RIDHMEDIA - Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2020, masih sembilan bulan lagi. Namun, dinamika politik menuju pesta pilkada serentak gelombang empat itu sudah terasa kencang.
Isu yang mencuat terkait majunya putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka untuk Pilkada Kota Solo. Lalu, menantu Jokowi, Bobby Afif Nasution, yang juga siap bersaing berebut posisi Wali Kota Medan.
Meski baru tahap pendaftaran dan belum mendapat rekomendasi resmi dari partai politik pengusung, keduanya jadi pusat perhatian. Alasannya, karena dua figur itu terkait dengan Jokowi yang masih aktif sebagai kepala negara. Jokowi juga baru hampir sebulan menjabat RI-1 di periode keduanya.
Direktur Eksekutif Parameter Indonesia, Adi Prayitno menekankan, memang siapapun, termasuk Gibran dan Bobby berhak maju jadi calon kepala daerah. Namun, yang menjadi persoalan, keduanya dianggap aji mumpung dengan figur Jokowi
"Cuma problemnya, majunya Gibran-Bobby akan menciptakan kompetisi yang tak seimbang. Keduanya sudah punya bekal electoral memadai, karena Jokowi effect. Sementara, kandidat lain harus memulai dari zero," kata Adi kepada VIVAnews, Minggu 15 Desember 2019.
Dia menganalisis, kemungkinan besar dengan modal sebagai anak-mantu Jokowi, dua figur itu bisa mendapatkan kemudahan dalam dukungan politik. Parpol selaku pengusung, juga kemungkinan akan pragmatis, karena berpikir potensi menang.
"Apalagi, niat nyalon pilkada, otomatis pasti banjir dukungan," tutur Adi.
Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menyebut, tak salah bila ada anggapan majunya Gibran-Bobby ini, berarti Jokowi memulai membangun oligarki dan dinasti politik. Meski di satu sisi, tak ada yang salah dengan kesiapan majunya Gibran-Bobby.
"Kita masih ingat, dulu Jokowi pernah bilang, keluarganya tak akan berpolitik. Tetapi, saat ini, berpolitik. Mungkin, karena enak dan nikmatnya kekuasaan. Politik menjadi jalannya," ujar Ujang.
Dia menyebut hanya di era Jokowi, Gibran-Bobby maju ke Pilkada. Ia membandingkan dengan Presiden sebelumnya yang tak ada putra putrinya menjadi kepala daerah, saat aktif sebagai RI-1. "Ini Jokowi efek. Dan, bisa juga aji mumpung. Mumpung lagi berkuasa. Jadi, ingin ikut berkuasa juga," kata Ujang.
Mendapat kritikan, barisan pendukung Jokowi pun membela. Politikus PDIP, Andreas Hugo Parreira menegaskan, tak ada masalah dengan majunya Gibran-Bobby. Ia meminta, pihak yang kontra untuk berpikir obyektif tanpa diskriminasi.
Bagi Andreas, selama mengikuti prosedur, maka tak ada pelanggaran. Ia pun heran, jika ada anggapan etika yang dilanggar Gibran-Bobby.
"Jangan mendiskriminasi mereka, karena anak atau mantu Presiden. Kalau soal etik, kode etik mana yang dilanggar, beri kesempatan mereka untuk ikuti mekanisme dan prosedur yang berlaku," ujar Andreas kepada VIVAnews, Minggu 15 Desember 2019.
Dia mengingatkan, kondisi sistem demokrasi saat ini yang dianut di Indonesia. Menurutnya, dengan sistem demokrasi terbuka seperti sekarang, maka sulit dinasti politik bisa tumbuh dan hidup. Alasannya, rakyat yang punya suara pilihan.
"Dinasti hanya bisa tumbuh dan berkembang dalam sistem monarki atau sistem totaliterisme seperti yang sekarang masih berkembang di Korea Utara," jelasnya.
Beban Politik Tambahan
Andreas mempertanyakan, makna dinasti politik dengan memberikan contoh perbandingan. Misalnya, seperti politik Amerika Serikat, dengan pernah adanya keluarga Kennedy yang mencuat di era 1960-1970-an. Begitu juga, keluarga Bush yang muncul di tahun 1980-1990-an.
"Atau keluarga Bush. Di India pun ada keluarga Gandhi. Ini dua negara demokrasi terbesar di dunia. Apakah juga dinasti?" tutur Andreas.
Dia menganggap, suara sumbang terhadap Gibran-Bobby diibaratkan nyinyir yang bukan kritikan. Namun, kata Andreas, bila keduanya dinilai aji mumpung juga tak persoalan, karena Jokowi punya prestasi sebagai kepala negara.
"Kalau aji mumpung juga enggak papa. Wong nasib politik dan kerja keras bapaknya bagus. Soal anak atau mantunya sama seperti bapaknya, ya rakyatlah yang putuskan mau pilih mereka atau tidak," sebutnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem), Titi Anggraini berpandangan, majunya Gibran-Bobby secara politik akan membawa beban politik tambahan bagi Jokowi.
