GEJOLAK dunia Islam tidak henti-hentinya, begitu juga dengan umat Islam di berbagai belahan dunia terus mengalami diskriminasi dan penyiksaan. Di India Undang-undang “anti Muslim” dibuat untuk memarginalkan 200 juta Muslim India.
Di China di bawah bayang-bayang komunisme, muslim Uighur mendapatkan perlakuan menyedihkan. Quran dibakar, masjid ditutup, sekolah teologi Islam dan madrasah dilarang, cendekiawan dibunuh satu persatu. Namun dunia Islam masih diam dan diam atas penyiksaan keji itu.
Melihat kenyataan pahit yang menimpa umat Islam itu, seorang pesepakbola terkenal, Mezut Ozil menulis dengan keras. “Jika anda tidak dapat mencegah penganiyayaan, buatlah diketahui umum,” kata Ozil.
Keributan pun tak dapat dielakkan. China marah, berang, karena perilaku tidak manusiawinya terhadap 1 Juta Muslim Uighur kini diungkapkan di hadapan publik. Boikot terhadap Club tempat Pemain bola muslim itu diteriakkan di China.
Ormas-ormas Islam di Indonesia mendapatkan terpaan isu miring dengan diamnya terhadap kejahatan kemanusiaan di Uighur.
Laporan The Wall Street Journal mencengangkan. Ormas-ormas Islam telah menerima “uang diam” dari China. Bahkan secara frontal SWJ mengatakan bahwa ulama dan tokoh-tokoh Islam organisasi besar Indonesia telah menerima “uang diam” itu.
Tentu tuduhan itu menggemparkan jagat media Indonesia. Muhammadiyah dengan keras bereaksi dan mengatakan itu adalah Fitnah terhadap Ormas Islam. Muhammadiyah membantah. Maka mulailah suara tentang Uighur kembali mencuat di Indonesia. Muhammadiyah mengecam, Majelis Ulama Indonesia pun mengecam.
Tokoh-tokoh Islam seperti Prof. Din Syamsuddin mendesak pemerintah Indonesia untuk bebicara. Prof. Din pun mengkritik sikap pemerintah Indonesia yang memilih diam dan itu memperlihatkan betapa lemahnya Indonesia akan hal ini.
Di tengah keributan demi keributan, tuntutan demi tuntutan, pemerintah Indonesia masih belum bersuara sedikitpun. Beredarlah Statemen Prof. Salim Said kira-kira setahun yang lalu mempertanyakan sikap pemerintah indonesia yang tidak mau menerima Ulama Uighur yang ingin memberikan cedera mata, berupa Al-Quran yang ditulis Tangan. Jokowi menolak menerima tamu itu dengan mengatakan tidak enak dengan pemerintah China. “Apakah Indonesia dijajah China?” tanya Prof Salim.
Inilah sebenarnya yang sedang dihadapi indonesia, antara rasa tidak enak dan kemanusiaan yang harus diperjuangkan sebagaimana yang menjadi kewajiban konstitusional negara.
Pembukaan UUD 1945 memerintahkan bahwa negara Indonesia harus berjuang menghapuskan penjajahan di atas muka bumi, ikut terlibat dalam perdamaian dunia dengan berdasar pada ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adi dan Beradab. Perintah konstitusi itu sebenarnya adalah tujuan daripada Indonesia merdeka?
Namun kenapa Indonesia diam? Apa yang tengah membuat Indonesia sebagai negara muslim dengan populasi Muslim terbesar di Dunia memilih bungkam atas kejahatan kemanusiaan bahkan terhadap saudara sesama muslimnya? Apakah negara sudah tidak lagi berpihak kepada Islam dan kemanusiaan?
Tidak perlu menjadi Islam untuk melihat kejahatan kemanusiaan itu, cukup menjadi manusia saja. Karena sepanjang wilayah Turkistan Timur itu, yang dulu adalah satu negara Islam kini yang telah berada di bawah China tangisan dan rintihan menggema. Anak dipisahkan dari bapaknya, istri diambil dari suaminya, suami dibawa di hadapan istrinya, orang-orang kehilangan saudara-saudaranya. Mereka di tampung dalam camp konsentrasi.
Meski orang-orang mengatakan bahwa camp itu manusiawi, karena mereka mungkin mendapatkan “uang bicara” untuk membela China. Yang namanya Camp Konsentrasi itu tidak pernah ada kata manusiawi, karena namanya saja sudah menunjukkan satu keadaan masa perang dunia sati dan dua, dimana kamp konsentrasi merupakan tempat penyiksaan dan pembantaian.
Indonesia Harus Bersikap
Sekali lagi ini panggilan kemanusiaan, ini panggilan nurani kita, dan ini panggilan persaudaraan bagi muslim di Indonesia untuk membela kaum-kaum yang tertindas dan orang yang teraniyaya. Setidak sudah 30 negara yang mengecam tindakan persekusi China terhadap Uighur. Inggris dalam Sidang PBB meminta China membuka Kamp-kamp yang berada di Xianjiang.
