Politik Turun-temurun dalam Lingkaran Oligarki Jokowi

Ridhmedia
04/12/19, 05:16 WIB
RIDHMEDIA - Setelah menang dalam Pemilihan Presiden 2019, Presiden Joko Widodo memberikan jabatan politik ke sejumlah pendukungnya, baik di kementerian/lembaga pemerintah ataupun kabinet. Di balik sikap tersebut ada aroma oligarki: mereka yang diuntungkan karena hubungan orangtuanya dengan Jokowi dan masuk dalam politik turun-temurun atau hereditary politics.

Setidaknya ada tiga orang yang mendapat jabatan dalam pemerintahan Jokowi jilid II dan sebagian orang percaya hal itu lantaran kedekatan orangtuanya dengan sang presiden. Mereka adalah Angela Herliani Tanosoedibjo selaku Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta dua staf khusus Jokowi: Diaz Hendropriyono dan Putri Indahsari Tanjung.

Angela dan Putri adalah anak dari dua konglomerat di Indonesia, sedang Diaz adalah putra mantan Kepala Badan Intelijen Negara, A.M Hendropriyono. Sebelumnya sekjen Partai Perindo, Ahmad Rofiq, sudah lebih dulu menyebut nama Angela. Ia mengatakan Angela bisa jadi panutan anak muda karena tergolong muda, cerdas, dan cantik.

"Dari apa yang disampaikan Pak Jokowi, Perindo juga menyiapkan diri kalau diminta mengusulkan calon figurnya, yaitu Angela Herliani Tanoesoedibjo," kata Ahmad Rofiq, Selasa, (14/5/2019) seperti dikutip dari Liputan6.

Rekam jejak Angela lantas ramai diperbincangkan di media sosial. Sebelumnya dia menjabat sebagai Wakil Direktur Utama RCTI dan GTV. Sementara dalam kepartaian, dia menduduki kursi Wakil Sekjen Partai Perindo. Satu kesamaan dari tiga jabatan itu adalah ayah Angela menguasai semuanya.

Sebagian orang percaya, penunjukan Angela ini karena pengaruh ayahnya yang juga pendukung setia Jokowi dalam pilpres 2019.

“Memang dukungan di saat kampanye, saya kira bisa berelasi terhadap adanya jabatan politis di kementerian atau wamen itu. Saya kira itu tidak bisa kita nafikan begitu saja,” kata dosen Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, Jumat (25/10/2019) seperti dikutip Alinea.

Putri adalah anak dari Chariul Tanjung, pemimpin CT Corp. Dalam pilpres 2019, ayah Putri juga punya kedekatan dengan Jokowi. Dia tinggal satu langkah lagi menjadi ketua tim pemenangan Jokowi-Ma’ruf, sebelum akhirnya posisi itu mendarat pada Erick Thohir. Dalam kesempatan lain, CT juga direncanakan masuk dalam tim ekonomi Jokowi.

Kedekatan ayahnya dengan Jokowi inilah yang kemudian, menurut sebagian orang, memuluskan jalan Putri menjadi staf khusus.

Sedangkan ayah Diaz, A.M Hendropriyono, pernah jadi tim sukses Jokowi pada pilpres 2014 lalu. Kala itu Hendropriyono juga mendapat tawaran staf ahli dari Jokowi, tetapi menolak. Pada 2015, Diaz malah direkrut Jokowi menjadi staf khusus bidang sosial.

Sama seperti Putri dan Angela, menurut Ketua Pusat Studi Politik & Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran Muradi, kemungkinan pengangkatan itu karena Jokowi ingin menjaga hubungan baik dengan A.M Hendropriyono. Selain itu, bisa jadi penunjukan memang akomodatif semata sebagai balas budi terhadap ayah Diaz.

"Ini adalah bagian dari kompensasi politik semata yang tidak memperhatikan kualifikasi dan kepakaran sebagaimana yang dibutuhkan sebagian stafsus," kata Muradi seperti dikutip CNN.

Meski ada penilaian seperti itu dan kiprah Diaz tak jelas selama menjadi stafsus, kali ini dia kembali terpilih dengan jabatan serupa. Kala 2014, Diaz mendapat tugas khusus dari Jokowi yang tak pernah terungkap hingga sekarang. Mungkin tugasnya memang untuk menjaga hubungan baik antara ayahnya dan sang presiden.

Bertentangan dengan Semangat Demokrasi

Politik turun-temurun ini bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Di masa Orde Baru, Soeharto telah mempraktikannya lebih nyata dengan melibatkan anak-anaknya: Bambang Trihatmodjo dan Siti Hardijanti Hastuti (Tutut).

Bambang mengisi posisi bendahara Golkar tahun 1993 saat ayahnya masih menjabat presiden, sedangkan Tutut dipersiapkan untuk mempertahankan dinasti politik Soeharto. Skemanya adalah dia akan naik menggantikan Soeharto kelak. Pada pembentukan kabinet di Maret 1998, Soeharto sengaja menunjuk Tutut sebagai Menteri Sosial. Padahal belum satu dekade sang putri masuk berkancah di politik.

Sebelum Soeharto lengser pada 1998, Tutut juga menjabat ketua Fraksi Partai Golkar. Sejumlah pihak menafsirkan Tutut sedang digandeng untuk menggantikan sang ayah. Dalam buku The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi (2006), mantan ketua umum Partai Golkar, Akbar Tandjung, menyatakan:

"Tutut disebut-sebut diproyeksikan oleh Soeharto untuk menggantikan Harmoko [Menteri Penerangan kala itu] dan kemudian menjadi salah satu calon presiden ke depan."

