Memberi penghargaan kepada diskotik yang bermasalah. Sengajakah plt Kepala Dinas itu untuk merusak nama Anies? Sedang dalam penyelidikan.

Info ini mencuat ke publik karena sudah terekspos di media dan viral di masyarakat beberapa hari ini. Tak lagi bisa dihindari. Terpaksa Buka-bukaan.

Mengapa Anies mencabut penghargaan itu, lalu perintahkan inspektorat untuk melakukan investigasi? Karena ada laporan masuk dari Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) DKI tanggal 10 Oktober 2019 kepada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Bahwa diskotik colloseum sedang mendapatkan perhatian khusus terkait narkotika.

Jelas ada surat laporan masuk dari BNNP DKI, kok dikasih penghargaan, nekat itu namanya. Maka, harus diusut. Ini jadi pintu masuk buat Anies untuk membersihkan anak buah yang tak punya integritas dan loyalitas. Kesempatan Anies untuk bersih-bersih.

Kok ada tanda tangan Anies di sertifikat penghargaan itu? Bukan tanda tangan asli, tapi hasil cetak. Sah? Sah, selama ikuti aturan dan SOP. Dimana-mana berlaku proses ini. Alasan efisiensi. Abaikan SOP, itu pelanggaran. Dan sekarang, inspektorat sedang bekerja untuk melakukan investigasi terhadap adanya dugaan pelanggaran tersebut.

Apa yang dilakukan Anies adalah bagian dari sikap tegasnya sebagai gubernur DKI. Masyarakat Jakarta tentu senang dengan sikap Anies ini. Sayangnya, Anies bukan tipe pemimpin yang suka ekspos setiap ketegasan sikapnya. Takut Jakarta riuh dengan tepuk tangan. Gak enak sama tetangga sebelah. Yang mana? Ah, kepo!

Jakarta tempat para mafia, maka butuh gubernur yang tidak saja pintar, tapi juga berani, tegas dan berintegritas. Berintegritas itu artinya gak terlibat kasus Sumber Waras, bus way, reklamasi dan tanah Cengkareng. Gak main suap dan bagi-bagi hasil proyek. Dan Anies memenuhi kriteria itu. Ah mosok? Silahkan cari, buktikan dan laporkan. Nah, fair bukan?

Anies butuh support. Sebab, tak jarang kebijakannya harus mengahadapi risiko politik dan hukum. Bisa "diperkarakan". Dicari-cari salahannya.

Jakarta tempat orang-orang kuat melakukan perlawanan jika kepentingannya terganggu. Mereka punya akses kekuasaan, memiliki kekuatan dana, pasukan darat (demonstran), juga pasukan udara (buzzer). Inilah yang selama ini harus dihadapi Anies. Begitulah risiko seorang pemimpin jujur. (*)
Komentar

Tampilkan

Terkini