Penganiayaan itu semakin kentara ketika media Amerika New York Times melaporkan dokumen bocor soal kamp penahanan etnis ini. Dalam dokumen itu Presiden China Xi Jinping memerintahkan pejabat untuk bertindak tanpa belas kasih terhadap warga Uighur yang minoritas muslim itu.
Perilaku Xi Jinping dan komunis China terhadap Muslim Uighur adalah pembantaian etnis dan pemusnahan etnis. Tentu ini melanggar hukum-hukum internasional. Maka sewajibnya Indonesia bersuara dalam soal ini.
Indonesia jangan hanya diam dan diam saja, karena ini sudah bertentangan dengan spirit internasionalisme yang di anut oleh Indonesia. Tidak boleh ada penjajahan di atas muka bumi, dalam bentuk apapun. Tidak dibenarkan oleh konstitusi manapun apalagi konstitusi Indonesia akan kejahatan yang menghancurkan nilai kemanusiaan seperti itu.
Maka dengan tulisan ini, saya mendorong pemerintah Indonesia untuk hadir dalam penderitaan muslim Uighur itu, sebab negara-negara Islam dan negara-negara dunia sudah berbicara. Apa yang menghalangi Indonesia untuk tidak berbicara? Jangan sampai ini menimbulkan dugaan-dugaan bahwa Indonesia sudah betekuk lutut dihadapan rezim komunis China itu.
PBB Perlu Membentuk Tim Investigasi Independen
Setidaknya sudah 30 Negara yang mengecam kejahatan rezim China terhadap Muslim Uighur. Negara-negara itu menyampaikan pernyataan di sela-sela rapat Majelis Umum PBB pada 26 September 2019. Tentu Perhatian Internasional sudah sangat mendukung untuk dibentuk tim Investigasi terhadap kejahatan kemanusiaan itu.
Karena itu, untuk menyelesaikan problem kemanusiaan tersebut, negara-negara Islam melalui OKI harus mendesak dan meminta PBB untuk segera membentuk tim Investigasi Independen guna menyelesaikan persoalan itu.
Tanpa tim investigasi, dalam ketertutupan media China, tentu masyarakat dunia tidak akan tahu secara menyeluruh tentang kejahatan kemanusiaan itu. Oleh karena itu, Peran PBB begitu sangat penting untuk menyelesaikan masalah ini.
Kita berharap dan berdoa, semoga kaum muslimin Uighur selalu diberikan kesabaran dan kekuatan, dan kita warga muslim di manapun berada, harus terus menyuarakan persoalan kemanusiaan ini, sehingga tidak ada lagi kejahatan kemanusiaan terhadap siapapun.
Wallahualam bis shawab.
Dr. Ahmad Yani, Sh., MH
Advokat, Dosen Hukum dan Fisip Universitas Muhammadiyah Jakarta
Di China di bawah bayang-bayang komunisme, muslim Uighur mendapatkan perlakuan menyedihkan. Quran dibakar, masjid ditutup, sekolah teologi Islam dan madrasah dilarang, cendekiawan dibunuh satu persatu. Namun dunia Islam masih diam dan diam atas penyiksaan keji itu.
Melihat kenyataan pahit yang menimpa umat Islam itu, seorang pesepakbola terkenal, Mezut Ozil menulis dengan keras. “Jika anda tidak dapat mencegah penganiyayaan, buatlah diketahui umum,” kata Ozil.
Keributan pun tak dapat dielakkan. China marah, berang, karena perilaku tidak manusiawinya terhadap 1 Juta Muslim Uighur kini diungkapkan di hadapan publik. Boikot terhadap Club tempat Pemain bola muslim itu diteriakkan di China.
Ormas-ormas Islam di Indonesia mendapatkan terpaan isu miring dengan diamnya terhadap kejahatan kemanusiaan di Uighur.
Laporan The Wall Street Journal mencengangkan. Ormas-ormas Islam telah menerima “uang diam” dari China. Bahkan secara frontal SWJ mengatakan bahwa ulama dan tokoh-tokoh Islam organisasi besar Indonesia telah menerima “uang diam” itu.
Tentu tuduhan itu menggemparkan jagat media Indonesia. Muhammadiyah dengan keras bereaksi dan mengatakan itu adalah Fitnah terhadap Ormas Islam. Muhammadiyah membantah. Maka mulailah suara tentang Uighur kembali mencuat di Indonesia. Muhammadiyah mengecam, Majelis Ulama Indonesia pun mengecam.
Tokoh-tokoh Islam seperti Prof. Din Syamsuddin mendesak pemerintah Indonesia untuk bebicara. Prof. Din pun mengkritik sikap pemerintah Indonesia yang memilih diam dan itu memperlihatkan betapa lemahnya Indonesia akan hal ini.
Di tengah keributan demi keributan, tuntutan demi tuntutan, pemerintah Indonesia masih belum bersuara sedikitpun. Beredarlah Statemen Prof. Salim Said kira-kira setahun yang lalu mempertanyakan sikap pemerintah indonesia yang tidak mau menerima Ulama Uighur yang ingin memberikan cedera mata, berupa Al-Quran yang ditulis Tangan. Jokowi menolak menerima tamu itu dengan mengatakan tidak enak dengan pemerintah China. “Apakah Indonesia dijajah China?” tanya Prof Salim.
