RIDHMEDIA - Presiden Joko Widodo dinilai terlalu jauh mencampuri urusan karier di internal Polri dengan menempatkan perwira tinggi (Pati) yang pernah menjabat Kapolresta Surakarta dan dianggap dekat dengan dirinya ketika masih menjabat sebagai Walikota Solo.
Demikian disampaikan Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane kepada wartawan, Selasa (24/12).
"Itu sudah merusak sistem karir di Polri dan membuat frustrasi di internal kepolisian," kata Neta.
Menurut Neta, sebetulnya sah-sah saja Jokowi menempatkan Pati Polri yang dulu pernah berdinas di Solo. Hal itu merupakan bagian dari privilese alias hak istimewa. Cara seperti ini tentunya merupakan berkah tersendiri bagi perwira yang pernah bertugas di Solo.
"Namun hendaknya dalam menggunakan privilise itu, Jokowi tidak merusak tatanan, hirarki, dan sistem karir yang sudah dibangun Polri sejak lama," ujar dia.
Neta membeberkan, beberapa Pati yang pernah bertugas sebagai Kapolresta Surakarta (Solo) karirnya sangat moncer, misalnya Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo lulusan Akpol 1991. Sigit sebelumnya menjabat Kadiv Propam dan Kapolda Banten.
Kapolda NTB Irjen Nana Sudjana lulusan Akpol 1988B yang lompat menjadi Kapolda Metro Jaya. Ini merupakan sejarah di internal Polri, Kapolda dari luar pulau Jawa menjabat langsung sebagai Kapolda Metro Jaya.
"Iwan Bule saja dari NTB ke Jabar dulu dan ke Propam, baru kemudian menjadi Kapolda Metro Jaya," jelas Neta.
Dia menganggap, ditunjuknya Sigit sebagai Kabareskrim juga satu hal yang baru terjadi di Polri, dimana posisi orang nomor satu di Korps Reserse dengan pangkat bintang tiga biasanya dijabat oleh Irjen senior yang pernah menjabat Kapolda tipe A.
Dan terakhir, mantan Kapolresta Solo yang sukses mengawal pernikahan Kahiyang-Bobby Nasution, Brigjen Ahmad Lutfi.
Perwira non Akpol itu menjadi Wakapolda Jawa Tengah usai mengikuti pendidikan. Tak seperti biasanya, usai mengikuti pendidikan, perwira Polri menjadi Analis Kebijakan (Anjak) dulu atau menjabat posisi di Mabes Polri dengan pangkat tetap Kombes, baru kemudian mendapat promosi menjadi Brigjen. [rml]
Demikian disampaikan Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane kepada wartawan, Selasa (24/12).
"Itu sudah merusak sistem karir di Polri dan membuat frustrasi di internal kepolisian," kata Neta.
Menurut Neta, sebetulnya sah-sah saja Jokowi menempatkan Pati Polri yang dulu pernah berdinas di Solo. Hal itu merupakan bagian dari privilese alias hak istimewa. Cara seperti ini tentunya merupakan berkah tersendiri bagi perwira yang pernah bertugas di Solo.
"Namun hendaknya dalam menggunakan privilise itu, Jokowi tidak merusak tatanan, hirarki, dan sistem karir yang sudah dibangun Polri sejak lama," ujar dia.
Neta membeberkan, beberapa Pati yang pernah bertugas sebagai Kapolresta Surakarta (Solo) karirnya sangat moncer, misalnya Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo lulusan Akpol 1991. Sigit sebelumnya menjabat Kadiv Propam dan Kapolda Banten.
Kapolda NTB Irjen Nana Sudjana lulusan Akpol 1988B yang lompat menjadi Kapolda Metro Jaya. Ini merupakan sejarah di internal Polri, Kapolda dari luar pulau Jawa menjabat langsung sebagai Kapolda Metro Jaya.
"Iwan Bule saja dari NTB ke Jabar dulu dan ke Propam, baru kemudian menjadi Kapolda Metro Jaya," jelas Neta.
Dia menganggap, ditunjuknya Sigit sebagai Kabareskrim juga satu hal yang baru terjadi di Polri, dimana posisi orang nomor satu di Korps Reserse dengan pangkat bintang tiga biasanya dijabat oleh Irjen senior yang pernah menjabat Kapolda tipe A.
Dan terakhir, mantan Kapolresta Solo yang sukses mengawal pernikahan Kahiyang-Bobby Nasution, Brigjen Ahmad Lutfi.
Perwira non Akpol itu menjadi Wakapolda Jawa Tengah usai mengikuti pendidikan. Tak seperti biasanya, usai mengikuti pendidikan, perwira Polri menjadi Analis Kebijakan (Anjak) dulu atau menjabat posisi di Mabes Polri dengan pangkat tetap Kombes, baru kemudian mendapat promosi menjadi Brigjen. [rml]