Oleh: Dr. Mohammad Nasih*
KEPADA bermacam pandangan kritis Rocky Gerung terhadap rezim Jokowi, saya sepakat. Kritik-kritik RG memang didasarkan kepada argumen filosofis yang kuat, sehingga kritiknya sangat telak dan banyak lawan debatnya nggak berkutik.
Ibarat bermain catur, mereka kena skak mat. Juga kritiknya yang sampai menyebut kalau Jokowi nggak mengerti Pancasila.
Namun, dalam hal pemahaman hubungan antara pasal pertama dengan pasal kedua, kali ini saya nggak sependapat dengan Rocky Gerung. Menurut saya, kali ini, RG mengalami gagal mengerti yang cukup fatal sebab menganggap kalau antara sila ke-1 dengan sika ke-2 bertentangan.
RG berpandangan kalau kemanusiaan dalam sila ke-2 yaitu humanisme. Dan humanisme adalah antitesa dari mengerti ketuhanan.
Pandangan Rocky Gerung tersebut sebab perspektif dengan rujukan sejarah yang murni Barat, Eropa. Sebagaimana dilansir oleh Tempo, RG mengatakan: “Humanisme itu yaitu kritik terhadap teokrasi. Sila pertama sebenarnya teokrasi. Di Eropa, abad ke-15 pendapat publik dikuasai oleh gereja. Maka, berlaku prinsip kalau Kalian nggak direstui langit, Kalian berdosa. Humanisme nggak perlu begitu. Aku berbuat baik, nggak perlu cari pahala ke surga. Jadi sila kedua sebetulnya yaitu kritik terhadap sila pertama.”
Pancasila sesungguhnya lebih adalah saripati ajaran-ajaran Islam. apabila ada yang agak dipaksakan dengan nilai, itu barangkali cuma sila ke-3, Persatuan Indonesia. Ketuhanan, kemanusiaan, kerakyatan, dan keadilan sosial, semuanya adalah ajaran yang sangat jelas, yang bisa ditemukan di dalam sumber utama ajaran Islam; al-Quran dan/atau hadits. Namun, persatuan sesungguhnya juga semangat Islam.
Hanya saja, semangat itu nggak dibatasi oleh kebangsaan, melainkan persatuan ummat secara keseluruhan. Namun, dalam konteks tertentu, dalam sejarah awal Islam, juga bisa ditemukan semacam nasionalisme yang dibangun oleh Nabi di Madinah bersama dengan entitas politik non-umat Islam yang berjumlah jamak, buat menghadapi musuh-musuh Madinah. Hanya saja, ternyata terdapat kalangan dalam, terutama Yahudi yang kemudian justru berkomplot dengan musuh.
Dalam konteks nasionalisme, Indonesia juga membangun konsepsi sendiri yang karakternya nggak sekuler. Nasionalisme Barat, dikonstruksi sebagai antitesis atas teokrasi, dalam konteks ketika itu yaitu religio integralisme Catholic. Karena penyatuan antara gereja dan negara dianggap telah menyebabkan penyelewengan kekuasaan, maka muncul tuntutan, agar negara nggak didasarkan atas agama. Negara perlu dipisahkan dengan gereja (baca: agama) dan ia kemudian didasarkan kepada kebangsaan. Dari sinilah muncul konsepsi nasionalisme dengan karakter sekuler, sebab ia berjalan dengan sekularisme.
Namun, Indonesia didesain dengan perspektif kalau sekularisme tidaklah jiwa bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia yaitu rakyat yang membutuhkan agama dalam seluruh aspek kehidupannya. Karena itulah, konsepsi nasionalisme Indonesia disesain dengan basis ketuhanan, dengan dasar Pancasila yang sila pertamanya yaitu ketuhanan yang maha esa itu. Aku menyebut nasionalisme dengan dasar Pancasila ini sebagai nasionalisme religius.
Lebih lanjut, pengaruh perspektif Islam dalam sila-sila Pancasila sangat kentara, sebab awalnya bahkan menyebut kata Islam, dalam sila ke-1 sebelum diubah, yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”.
Namun, sebab ada klaim keberatan dari golongan tertentu, maka kemudian diubah menjadi sebagaimana sekarang, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Namun, ini pun sesungguhnya adalah konsepsi teologis yang perlu diakui lebih khas dengan Islam, sebab nggak mengalami masalah sama sekali dengan doktrin kalau Allah yaitu esa, nggak beranak dan nggak diperanakkan, dan juga nggak ada yang menyamaiNya sebagaimana lengkap dan sekaligus ringkas konsepsinya dalam QS. al-Ikhlash.