Inilah sebenarnya yang sedang dihadapi indonesia, antara rasa tidak enak dan kemanusiaan yang harus diperjuangkan sebagaimana yang menjadi kewajiban konstitusional negara.
Pembukaan UUD 1945 memerintahkan bahwa negara Indonesia harus berjuang menghapuskan penjajahan di atas muka bumi, ikut terlibat dalam perdamaian dunia dengan berdasar pada ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adi dan Beradab. Perintah konstitusi itu sebenarnya adalah tujuan daripada Indonesia merdeka?
Namun kenapa Indonesia diam? Apa yang tengah membuat Indonesia sebagai negara muslim dengan populasi Muslim terbesar di Dunia memilih bungkam atas kejahatan kemanusiaan bahkan terhadap saudara sesama muslimnya? Apakah negara sudah tidak lagi berpihak kepada Islam dan kemanusiaan?
Tidak perlu menjadi Islam untuk melihat kejahatan kemanusiaan itu, cukup menjadi manusia saja. Karena sepanjang wilayah Turkistan Timur itu, yang dulu adalah satu negara Islam kini yang telah berada di bawah China tangisan dan rintihan menggema. Anak dipisahkan dari bapaknya, istri diambil dari suaminya, suami dibawa di hadapan istrinya, orang-orang kehilangan saudara-saudaranya. Mereka di tampung dalam camp konsentrasi.
Meski orang-orang mengatakan bahwa camp itu manusiawi, karena mereka mungkin mendapatkan “uang bicara” untuk membela China. Yang namanya Camp Konsentrasi itu tidak pernah ada kata manusiawi, karena namanya saja sudah menunjukkan satu keadaan masa perang dunia sati dan dua, dimana kamp konsentrasi merupakan tempat penyiksaan dan pembantaian.
Indonesia Harus Bersikap
Sekali lagi ini panggilan kemanusiaan, ini panggilan nurani kita, dan ini panggilan persaudaraan bagi muslim di Indonesia untuk membela kaum-kaum yang tertindas dan orang yang teraniyaya. Setidak sudah 30 negara yang mengecam tindakan persekusi China terhadap Uighur. Inggris dalam Sidang PBB meminta China membuka Kamp-kamp yang berada di Xianjiang.
Penganiayaan itu semakin kentara ketika media Amerika New York Times melaporkan dokumen bocor soal kamp penahanan etnis ini. Dalam dokumen itu Presiden China Xi Jinping memerintahkan pejabat untuk bertindak tanpa belas kasih terhadap warga Uighur yang minoritas muslim itu.
Perilaku Xi Jinping dan komunis China terhadap Muslim Uighur adalah pembantaian etnis dan pemusnahan etnis. Tentu ini melanggar hukum-hukum internasional. Maka sewajibnya Indonesia bersuara dalam soal ini.
Indonesia jangan hanya diam dan diam saja, karena ini sudah bertentangan dengan spirit internasionalisme yang di anut oleh Indonesia. Tidak boleh ada penjajahan di atas muka bumi, dalam bentuk apapun. Tidak dibenarkan oleh konstitusi manapun apalagi konstitusi Indonesia akan kejahatan yang menghancurkan nilai kemanusiaan seperti itu.
Maka dengan tulisan ini, saya mendorong pemerintah Indonesia untuk hadir dalam penderitaan muslim Uighur itu, sebab negara-negara Islam dan negara-negara dunia sudah berbicara. Apa yang menghalangi Indonesia untuk tidak berbicara? Jangan sampai ini menimbulkan dugaan-dugaan bahwa Indonesia sudah betekuk lutut dihadapan rezim komunis China itu.
PBB Perlu Membentuk Tim Investigasi Independen
Setidaknya sudah 30 Negara yang mengecam kejahatan rezim China terhadap Muslim Uighur. Negara-negara itu menyampaikan pernyataan di sela-sela rapat Majelis Umum PBB pada 26 September 2019. Tentu Perhatian Internasional sudah sangat mendukung untuk dibentuk tim Investigasi terhadap kejahatan kemanusiaan itu.
Karena itu, untuk menyelesaikan problem kemanusiaan tersebut, negara-negara Islam melalui OKI harus mendesak dan meminta PBB untuk segera membentuk tim Investigasi Independen guna menyelesaikan persoalan itu.
Tanpa tim investigasi, dalam ketertutupan media China, tentu masyarakat dunia tidak akan tahu secara menyeluruh tentang kejahatan kemanusiaan itu. Oleh karena itu, Peran PBB begitu sangat penting untuk menyelesaikan masalah ini.
Kita berharap dan berdoa, semoga kaum muslimin Uighur selalu diberikan kesabaran dan kekuatan, dan kita warga muslim di manapun berada, harus terus menyuarakan persoalan kemanusiaan ini, sehingga tidak ada lagi kejahatan kemanusiaan terhadap siapapun.
Wallahualam bis shawab.
Dr. Ahmad Yani, Sh., MH
Advokat, Dosen Hukum dan Fisip Universitas Muhammadiyah Jakarta