RIDHMEDIA - Kebebasan warga negara menjelaskan pendapat mendapat jaminan dari kontitusi, UUD Negara Republik Indonesia. Untuk itu, Telah menjadi hal wajar jika perbedaan pendapat dan pandangan memenuhi ruang publik.
Hanya saja, perbedaan pendapat jangan sampai ditanggapi berlebihan. Lebih-lebih hingga pembungkaman terhadap aktor yang mengkritik.
Begitu kira-kira maksud dari pakar hukum tata negara Refly Harun dalam kicauannya di akun Twitter pribadi, Rabu (4/12).
Negara nggak perlu berkerut keningnya cuma karna ada yang mengkritik atau berbeda pendapat. Senyum dan cerna saja, jangan gunakan instrumen koersif buat membungkam," tegas Refly.
Lebih jauh, Guru Besar kampus IPDN ini mengingatkan agar iklim kehidupan bernegara selalu dalam keadaan menggembirakan. Negara dan rakyat yang mengkritik jangan saling berseteru apalagi tegang.
Perlu dicatat, kata Refly, apabila dalam sebuah negara demokrasi nggak ada kekuasaan yang bersifat absolut atau mutlak.
"Bernegara itu perlu menggembirakan. Terlebih kekuasaan itu bergilir, datang dan pergi seperti malam dan siang," ujar Refly mengingatkan.
Pernyataan itu dikicaukan Refly seiring jagat social media tengah ramai membahas filsuf dari Universitas Indonesia (UI), yang menyebut Joko Widodo nggak mengerti Pancasila.
Rocky menilai Jokowi seolah cuma menjadikan Pancasila sebatas hapalan tapi nggak dibarengi implementasi dalam membuat kebijakan.
"Kalau dia paham, dia nggak berutang. Kalau dia mengerti dia nggak naikin BPJS. Kalau dia mengerti dia nggak melanggar undang-undang lingkungan," kata Rocky ketika menjadi pembicara Indonesia Lawyers Club (ILC) dengan tema "Maju-Mundur Izin FPI", di Jakarta, Selasa malam (3/12).
Di forum ILC semalam, politisi PDI Perjuangan Junimart Girsang yang turut menjadi pembicara sontak bakal melaporkan Rocky Gerung ke polisi karna dianggap telah menghina presiden.
Sejak dinihari tadi, tanda pagar (tagar) atau hashtag #RockyGerungMenghinaPresiden masih menjadi trending topic di Twitter. (Rmol)