Dalam doktrin Islam, ketuhanan sama sekali nggak bertentangan dengan kemanusiaan. Apalagi di dalam sila ke-2 ditegaskan tentang kemanusiaan yang dimaksudkan, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab. Justru yang ada pada sila ke-2 itu adalah kedalaman konsepsi Islam.
Adil yang ada di dalam sila ke-2 bahkan bisa diinterpretasikan juga dalam konteks menempatkan sesuatu pada tempatnya sesuai dengan perspektif yang digariskan oleh kitab suci yang benar. Karena kemanusiaan yang dimaksud yaitu kemanusiaan yang justru perlu didasarkan kepada ketuhanan.
Di dalam Islam, segala macam kebaikan, termasuk terutama kebaikan kepada manusia lain, perlu tetap diorientasikan atau diniatkan sebab Allah. Karena itulah Islam menekankan hubungan yang baik dengan Allah dan sekaligus juga kepada sesama manusia. Kedua hubungan yang baik itu dipandang bakal menghindarkan manusia dari kehinaan.
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. … (Ali Imran: 112).
Perbedaan mencolok antara Islam dan humanisme di sini adalah: yang pertama mengharuskan kebaikan itu didasarkan niat sebab Allah; sedangkan yang kedua nggak memedulikan kepada dimensi niat sama sekali. apabila Islam melarang perbuatan baik yang diorientasikan buat riya, sumah, dan lainnya yang bervisi duniawi, humanisme sama sekali nggak mempunyai padangan itu.
Tentang pentingnya niat ini, ada sebuah hadits yang sangat terkenal, yang menggambarkan tentang perbuatan yang sama, namun nilainya berbeda. Nabi Muhammad bersabda: “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang cuma mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya sebab dunia atau sebab wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari Muslim)
Dengan memahami perspektif tersebut secara utuh, maka antara ketuhanan dalam sila ke-1 dan kemanusiaan dengan adjektif adil dan beradab dalam sila ke-2, sama sekali nggak bertentangan. Bahkan keduanya bagaikan dua sisi dari sekeping mata uang yang jika salah satunya nggak ada, maka sama dengan ketiadaan keduanya. Dan nggak sedikit pemikir Islam yang bersepakat kalau tanpa sila ke-1, sila-sila yang lain dalam Pancasila bernilai 0. Wallahu alam bi al-shawab.
Ibarat bermain catur, mereka kena skak mat. Juga kritiknya yang sampai menyebut kalau Jokowi nggak mengerti Pancasila.
Namun, dalam hal pemahaman hubungan antara pasal pertama dengan pasal kedua, kali ini saya nggak sependapat dengan Rocky Gerung. Menurut saya, kali ini, RG mengalami gagal mengerti yang cukup fatal sebab menganggap kalau antara sila ke-1 dengan sika ke-2 bertentangan.
RG berpandangan kalau kemanusiaan dalam sila ke-2 yaitu humanisme. Dan humanisme adalah antitesa dari mengerti ketuhanan.
Pandangan Rocky Gerung tersebut sebab perspektif dengan rujukan sejarah yang murni Barat, Eropa. Sebagaimana dilansir oleh Tempo, RG mengatakan: “Humanisme itu yaitu kritik terhadap teokrasi. Sila pertama sebenarnya teokrasi. Di Eropa, abad ke-15 pendapat publik dikuasai oleh gereja. Maka, berlaku prinsip kalau Kalian nggak direstui langit, Kalian berdosa. Humanisme nggak perlu begitu. Aku berbuat baik, nggak perlu cari pahala ke surga. Jadi sila kedua sebetulnya yaitu kritik terhadap sila pertama.”
Pancasila sesungguhnya lebih adalah saripati ajaran-ajaran Islam. apabila ada yang agak dipaksakan dengan nilai, itu barangkali cuma sila ke-3, Persatuan Indonesia. Ketuhanan, kemanusiaan, kerakyatan, dan keadilan sosial, semuanya adalah ajaran yang sangat jelas, yang bisa ditemukan di dalam sumber utama ajaran Islam; al-Quran dan/atau hadits. Namun, persatuan sesungguhnya juga semangat Islam.
