Oleh: Vikhabie Yolanda Muslim
Milenial adalah generasi yang tumbuh berkembang di ruang dinamis teknologi informasi. Dunia milenial adalah dunia aktual dan terisi dengan beragam ide segar. Bagaimanapun juga, para milenial ini kelak yang akan menjadi penghubung dengan beberapa hal penting seperti pandangan keagamaan, ideologi, partisipasi politik, nilai-nilai sosial budaya, pendidikan, pekerjaan, serta penerus estafet kepemimpinan. Dan akhirnya berbagai pihak hingga pemerintah hari ini pun begitu giat menggandeng dan melibatkan peran serta kaum milenial dalam berbagai bidang, tak terkecuali dalam bidang politik.
Masih menghangat di ingatan kita tentang pengangkatan staf khusus presiden dari kalangan millenial yang memicu berbagai respon di tengah-tengah publik. Rilisnya beberapa nama dan figur yang terpilih menjadi staf khusus ini pun menuai pro dan kontra. Beberapa pihak ada pula yang menyoroti hal ini dari sisi pengalaman dan background, hingga sisi kedekatan dengan penguasa. Tentu saja dibalik hal tersebut tak luput pula dari terciumnya aroma politik turunan. Turunan yang seperti apa?.
Yang pertama yakni turunan lingkaran oligarki. Jika kita melihat beberapa nama mereka yang terpilih menjadi staf khusus pilihan, hal ini tak luput dari hubungan orang tuanya dengan latar belakang pengusaha yang dekat dengan penguasa hingga masuk ke dalam politik turun temurun alias hereditary politics. Politik turun temurun atau yang biasa digolongkan sebagai nepotisme merupakan hal yang biasa terjadi di sistem demokrasi. Ketika yang memiliki tampuk kekuasaan bisa dengan leluasa menggaet anggota keluarga ke dalam pemerintahan.
Yang kedua ialah politik turunan dalam menguatkan citra penguasa terhadap rakyat khususnya pada generasi milenial. Para staf khusus milenial tak ubahnya ornamen yang diharapkan dapat memperindah citra penguasa yang dikatakan dekat dengan generasi milenial. Padahal, yang dibutuhkan oleh para milenial di negeri ini bukan hanya sebatas citra, tapi perhatian dan periayahan penguasa secara menyeluruh.
Lalu yang ketiga, politik turunan untuk menutupi lingkaran oligarki di pemerintahan. Dengan masuk ke lingkaran istana, ruang inovatif itu sudah diamputasi, karena para stafsus milenial dituntut untuk bekerja dan mengabdi pada kepentingan penguasa yang cenderung condong pada pemilik modal. Lalu bagaimana bisa berinovatif dan kreatif jika sudah dibatasi?. Tak cukup hanya menancapkan kuku-kukunya pada kebijakan untuk ummat yang mencekik, kini penguasa berusaha menggandeng milenial untuk menyamarkan lingkaran oligarki tersebut. Hal inipun semakin memperkuat cengkeraman para oligarki yang bersiap mengisap kekayaan negeri.
Dan hal ini dalam sistem demokrasi merupakan sesuatu yang lumrah terjadi. Hal tersebut menunjukkan gagalnya partai politik sistem demokrasi dalam menjalankan fungsinya. Fungsi kaderisasi macet dan partai politik lebih suka menggelar jaring bagi pemburu kekuasaan berdompet tebal. Maka sistem ini akan terus berputar seperti itu hingga akhirnya pada suatu titik tercipta politik turunan yang tergelincir dalam pemerintahan dengan nafas kapitalisme hingga merambah kepada kaum milenial. Tentu saja dampaknya ibarat virus yang terus berkembang yang tak hanya menyerang dan menggerogoti sistem politik namun juga merusak masyarakat dan negara.
Hal ini sangat jauh berbeda dengan ketika sistem Islam diterapkan. Dalam buku Ensiklopedi Muhammad Sebagai Negarawan dijelaskan, Rasulullah SAW adalah seorang kepala negara. Beliau ada untuk rakyatnya sepanjang waktu. Meskipun tidak ada departemen-departeman, seluruh tata administrasi diselenggarakan secara efisien dan efektif. Instruksi diberikan kepada para gubernur, petugas pengumpul zakat, administrator, dan lainnya.
