Menurut Budi, keberadaan importir produk Malaysia dari pengusaha lokal, memang bisa menekan angka peredaran produk makanan minuman ilegal dari negeri Jiran tersebut. Dengan catatan, juga akan ada pengawasan dan penindakan tegas dari pihak pemerintah.
Berdasarkan informasi yang Koran Kaltara dapatkan, setidaknya ada tiga syarat utama yang harus dipenuhi sebelum menjadi importir.
Pertama, memiliki perusahaan berbadan hukum yang mempunyai akta pendirian perusahaan, NPWP, SIUP, Tanda Daftar Perusahaan dan Surat keterangan domisili perusahaan.
Kedua, untuk improtir yang mengimpor barang untuk selanjutnya dijual lagi, harus memiliki dokumen Angka Pengenal Importir Umum (API-U).
Ketiga, untuk memiliki Nomor Induk Kepabeanan dan Nomor Registrasi yang didapat setelah registrasi ke Bea Cukai.
Selain dokumen tersebut yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan, importir perlu mendapatkan izin dari instansi terkait. Untuk bahan makanan, memerlukan izin dari Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Selanjutnya, juga harus ada bukti transaksi, uraian barang dan dokumen dari pengapalan. (Koran kaltara.com. 17/12/2019).
Permainan impor barang dari luar negeri masuk ke dalam negeri seolah- olah tidak berhenti dari masalah administrasi kelegalan cara produk untuk masuk. Sehingga berkesan menghambat aktifitas bisnis dan kemajuan ekonomi masyarakat. Khususnya masyakat lokal suatu daerah atau provinsi seperti Kalimantan Utara. Namun, apakah dengan pengaturan izin tersebut nantinya mampu jadi solusi bagi perbaikan ekonomi dan pasar lokal? Untuk menjawab hal tersebut, tentu membutuhkan analisa dari beberapa poin berikut.
Pertama, impor bukanlah hal yang baru di negeri ini. Apalagi untuk wilayah yang bertetangga dengan negara lain, seperti provinsi-provinsi di Kalimantan. Khususnya Kalimantan Utara. Jarak yang begitu dekat, bahkan hanya berbatasan kayu dengan Negara Malayia, membuat produk-produk negara tetangga sangat mudah masuk. Bahkan untuk kawasan terluar, produk Negara tetangga mendominasi. Transaksi jual beli berlaku dua mata uang, yaitu Rupiah dan Ringgit. Sekilas memang kelihatan seperti hal yang bagus dan maju. Tapi pada kenyataannya, masyarakat daerah perbatasan tetap terbelakang dan tidak lebih maju dari wilayah Negara tetangga Malaysia yang terdekat.
Komoditi impor seperti ikan, buah, beras, minyak, gas dipasok dari Negara tetangga dengan harga yang memang lebih murah dibandingkan harga produk lokal. Kenapa? Sebab aksses menuju pusat kota provinsi lebih sulit dengan pesawat dbandingkan Negara tetangga yang hanya ditempuh dengan mobil atau sepeda motor. Jadi wajar saja jika fenomena ini terjadi. Artinya, tanpa perhatian pemerintah provinsi atau pusat, masyarakat perbatasan wilayah terpencil dan terluar hidup dengan barang impor dan juga menjadi importir tanpa syarat administrasi.
Kedua, pemberlakukan peraturan legal seperti di atas kelihatannya akan menyluitkan masyarakat menjadi importir khususnya masyarkat perbatasan. Selama ini, mereka melakukan transaksi ekonomi dan membuka pasar sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Jika peraturan-peraturan yang disampaikan oleh Kepala Disperindagkop, Budi Harsono harus dipenuhi masyarakat, betapa sulitnya mereka untuk memasok barang-barang dari Negara tetangga. Untuk mengurus surat-surat tersebut akan membutuhkan waktu lama bagi importir. sementara masyarakat membutuhkan barang-barang demi kelangsungan hidup merekas. Selain itu, legalitas yang dipahami dalam peraturan Negara ini adalah berlakunya “pajak”. Bayangkan jika semua persyaratan terpenuhi, pedagang sebagai importir tersebut juga akan dibebani dengan pajak-pajak produk yang ia pasok. Belum lagi pajak usahanya yang juga akan ditagih oleh pemerintah. Bukankah hal ini justru akan lebih menyusahkan masyarakat? Negara seharusnya memeprmudah bukan mempersulit. Jika merasa terganggu dengan produk impor, kewajiban negara seharusnya adalah memasok kebutuhan pokok masyarakat dengan mudah dan murah. Negara seharusnya bertanggungjawab mengirimkan kebutuhan mereka tanpa memungut imbalan seperti pajak dan beacukai.
Ketiga, alasan membuat regulasi yang begitu bertele-tele tersebut adalah untuk menertibkan produk illegal dari Negara jiran. Persepsi produk illegal masih didefensikan dari aturan administrasi bukan karena kehalalan atau keharaman zat yang diimpor. Lalu, pertanyannya adalah seandainya narkoba dan importirnya memiliki izin usaha secara administrasi selesai, akankah dikatakan legal? Inilah kelemahan aturan negeri ini terkait dengan pangan dan aturan distribusinya. Lembaga BPOM Indonesia sebenarnya tidak lebih baik jika dibandingkan dari sensor makanan Negara Malaysia. Pemerintah Malaysia sangat ketat meneliti bahan pangan masyarakatnya. Untuk bahan Mi instan saja, mereka memakai tepung gandum yang jauh lebih aman dari tepung terigu yang biasa digunakan oleh Indonesia. Itu baru mie, belum yang lain. Anehnya, untuk produk negeri sesama muslim diperketat, tetapi produk-produk yang berasal dari China, dan Negara kapitalis global lainnya adakah ini akan diperlakukan? produk-produk China seperti beras dari plastik, anggur berformalin belum ada tindakan sidak serius untuk menanganinya. Apakah importir barang China sudah diperlakukan seketat yang disampaikan oleh Budi Hartanto tadi? Dimana BPOM untuk produk-produk impr China? Sepertinya terlihat ketidakadilan dalam memberlakukan produk berdasarkan negaranya dari sisi administrasi.