Pertama, potensi kembali muncul polarisasi di masyarakat akibat sisa-sisa kontestasi pilpres yang belum sepenuhnya pulih.
Kedua, bila performa anak menantunya ini kurang optimal seandainya terpilih, maka mereka bisa jadi rongrongan bagi kredibilitas kepemimpinan Jokowi. Lalu, ketiga, figur Gibran-Bobby yang merupakan pendatang baru dan bisa merusak kaderisasi parpol.
"Jadi, beban politik tambahan Jokowi. Bisa juga menyingkirkan para kader partai yang sudah berkeringat, bekerja keras. Ini akan jadi sinyalemen buruk upaya memperkuat kaderisasi dan rekrutmen politik yang berkualitas," tutur Titi.
Namun, ia menekankan kembali tak ada masalah secara UU dengan majunya Gibran-Bobby. Tak ada larangan keluarga Presiden maju sebagai kontestan calon kepala daerah dalam UU Pilkada dan UU Parpol.
"Tidak ada aturan yang melarang pencalonan kerabat dan keluarga Presiden di pilkada. UU Parpol dan Pilkada kita hanya menyebutkan, pencalonan dilakukan secara terbuka dan demokratis. Serta mutlak memenuhi persyaratan sebagai calon," jelas Titi.
Kesiapan Gibran maju ke Pilkada Kota Solo, tampaknya serius. Pengusaha kuliner itu sudah mendaftarkan diri ke DPD PDIP Jawa Tengah pada Kamis lalu, 12 Desember 2019. Saat pendaftaran, ia membawa massa relawan pendukungnya, dengan diiringi nyanyian dan orasi penyemangat.
Gibran siap menjuang untuk mengikuti rekam jejak ayahnya yang pernah menjabat Wali Kota Solo. Ia mengaku ingin membawa perubahan lebih baik untuk Solo.
"Kita sudah tidak bicara lagi masalah perubahan. Kita bicara masalah lompatan, percepatan agar lebih sejahtera lagi masyarakatnya (Solo)," ujar Gibran, saat hendak menuju kantor DPD PDIP Jateng untuk pendaftaran.
Begitupun Bobby yang juga sudah mendaftar ke PDIP Sumut, demi tiket calon Wali Kota Medan. Ia juga sudah sudah gerak cepat dan menjalin komunikasi politik dengan parpol lain seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Golkar. [vn]
Isu yang mencuat terkait majunya putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka untuk Pilkada Kota Solo. Lalu, menantu Jokowi, Bobby Afif Nasution, yang juga siap bersaing berebut posisi Wali Kota Medan.
Meski baru tahap pendaftaran dan belum mendapat rekomendasi resmi dari partai politik pengusung, keduanya jadi pusat perhatian. Alasannya, karena dua figur itu terkait dengan Jokowi yang masih aktif sebagai kepala negara. Jokowi juga baru hampir sebulan menjabat RI-1 di periode keduanya.
Direktur Eksekutif Parameter Indonesia, Adi Prayitno menekankan, memang siapapun, termasuk Gibran dan Bobby berhak maju jadi calon kepala daerah. Namun, yang menjadi persoalan, keduanya dianggap aji mumpung dengan figur Jokowi
"Cuma problemnya, majunya Gibran-Bobby akan menciptakan kompetisi yang tak seimbang. Keduanya sudah punya bekal electoral memadai, karena Jokowi effect. Sementara, kandidat lain harus memulai dari zero," kata Adi kepada VIVAnews, Minggu 15 Desember 2019.
Dia menganalisis, kemungkinan besar dengan modal sebagai anak-mantu Jokowi, dua figur itu bisa mendapatkan kemudahan dalam dukungan politik. Parpol selaku pengusung, juga kemungkinan akan pragmatis, karena berpikir potensi menang.
"Apalagi, niat nyalon pilkada, otomatis pasti banjir dukungan," tutur Adi.
Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menyebut, tak salah bila ada anggapan majunya Gibran-Bobby ini, berarti Jokowi memulai membangun oligarki dan dinasti politik. Meski di satu sisi, tak ada yang salah dengan kesiapan majunya Gibran-Bobby.
"Kita masih ingat, dulu Jokowi pernah bilang, keluarganya tak akan berpolitik. Tetapi, saat ini, berpolitik. Mungkin, karena enak dan nikmatnya kekuasaan. Politik menjadi jalannya," ujar Ujang.
Dia menyebut hanya di era Jokowi, Gibran-Bobby maju ke Pilkada. Ia membandingkan dengan Presiden sebelumnya yang tak ada putra putrinya menjadi kepala daerah, saat aktif sebagai RI-1. "Ini Jokowi efek. Dan, bisa juga aji mumpung. Mumpung lagi berkuasa. Jadi, ingin ikut berkuasa juga," kata Ujang.