Keadilan ditata sedemikan rupa sehingga kesemuanya di selenggarakan dengan jujur dan tidak berpihak. Menelusuri jejak keteladanan Rasulullah, ada beberapa hal yang di tekankan oleh Rasulullah untuk membangun birokrasi kuat dengan aparatur negara yang andal dan kompeten. Beberapa tuntunan yang pernah diajarkan oleh Rasulullah antara lain:
Pertama, fit and proper test. Rasulullah melakukan tes dengan mengevaluasi standar pengetahuan dan keterampilan calon tersebut. Seperti yang dilakukan pada Mu’adz bin Jabal ketika hendak diutus ke Yaman. Rasulullah bertanya kepadanya, dengan apakah kelak ia akan mengambil keputusan menghadapi kasus-kasus yang memerlukan kepastian hukum. Mu’adz menjawab, keputusannya kelak akan merujuk pada Alquran dan hadits Rasulullah serta ijtihad.
Kedua, menyusun program kerja. Aparatur negara berkewajiban menyusun program kerja dengan target-target yang jelas. Pelayanan dan kepuasan warga negara menjadi prioritas utama. Hal ini mengingat, para aparatur negara tak lain dalam pandangan Islam ialah para abdi masyarakat.
Di samping itu, agar birokrasi dalam Islam terhindar dari oligarki, pemerintahan Islam menerapkan satu hukum dan undang-undang untuk satu negara. Hukum yang diadopsi oleh khalifah menjadi undang-undang berlaku sama untuk seluruh wilayah. Undang-undang tersebut meliputi hukum syariah (ahkam syar’iyyah) dan hukum administratif (ahkam ijra’iyyah).
Jika hukum tersebut telah diundangkan, maka seluruh rakyat negara Khilafah di wilayah mana pun mereka berada, wajib menaati hukum yang berlaku. Mereka mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum. Tidak ada hak istimewa, baik bagi Khalifah maupun pejabat yang lainnya. Semuanya akan diperlakukan sama yakni sebagai warga negara.
Dalam Khilafah, akan ada biro-biro yang dikepalai oleh ahli di bidangnya, serta memiliki sifat amanah, ikhlas, bertakwa kepada Allah, dan cakap.
Inilah cara Islam menyusun birokrasinya hingga dapat menghindari politik turunan khususnya politik oligarki. Mengharapkan sistem yang baik dan benar maka hanya akan didapatkan ketika sistem Islam diterapkan. Sederhana dalam birokrasinya dan ditempati oleh para ahli yang amanah serta bertakwa. []
Milenial adalah generasi yang tumbuh berkembang di ruang dinamis teknologi informasi. Dunia milenial adalah dunia aktual dan terisi dengan beragam ide segar. Bagaimanapun juga, para milenial ini kelak yang akan menjadi penghubung dengan beberapa hal penting seperti pandangan keagamaan, ideologi, partisipasi politik, nilai-nilai sosial budaya, pendidikan, pekerjaan, serta penerus estafet kepemimpinan. Dan akhirnya berbagai pihak hingga pemerintah hari ini pun begitu giat menggandeng dan melibatkan peran serta kaum milenial dalam berbagai bidang, tak terkecuali dalam bidang politik.
Masih menghangat di ingatan kita tentang pengangkatan staf khusus presiden dari kalangan millenial yang memicu berbagai respon di tengah-tengah publik. Rilisnya beberapa nama dan figur yang terpilih menjadi staf khusus ini pun menuai pro dan kontra. Beberapa pihak ada pula yang menyoroti hal ini dari sisi pengalaman dan background, hingga sisi kedekatan dengan penguasa. Tentu saja dibalik hal tersebut tak luput pula dari terciumnya aroma politik turunan. Turunan yang seperti apa?.
Yang pertama yakni turunan lingkaran oligarki. Jika kita melihat beberapa nama mereka yang terpilih menjadi staf khusus pilihan, hal ini tak luput dari hubungan orang tuanya dengan latar belakang pengusaha yang dekat dengan penguasa hingga masuk ke dalam politik turun temurun alias hereditary politics. Politik turun temurun atau yang biasa digolongkan sebagai nepotisme merupakan hal yang biasa terjadi di sistem demokrasi. Ketika yang memiliki tampuk kekuasaan bisa dengan leluasa menggaet anggota keluarga ke dalam pemerintahan.
Yang kedua ialah politik turunan dalam menguatkan citra penguasa terhadap rakyat khususnya pada generasi milenial. Para staf khusus milenial tak ubahnya ornamen yang diharapkan dapat memperindah citra penguasa yang dikatakan dekat dengan generasi milenial. Padahal, yang dibutuhkan oleh para milenial di negeri ini bukan hanya sebatas citra, tapi perhatian dan periayahan penguasa secara menyeluruh.
