Merdeka Belajar = Upaya Memproduksi Generasi Liberal?

Ridhmedia
20/12/19, 05:25 WIB
Foto: Edukasi Kompas
Oleh : Djumriah Lina Johan
(Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial Ekonomi Islam)

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, menyampaikan empat program pokok kebijakan pendidikan Merdeka Belajar. Program tersebut meliputi perubahan pada Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi. “Empat program pokok kebijakan pendidikan tersebut akan menjadi arah pembelajaran ke depan yang fokus pada arahan presiden dan wakil presiden dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia," kata Nadiem di Jakarta, Rabu, 11 Desember 2019. (Tempo.co, Kamis, 12/12/2019)

Mendikbud Nadiem Makarim menjelaskan konsep Merdeka Belajar yang diusungnya. “Merdeka belajar adalah kemerdekaan berpikir. Dan terutama esensi kemerdekaan berpikir ini harus ada di guru dulu. Tanpa terjadi di guru, tidak mungkin bisa terjadi di murid,” kata Nadiem dalam Diskusi Standard Nasional Pendidikan, di Hotel Century Park, Jakarta Pusat pada Jumat, 13 Desember 2019.
Nadiem menyebut, semua guru harus berpikir secara mandiri. Dia menyebut, pembelajaran tidak akan terjadi jika hanya administrasi pendidikan yang terjadi. “Paradigma merdeka belajar adalah untuk menghormati perubahan yang harus terjadi agar pembelajaran itu mulai terjadi diberbagai macam sekolah.” (Tempo.co, Jumat, 13/12/2019)

Selain itu, ada yang menarik dari pernyataan Mendikbud Nadiem Makarim saat menghadiri rapat kerja Komisi X DPR di DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (12/12/2019). Nadiem menilai bahwa saat ini dunia tidak butuh siswa yang hanya jago menghafal. Materi padat, anak harus menghafal.

Dikutip dari laman Kompas TV, Nadiem menyampaikan terkait ujian nasional (UN) hanya menuntut siswa menghafal seluruh pelajaran. “Karena kepadatan materi, ini berdasarkan mata pelajaran, ini jadi ada tumpukan informasi yang harus dihafal,” kata Nadiem.

Lantaran dituntut menghafal seluruh mata pelajaran di kelas, timbullah kebutuhan untuk ikut bimbingan belajar yang pasti harus mengeluarkan uang. Hal ini dilakukan agar anak bisa mencapai nilai yang tinggi.

Penghafalan itu menurut Nadiem hanya menyentuh aspek memori saja. Untuk itu UN memang tidak dihapus namun diganti dengan asesmen kompetensi. Sebab dengan asesmen ini siswa tidak lagi menghafal, melainkan ada aspek kognitif siswa yang dites. Kognitif yang dimaksud adalah penalaran dan pemahaman siswa atas mata pelajaran yang dimaksud.

Nadiem juga menilai UN belum menyentuh kepada karakter siswa. Maka tak heran jika ujian nasional hanya akan ada sampai tahun 2020. Setelah itu asesmen kompetensi minimum dan survei karakter‎ akan diterapkan pada tahun 2021. Hal ini juga akan mendorong kompetisi guru untuk lebih berinovasi dalam mendidik siswanya. (Kompas.com, Sabtu, 14/12/2019)

Menilik dunia pendidikan di negeri ini, memang akan didapati ada banyak masalah dan masalah kualitas output pendidikan menjadi salah satunya. Namun, kebijakan baru Mendikbud untuk memperbaiki kualitas output pendidikan dengan kebijakan pendidikan Merdeka Belajar lebih menitikberatkan tujuan untuk menyiapkan pekerja saja. Mencetak SDM yang siap masuk ke dunia kerja. Bukan untuk mencetak generasi pemimpin peradaban.

Dari paparan fakta di atas dapat dipahami bahwa Nadiem memaknai merdeka belajar sama dengan merdeka berfikir yang dimulai dari guru kemudian diturunkan untuk ditanamkan ke siswa. Sehingga program yang digulirkan pun bernapaskan sekulerisme dimana generasi dididik untuk merdeka berfikir tanpa dibatasi sekat norma dan agama. Ini merupakan upaya terstruktur untuk melupakan visi kemusliman mereka dan menjadikan jati diri mereka sebagai manusia liberal.

Hal ini tentu tidak terlepas dari adanya gerakan masif Pemerintah untuk menangkal dan melawan virus-virus radikalisme dan intoleransi di dunia pendidikan. Sehingga generasi muda akan menjadi generasi yang anti terhadap agamanya sendiri dan alergi dengan syariah Islam. Sebab, merdeka berfikir yang dimaksud tidak lain memberikan kebebasan (liberal) dalam memaknai materi pelajaran dan berujung pada pengadopsian tata cara berperilaku dan karakter liberal tanpa  dikungkung batasan (agama Islam).

Memang benar, dunia pendidikan tidak boleh menghasilkan SDM yang hanya pandai menghafal tanpa memahami makna dan menginternalisasi pemahamannya, namun dunia pendidikan hanya akan menghasilkan generasi  materialistik dan egois bila pemahamannya hanya diisi oleh insan berliterasi dan berkarakter universal terlepas dari tuntunan wahyu Allah swt.

Walhasil wajar jika melihat potret buram output pendidikan sekarang yang jauh dari kata membanggakan. Mulai dari murid yang memalak gurunya, murid berkelahi dengan guru, hingga yang paling sadis sekaligus tragis, murid yang tega membunuh guru. Potret buruk tersebut belum termasuk pergaulan bebas dan lain-lain. Adanya perubahan program pendidikan ini pun pada akhirnya malah akan semakin menjerumuskan generasi ke arah kerusakan parah.

Menurut Dr. Adian Husaini, Ketua Program Doktor Pendidikan UIKA Bogor Jawa Barat, inilah konsekuensi pendidikan yang hanya ditujukan untuk mencetak ‘pekerja yang baik’. Tapi tidak diarahkan menjadi ‘manusia yang baik’. Kata peribahasa, harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan. Akibat terlalu berharap keuntungan terlalu tinggi tapi belum pasti, akhirnya yang dalam genggaman tangan pun ikut hilang pula. Realitasnya, kompetensi dan skill yang dikejar-kejar tak kunjung bisa diraih juga. Sedang adab dan akhlak yang bersifat prinsip ikut lepas pula akhirnya.
Dengan demikian, ketika berbicara masalah kualitas output pendidikan, alangkah lebih baik jika melirik Islam yang terbukti secara sejarah mampu mencetak generasi salih dan terdepan dalam sains dan teknologi. Dan mampu membuktikan pada dunia eksistensi mereka sebagai generasi terbaik yang mampu memimpin dunia dengan kejayaan Islam.

Akan tetapi, Islam tidak akan bisa diterapkan apabila negara ini masih berpegang teguh kepada konsep sekulerisme yang melahirkan ide liberal. Karena sejatinya, kedua ide sesat tersebut justru menumbuh suburkan Islamofobia. Maka tak ada jalan lain untuk menyelamatkan generasi dan dunia pendidikan serta aspek kehidupan lain di negeri ini kecuali dengan mencampakkan virus sekulerisme liberal dan menggantinya dengan Islam. Wallahu a’lam bish shawab.


Disclaimer : Label opini adalah media warga. Setiap opini di Label ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.
Komentar

Tampilkan

Terkini