Mendapat kritikan, barisan pendukung Jokowi pun membela. Politikus PDIP, Andreas Hugo Parreira menegaskan, tak ada masalah dengan majunya Gibran-Bobby. Ia meminta, pihak yang kontra untuk berpikir obyektif tanpa diskriminasi.
Bagi Andreas, selama mengikuti prosedur, maka tak ada pelanggaran. Ia pun heran, jika ada anggapan etika yang dilanggar Gibran-Bobby.
"Jangan mendiskriminasi mereka, karena anak atau mantu Presiden. Kalau soal etik, kode etik mana yang dilanggar, beri kesempatan mereka untuk ikuti mekanisme dan prosedur yang berlaku," ujar Andreas kepada VIVAnews, Minggu 15 Desember 2019.
Dia mengingatkan, kondisi sistem demokrasi saat ini yang dianut di Indonesia. Menurutnya, dengan sistem demokrasi terbuka seperti sekarang, maka sulit dinasti politik bisa tumbuh dan hidup. Alasannya, rakyat yang punya suara pilihan.
"Dinasti hanya bisa tumbuh dan berkembang dalam sistem monarki atau sistem totaliterisme seperti yang sekarang masih berkembang di Korea Utara," jelasnya.
Beban Politik Tambahan
Andreas mempertanyakan, makna dinasti politik dengan memberikan contoh perbandingan. Misalnya, seperti politik Amerika Serikat, dengan pernah adanya keluarga Kennedy yang mencuat di era 1960-1970-an. Begitu juga, keluarga Bush yang muncul di tahun 1980-1990-an.
"Atau keluarga Bush. Di India pun ada keluarga Gandhi. Ini dua negara demokrasi terbesar di dunia. Apakah juga dinasti?" tutur Andreas.
Dia menganggap, suara sumbang terhadap Gibran-Bobby diibaratkan nyinyir yang bukan kritikan. Namun, kata Andreas, bila keduanya dinilai aji mumpung juga tak persoalan, karena Jokowi punya prestasi sebagai kepala negara.
"Kalau aji mumpung juga enggak papa. Wong nasib politik dan kerja keras bapaknya bagus. Soal anak atau mantunya sama seperti bapaknya, ya rakyatlah yang putuskan mau pilih mereka atau tidak," sebutnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem), Titi Anggraini berpandangan, majunya Gibran-Bobby secara politik akan membawa beban politik tambahan bagi Jokowi.
Pertama, potensi kembali muncul polarisasi di masyarakat akibat sisa-sisa kontestasi pilpres yang belum sepenuhnya pulih.
Kedua, bila performa anak menantunya ini kurang optimal seandainya terpilih, maka mereka bisa jadi rongrongan bagi kredibilitas kepemimpinan Jokowi. Lalu, ketiga, figur Gibran-Bobby yang merupakan pendatang baru dan bisa merusak kaderisasi parpol.
"Jadi, beban politik tambahan Jokowi. Bisa juga menyingkirkan para kader partai yang sudah berkeringat, bekerja keras. Ini akan jadi sinyalemen buruk upaya memperkuat kaderisasi dan rekrutmen politik yang berkualitas," tutur Titi.
Namun, ia menekankan kembali tak ada masalah secara UU dengan majunya Gibran-Bobby. Tak ada larangan keluarga Presiden maju sebagai kontestan calon kepala daerah dalam UU Pilkada dan UU Parpol.
"Tidak ada aturan yang melarang pencalonan kerabat dan keluarga Presiden di pilkada. UU Parpol dan Pilkada kita hanya menyebutkan, pencalonan dilakukan secara terbuka dan demokratis. Serta mutlak memenuhi persyaratan sebagai calon," jelas Titi.
Kesiapan Gibran maju ke Pilkada Kota Solo, tampaknya serius. Pengusaha kuliner itu sudah mendaftarkan diri ke DPD PDIP Jawa Tengah pada Kamis lalu, 12 Desember 2019. Saat pendaftaran, ia membawa massa relawan pendukungnya, dengan diiringi nyanyian dan orasi penyemangat.
Gibran siap menjuang untuk mengikuti rekam jejak ayahnya yang pernah menjabat Wali Kota Solo. Ia mengaku ingin membawa perubahan lebih baik untuk Solo.
"Kita sudah tidak bicara lagi masalah perubahan. Kita bicara masalah lompatan, percepatan agar lebih sejahtera lagi masyarakatnya (Solo)," ujar Gibran, saat hendak menuju kantor DPD PDIP Jateng untuk pendaftaran.
Begitupun Bobby yang juga sudah mendaftar ke PDIP Sumut, demi tiket calon Wali Kota Medan. Ia juga sudah sudah gerak cepat dan menjalin komunikasi politik dengan parpol lain seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Golkar. [vn]