Lalu yang ketiga, politik turunan untuk menutupi lingkaran oligarki di pemerintahan. Dengan masuk ke lingkaran istana, ruang inovatif itu sudah diamputasi, karena para stafsus milenial dituntut untuk bekerja dan mengabdi pada kepentingan penguasa yang cenderung condong pada pemilik modal. Lalu bagaimana bisa berinovatif dan kreatif jika sudah dibatasi?. Tak cukup hanya menancapkan kuku-kukunya pada kebijakan untuk ummat yang mencekik, kini penguasa berusaha menggandeng milenial untuk menyamarkan lingkaran oligarki tersebut. Hal inipun semakin memperkuat cengkeraman para oligarki yang bersiap mengisap kekayaan negeri.
Dan hal ini dalam sistem demokrasi merupakan sesuatu yang lumrah terjadi. Hal tersebut menunjukkan gagalnya partai politik sistem demokrasi dalam menjalankan fungsinya. Fungsi kaderisasi macet dan partai politik lebih suka menggelar jaring bagi pemburu kekuasaan berdompet tebal. Maka sistem ini akan terus berputar seperti itu hingga akhirnya pada suatu titik tercipta politik turunan yang tergelincir dalam pemerintahan dengan nafas kapitalisme hingga merambah kepada kaum milenial. Tentu saja dampaknya ibarat virus yang terus berkembang yang tak hanya menyerang dan menggerogoti sistem politik namun juga merusak masyarakat dan negara.
Hal ini sangat jauh berbeda dengan ketika sistem Islam diterapkan. Dalam buku Ensiklopedi Muhammad Sebagai Negarawan dijelaskan, Rasulullah SAW adalah seorang kepala negara. Beliau ada untuk rakyatnya sepanjang waktu. Meskipun tidak ada departemen-departeman, seluruh tata administrasi diselenggarakan secara efisien dan efektif. Instruksi diberikan kepada para gubernur, petugas pengumpul zakat, administrator, dan lainnya.
Keadilan ditata sedemikan rupa sehingga kesemuanya di selenggarakan dengan jujur dan tidak berpihak. Menelusuri jejak keteladanan Rasulullah, ada beberapa hal yang di tekankan oleh Rasulullah untuk membangun birokrasi kuat dengan aparatur negara yang andal dan kompeten. Beberapa tuntunan yang pernah diajarkan oleh Rasulullah antara lain:
Pertama, fit and proper test. Rasulullah melakukan tes dengan mengevaluasi standar pengetahuan dan keterampilan calon tersebut. Seperti yang dilakukan pada Mu’adz bin Jabal ketika hendak diutus ke Yaman. Rasulullah bertanya kepadanya, dengan apakah kelak ia akan mengambil keputusan menghadapi kasus-kasus yang memerlukan kepastian hukum. Mu’adz menjawab, keputusannya kelak akan merujuk pada Alquran dan hadits Rasulullah serta ijtihad.
Kedua, menyusun program kerja. Aparatur negara berkewajiban menyusun program kerja dengan target-target yang jelas. Pelayanan dan kepuasan warga negara menjadi prioritas utama. Hal ini mengingat, para aparatur negara tak lain dalam pandangan Islam ialah para abdi masyarakat.
Di samping itu, agar birokrasi dalam Islam terhindar dari oligarki, pemerintahan Islam menerapkan satu hukum dan undang-undang untuk satu negara. Hukum yang diadopsi oleh khalifah menjadi undang-undang berlaku sama untuk seluruh wilayah. Undang-undang tersebut meliputi hukum syariah (ahkam syar’iyyah) dan hukum administratif (ahkam ijra’iyyah).
Jika hukum tersebut telah diundangkan, maka seluruh rakyat negara Khilafah di wilayah mana pun mereka berada, wajib menaati hukum yang berlaku. Mereka mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum. Tidak ada hak istimewa, baik bagi Khalifah maupun pejabat yang lainnya. Semuanya akan diperlakukan sama yakni sebagai warga negara.
Dalam Khilafah, akan ada biro-biro yang dikepalai oleh ahli di bidangnya, serta memiliki sifat amanah, ikhlas, bertakwa kepada Allah, dan cakap.
Inilah cara Islam menyusun birokrasinya hingga dapat menghindari politik turunan khususnya politik oligarki. Mengharapkan sistem yang baik dan benar maka hanya akan didapatkan ketika sistem Islam diterapkan. Sederhana dalam birokrasinya dan ditempati oleh para ahli yang amanah serta bertakwa. []