Dalam praktik yang lebih sempit, politik turun-temurun memang biasanya terjadi pada kepemimpinan monarki atau aristokrasi, di mana satu kekuasaan diwariskan dari orang tua kepada anaknya. Bentuk pemerintahan ini mempermudah ahli waris mendapat sesuatu tanpa perlu berusaha.

“Selama berabad-abad, perekrutan elit sebenarnya dilakukan melalui keturunan, nepotisme, dan kekerasan, dan kata aristokrasi menggambarkan golongan elit yang mendapat jabatan secara turun-temurun,” tulis professor Aix-Marseille School Of Economics, Cecilia Garcia-Peñalosa dan ekonom dari Universitas Washington, Theo Eicher, dalam buku Institutions, Development, and Economic Growth (2006).

Akademisi Belanda, Mark Bovens dan peneliti Universitas Leiden, Anchrit Wille, dalam Diploma Democracy: The Rise of Political Meritocracy (2017) menulis: sistem pemerintahan demokrasi sebenarnya dibuat demi menentang sistem politik turun-temurun. Golongan bangsawan yang sudah tua mulai digantikan dengan mereka yang punya kemampuan dan berasal dari perguruan tinggi.

“Di negara demokrasi Barat dan Eropa, golongan bangsawan turun-temurun digantikan oleh kelompok elite terdidik selama abad ke-20,” catat Bovens dan Wille.

Dalam negara demokrasi, sistem pemilu dan penentuan suara oleh rakyat memang menjadi nomor satu dan inilah yang menghalangi praktik politik turun-temurun di Indonesia. Namun, pada beberapa hal, seperti pemilihan staf khusus, politik turun-temurun tak bisa dicegah.

Kondisi politik turun-temurun ini juga menjadi masalah di Amerika. Dalam artikel berjudul An Hereditary Meritocracy yang tayang di The Economist pada 2015, dijelaskan bagaimana kesulitan warga AS yang terlahir bukan dari golongan elite untuk keluar dari kelas bawah atau kelas pekerja, meski mereka punya talenta.

Meski ada aspek meritokrasi-–menempatkan seseorang sesuai kemampuannya--tapi itu tidak menghalangi praktik politik turun-temurun di AS yang telah bertransformasi menjadi lebih canggih. Kelompok elite tidak lagi asal menunjuk keturunan mereka, tapi sudah lebih dulu membekali anak-anaknya dengan pendidikan tinggi agar tampak meyakinkan.

“Lebih dari sebelumnya, kelompok elite Amerika memproduksi anak-anak yang tidak hanya bisa maju, tapi juga pantas mendapat jabatan itu: mereka memenuhi standar meritokrasi lebih daripada rekan-rekan mereka.”

Mereka mudah melakukan itu karena memiliki sumber daya utama: finansial.

Dampak dari Patronase

Pemberian jabatan terhadap Putri, Diaz, dan Angela memang tak lepas dari aktivitas orangtuanya sebagai pendukung Jokowi-–baik dari segi finansial atau dukungan pada saat pilpres 2019. Hal ini tak bisa dipisahkan, seperti kata Emrus Sihombing di atas, bahwa ada kemungkinan terjadi timbal-balik antara dukungan politik dengan pemberian jabatan.

Peneliti politik dari Universitas Nasional Australia Edward Aspinall dan Universitas Leiden, Ward Berenschot dalam Democracy for Sale: Pemilihan Umum, Klientelisme, dan Negara di Indonesia (2019) merujuk istilah patronase kepada apa saja yang disediakan politisi untuk memenangkan pemilihan umum: jual-beli suara. Tawaran yang diberikan politisi ini bisa bermacam-macam, dan menurut Aspinall-Berenschot, pemberian jabatan adalah salah satunya.

“Patronase bisa saja merentang dari sebuah penyediaan jabatan di pemerintahan hingga akses pada program bantuan perawatan kesehatan, pemberian uang tunai, hingga ke sebuah proyek pemasangan instalasi pipa air minum di sebuah desa, dari pemberian kontrak proyek di pemerintahan kepada para pegiat kampanye, hingga ke bantuan pemasangan kubah di sebuah masjid,” tulis Aspinall-Berenschot.

Akademisi Australia, Harold Crouch dalam bukunya berjudul The Army and Politics Indonesia (1979), pernah menggambarkan bahwa negara demokrasi terbesar ketiga dunia sebenarnya menganut sistem neo-patrimonialisme: sebuah sistem di mana kantor pemerintahan digunakan untuk keuntungan pribadi dan mengaburkan mana ruang pribadi dan mana ruang publik.

Meski tulisan Crouch sudah lama lewat, kondisi Indonesia sekarang dalam penentuan jabatan di pemerintahan, sebenarnya tak jauh berbeda dengan masa Orde Baru. Pada masa itu, militer yang mendukung Soeharto diberi keleluasan untuk menempati jabatan sipil. Crouch mencatat tindakan Soeharto “seperti penunjukan dalam negara patrimonial. Penunjukan militer di pos sipil yang berpotensi menguntungkan adalah imbalan atas kesetiaan mereka di masa lalu.”

Tidakkah hal itu terasa familiar pada minggu-minggu belakangan ini?
[tirt]
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+