RIDHMEDIA - Presiden Amerika Serikat Donald Trump menjadi presiden ketiga dalam sejarah negeri Paman Sam yang dimakzulan oleh DPR. Dia dituduh melakukan penyalahgunaan kekuasaan serta menghalangi Kongres dalam upaya penyelidikan pemakzulan.
Dalam pemungutan suara yang digelar di DPR, di mana Demokrat mendominasi, pada Rabu (18/12) waktu setempat menghasilkan suara mayoritas yang meloloskan pemakzulan Trump.
Hasil tersebut kemudian akan dibawa untuk persidangan di Senat bulan Januari mendatang.
Persidangan di Senat, di mana Republik mendominiasi, akan menentukan apakah akan menghukum Trump atau melengserkannya dari kursi nomor satu Amerika Serikat.
Dikabarkan Reuters, tidak ada presiden dalam sejarah 243 tahun di Amerika Serikat yang dicopot dari jabatannya oleh pemakzulan.
Pasalnya, untuk mencopot presiden, butuh suara mayoritas dua pertiga dalam 100 anggota Senat. Hal itu berarti, setidaknya 20 anggota Partai Republik harus bergabung dengan Demokrat dalam pemungutan suara melawan Trump. Namun tidak ada yang mengindikasikan bahwa mereka akan melakukannya.
Senat dari Partai Republik, Mitch McConnell, telah memperkirakan bahwa tidak akan ada kesempatan bagi Republik untuk melengserkan Trump dalam persidangan Senat.
Pemakzulan sendiri merupakan "obat" yang dibuat oleh para pendiri Amerika Serikat, yang mewaspadai seorang raja di tanah Amerika setelah memisahkan diri dari Inggris dan Raja George III pada abad ke-18, untuk memungkinkan Kongres memindahkan seorang presiden yang telah melakukan kejahatan tinggi dan pelanggaran ringan.
Dalam sejarah Amerika Serikat, hanya ada dua presiden sebelumnya yang telah dimakzulkan. Pada tahun 1998, DPR pernah memakzulkan Presiden Bill Clinton atas tuduhan sumpah palsu dan menghalangi keadilan yang timbul dari hubungan seksual yang dia miliki dengan seorang pekerja magang Gedung Putih. Namun kemudian Senat membebasakannya.
Sebelumnya DPR juga pernah memakzulkan Presiden Andrew Johnson pada tahun 1868 dan berfokus pada pemindahannya dari sekretaris perang, tetapi dia dibebaskan dengan satu suara di Senat.
Pada tahun 1974, Presiden Richard Nixon hampir menghadapi nasib serupa. Namun dia mengundurkan diri setelah Komite Kehakiman DPR menyetujui pasal-pasal pemakzulan dalam skandal korupsi Watergate, tetapi sebelum Dewan penuh dapat melewatinya. [rmol]