RIDHMEDIA - Solidaritas Mahasiswa dan Pemuda Peduli HAM Papua di Kota Sorong menagih janji Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan kasus penembakan empat siswa di Kabupaten Paniai, Papua pada 8 Desember 2014. Hingga lima tahun berlalu, janji Jokowi untuk menjalankan proses hukum atas kasus itu tidak terwujud.
Solidaritas Mahasiswa dan Pemuda Peduli HAM Papua menggelar aksi di Kota Sorong, Minggu (8/12/2019). Mereka menempelkan berbagai pamflet dan poster di tembok taman Kota Sorong. “Kami butuh bukti, bukan janji,” demikian salah satu kalimat yang tertulis di dalam poster peserta aksi.
Koordinator lapangan aksi itu, Ambrosius Klangit mengatakan publik di Tanah Papua selalu mengingat momen perayaan Natal di Jayapura, Papua yang dihadiri Presiden Jokowi pada 27 Desember 2014. Dalam acara itu, lima tahun silam, Jokowi berjanji untuk menuntaskan pengusutan kasus penembakan empat siswa di Paniai.\
Klangit meminta Jokowi memenuhi janjinya dengan mengadili para pemilik senjata dan peluru yang menewaskan empat keempat siswa itu, yaitu Apius Gobay, Alpius Youw, Simon Degei dan Yulianus Yeimo. Klangit menyatakan rakyat Papua bersama keluarga korban masih menanti Jokowi penuhi janji itu, kendati janji itu tidak kunjung terpenuhi hingga periode pertama pemerintahan Jokowi berakhir.
Klangit juga mengkritik periode pertama pemerintahan Jokowi yang justru menambah catatan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua. Alih-alih tidak menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM itu, rezim Jokowi justru terus menambah jumlah aparat keamanan di Papua.
“Papua tidak butuh [aparat] keamanan. Papua hanya butuh keadilan. Kalau sudah ambil kekayaan alam, hak milik dan hak hidup orang Papua harus dihargai,” kata Klangit.
Ia menyatakan seharusnya pemerintah pusat bisa memperbaiki akses rakyat di Papua terhadap jaminan keselamatan, layanan kesehatan, pendidikan, maupun peningkatan kesejahteraan. “Semua akses itu tidak terpenuhi. Orang Papua terus di bunuh. Kami binggung, negara melihat manusia Papua itu seperti apa,” kata Klangit.
Advokat HAM Papua, Yohanes Mambrasar SH menyatakan Indonesia telah memiliki perangkat hukum yang mencukupi untuk menjalankan proses hukum terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua. Mambrasar menyebut, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM seharusnya digunakan untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua. “Jadi, tidak ada alasan untuk tidak menyelesaikan [kasus pelanggaran HAM di Papua],” kata Mambrasar pada Minggu (8/11/2919).
Mambrasar menyatakan penyelesaian kasus Paniai menjadi barometer apakah pemerintahan Presiden Jokowi memiliki itikad baik untuk menyelesaikan kasus lain di Papua. “Bicara pembangunan Papua itu juga bicara penyelesaian masalah HAM. Jadi, kalau tidak menyelesaikan [kasus pelanggaran HAM di Papua], rakyat Papua bisa mengukur kemampuan Jokowi membangun Papua,” ujarnya.
Mambrasar menegaskan Negara tidak bisa memakai dalih ketersediaan anggaran ataupun kecukupan alat bukti untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM. “Bagaimana Negara [akan berdalih] tidak ada uang, sementara operasi militer dan pembangunan markas militer baru terus berlangsung di Papua,” katanya.
Mambrasar menyatakan banyak pemangku kepentingan di Papua berharap kepada itikad baik kabinet baru Presiden Jokowi untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua. “Kita harap Mahmud MD [selaku] Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan bisa menyelesaikan [kasus pelanggaran HAM di Papua]. Banyak orang berharap kepada dia, kalau pemerintah punya itikad baik,” kata Mambrasar.
[jubi]
Solidaritas Mahasiswa dan Pemuda Peduli HAM Papua menggelar aksi di Kota Sorong, Minggu (8/12/2019). Mereka menempelkan berbagai pamflet dan poster di tembok taman Kota Sorong. “Kami butuh bukti, bukan janji,” demikian salah satu kalimat yang tertulis di dalam poster peserta aksi.
Koordinator lapangan aksi itu, Ambrosius Klangit mengatakan publik di Tanah Papua selalu mengingat momen perayaan Natal di Jayapura, Papua yang dihadiri Presiden Jokowi pada 27 Desember 2014. Dalam acara itu, lima tahun silam, Jokowi berjanji untuk menuntaskan pengusutan kasus penembakan empat siswa di Paniai.\
Klangit meminta Jokowi memenuhi janjinya dengan mengadili para pemilik senjata dan peluru yang menewaskan empat keempat siswa itu, yaitu Apius Gobay, Alpius Youw, Simon Degei dan Yulianus Yeimo. Klangit menyatakan rakyat Papua bersama keluarga korban masih menanti Jokowi penuhi janji itu, kendati janji itu tidak kunjung terpenuhi hingga periode pertama pemerintahan Jokowi berakhir.
Klangit juga mengkritik periode pertama pemerintahan Jokowi yang justru menambah catatan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua. Alih-alih tidak menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM itu, rezim Jokowi justru terus menambah jumlah aparat keamanan di Papua.
“Papua tidak butuh [aparat] keamanan. Papua hanya butuh keadilan. Kalau sudah ambil kekayaan alam, hak milik dan hak hidup orang Papua harus dihargai,” kata Klangit.
Ia menyatakan seharusnya pemerintah pusat bisa memperbaiki akses rakyat di Papua terhadap jaminan keselamatan, layanan kesehatan, pendidikan, maupun peningkatan kesejahteraan. “Semua akses itu tidak terpenuhi. Orang Papua terus di bunuh. Kami binggung, negara melihat manusia Papua itu seperti apa,” kata Klangit.
Advokat HAM Papua, Yohanes Mambrasar SH menyatakan Indonesia telah memiliki perangkat hukum yang mencukupi untuk menjalankan proses hukum terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua. Mambrasar menyebut, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM seharusnya digunakan untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua. “Jadi, tidak ada alasan untuk tidak menyelesaikan [kasus pelanggaran HAM di Papua],” kata Mambrasar pada Minggu (8/11/2919).
Mambrasar menyatakan penyelesaian kasus Paniai menjadi barometer apakah pemerintahan Presiden Jokowi memiliki itikad baik untuk menyelesaikan kasus lain di Papua. “Bicara pembangunan Papua itu juga bicara penyelesaian masalah HAM. Jadi, kalau tidak menyelesaikan [kasus pelanggaran HAM di Papua], rakyat Papua bisa mengukur kemampuan Jokowi membangun Papua,” ujarnya.
Mambrasar menegaskan Negara tidak bisa memakai dalih ketersediaan anggaran ataupun kecukupan alat bukti untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM. “Bagaimana Negara [akan berdalih] tidak ada uang, sementara operasi militer dan pembangunan markas militer baru terus berlangsung di Papua,” katanya.
Mambrasar menyatakan banyak pemangku kepentingan di Papua berharap kepada itikad baik kabinet baru Presiden Jokowi untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua. “Kita harap Mahmud MD [selaku] Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan bisa menyelesaikan [kasus pelanggaran HAM di Papua]. Banyak orang berharap kepada dia, kalau pemerintah punya itikad baik,” kata Mambrasar.
[jubi]