Keempat, impor sudah berjalan sejak zaman dahulu oleh setiap Negara. Baik dengan peraturan perdagangan resmi maupun tidak. Hanya saja, akar masalahnya ada pada system pengaturan Negara ini yang mengadopsi kapitalisme. Beban adiministrasi diperlakukan bagi masyarakat lokal agar dapat membantu pemasukan pajak dan beacukai. Bukankah hal itu salah satu pemerasan bagi masyarakat importir? Bagi kapitalisme, setiap sudut perbuatan masyarakat dapat dijadikan sebagai lahan bisnis. Kapitalisme tidak akan membiarkan masyarakat dalam suatu Negara untuk maju tanpa memberikan pengorbanan yang besar bagi Negara. Dalam persepsi Negara yang mengadopsi kapitalisme seperti Indonesia, masyarakat dilarang bertanya, “apa yang diberikan Negara terhadap rakyat?” tapi tanyalah, “apa yang telah diberikan untuk Negara?”. Seolah – olah masyarakat tidak punya hak untuk menikmati segala potensi yang melimpah di neegri ini dengan murah dan mudah bahkan bila memungkinkan harusnya gratis. Jika importir dipersulit untuk wilayah perbatasan, bukankah hal tersebut akan membuat masyarakat sulit memenuhi kebutuhan hidupnya? jika bertumpu pada barang lokal, selain menunggu lama, harganya juga sangat mahal. Sementara pendapatan masyarakat setempat juga tidak memadai. Hanya investor dan pegawai ASN sajalah yang mendapat kemudahan dan tunjangan. Itupun sebagian daerah tidak keseluruhan.
Oleh karena itu, perbaikan ekonomi lokal bukanlah dengan menjerat masyarakat pada segudang administrasi. Dalam Islam, standar pasokan kebutuhan pangan masyarakat didasarkan pada hukum halal-haram. Sehingga barang apapun yang masuk ke wilayah negeri dalam Islam dijamin kehalaannya oleh Negara. Untuk aturan terkait perdagangan luar negeri atau impor, Negara dalam perspektif Islam boleh melakukan perjanjian jual beli selama waktu yang ditetapkan bersama kedua belah pihak. Sehingga barang dari luar boleh masuk dan diperjualbelikan di dalam negeri.
Administasi akan dipermudah bagi warga yang ingin memngembangkan bisnisnya dan ekonomi keluarganya meskipun memasok barang dari luar negeri yang sudah diikat perjanjian. Individu masyarakat juga tidak diperkenankan menjadi importir barang dari Negara lain yang tidak terikat perjanjian dagang. Karena urusan Negara, harus Negara yang mengelola.
Selain itu, Negara juga harus tetap memantau produksi dalam negeri dan terus mengupayakan agar poduk impor mampu dihasilkan dalam negeri. Sehingga ketergantungan impor sangat minim bila perlu tidak ada impor. Sejarah keemasan islam abad silam telah memebuktikan ketika pengelolaan Negara diserahkan kepada syariat islam dengan luas yang membentang hampir 2/3 dunia, tidak pernah memiliki catatan impor haram dan illegal. Sebab, tida bisa dipungkiri, dampak impor seperti yang kita saksikan hari ini adalah mematikan produksi lokal dan membuat angka kemiskinan meningkat akibat bangkrutnya perusahaan-perusahaan lokal yang kalah bersaing dengan impor, belum lagi produksi luar negeri ternyata mayoritas lebih berkualiatas meskipun tidak keseluruhan. Ditambah pola piker masyarakat yang kini lebih percaya barang impor, menambah factor kemerosotan ekonomi lokal dan nasional.
Solusi menyelesaikan impor dan mendudukkannya pada batas keproporsionalan hanya bisa dengan menerapkan sistem ekonomi Islam. Tentunya hal tersebut harus ditopang oleh penerapan hukum-hukum Islam secara mennyeluruh dalam semua aspek Negara. Jadi, masalah bukan hanya pada legalitas administrasi saja, tapi lebih kepada pengelolaan ekonomi negeri yang disebabkan kegagalan mengelola Negara secara keseluruhan akibat mengadopsi kapitalisme.
Indonesia akan mampu menyelesaikan kasus–kasus impor di negeri ini jika Islam dijadikan sebagai sistem pengelolaan tata Negara. Islam tidak mengharamkan impor, tetapi butuh kebjiksanaan dalam mengelolanya oleh seorang pemimpin Negara yang cerdas dan memahami Islam. Islam diterapkan sebagai solusi bagi permaslahan negeri. Bukan hanya untuk wilyah Kalimantan Utara, tapi juga seluruh masalah wilayah negeri ini akan terselesaikan dengan benar dan tidak mendzalimi siapapun. Wallahu a’lam.
Kontributor: Nahdoh Fikriyyah Islam