Hanya saja, semangat itu nggak dibatasi oleh kebangsaan, melainkan persatuan ummat secara keseluruhan. Namun, dalam konteks tertentu, dalam sejarah awal Islam, juga bisa ditemukan semacam nasionalisme yang dibangun oleh Nabi di Madinah bersama dengan entitas politik non-umat Islam yang berjumlah jamak, buat menghadapi musuh-musuh Madinah. Hanya saja, ternyata terdapat kalangan dalam, terutama Yahudi yang kemudian justru berkomplot dengan musuh.
Dalam konteks nasionalisme, Indonesia juga membangun konsepsi sendiri yang karakternya nggak sekuler. Nasionalisme Barat, dikonstruksi sebagai antitesis atas teokrasi, dalam konteks ketika itu yaitu religio integralisme Catholic. Karena penyatuan antara gereja dan negara dianggap telah menyebabkan penyelewengan kekuasaan, maka muncul tuntutan, agar negara nggak didasarkan atas agama. Negara perlu dipisahkan dengan gereja (baca: agama) dan ia kemudian didasarkan kepada kebangsaan. Dari sinilah muncul konsepsi nasionalisme dengan karakter sekuler, sebab ia berjalan dengan sekularisme.
Namun, Indonesia didesain dengan perspektif kalau sekularisme tidaklah jiwa bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia yaitu rakyat yang membutuhkan agama dalam seluruh aspek kehidupannya. Karena itulah, konsepsi nasionalisme Indonesia disesain dengan basis ketuhanan, dengan dasar Pancasila yang sila pertamanya yaitu ketuhanan yang maha esa itu. Aku menyebut nasionalisme dengan dasar Pancasila ini sebagai nasionalisme religius.
Lebih lanjut, pengaruh perspektif Islam dalam sila-sila Pancasila sangat kentara, sebab awalnya bahkan menyebut kata Islam, dalam sila ke-1 sebelum diubah, yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”.
Namun, sebab ada klaim keberatan dari golongan tertentu, maka kemudian diubah menjadi sebagaimana sekarang, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Namun, ini pun sesungguhnya adalah konsepsi teologis yang perlu diakui lebih khas dengan Islam, sebab nggak mengalami masalah sama sekali dengan doktrin kalau Allah yaitu esa, nggak beranak dan nggak diperanakkan, dan juga nggak ada yang menyamaiNya sebagaimana lengkap dan sekaligus ringkas konsepsinya dalam QS. al-Ikhlash.
Dalam doktrin Islam, ketuhanan sama sekali nggak bertentangan dengan kemanusiaan. Apalagi di dalam sila ke-2 ditegaskan tentang kemanusiaan yang dimaksudkan, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab. Justru yang ada pada sila ke-2 itu adalah kedalaman konsepsi Islam.
Adil yang ada di dalam sila ke-2 bahkan bisa diinterpretasikan juga dalam konteks menempatkan sesuatu pada tempatnya sesuai dengan perspektif yang digariskan oleh kitab suci yang benar. Karena kemanusiaan yang dimaksud yaitu kemanusiaan yang justru perlu didasarkan kepada ketuhanan.
Di dalam Islam, segala macam kebaikan, termasuk terutama kebaikan kepada manusia lain, perlu tetap diorientasikan atau diniatkan sebab Allah. Karena itulah Islam menekankan hubungan yang baik dengan Allah dan sekaligus juga kepada sesama manusia. Kedua hubungan yang baik itu dipandang bakal menghindarkan manusia dari kehinaan.
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. … (Ali Imran: 112).
Perbedaan mencolok antara Islam dan humanisme di sini adalah: yang pertama mengharuskan kebaikan itu didasarkan niat sebab Allah; sedangkan yang kedua nggak memedulikan kepada dimensi niat sama sekali. apabila Islam melarang perbuatan baik yang diorientasikan buat riya, sumah, dan lainnya yang bervisi duniawi, humanisme sama sekali nggak mempunyai padangan itu.
Tentang pentingnya niat ini, ada sebuah hadits yang sangat terkenal, yang menggambarkan tentang perbuatan yang sama, namun nilainya berbeda. Nabi Muhammad bersabda: “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang cuma mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya sebab dunia atau sebab wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari Muslim)
Dengan memahami perspektif tersebut secara utuh, maka antara ketuhanan dalam sila ke-1 dan kemanusiaan dengan adjektif adil dan beradab dalam sila ke-2, sama sekali nggak bertentangan. Bahkan keduanya bagaikan dua sisi dari sekeping mata uang yang jika salah satunya nggak ada, maka sama dengan ketiadaan keduanya. Dan nggak sedikit pemikir Islam yang bersepakat kalau tanpa sila ke-1, sila-sila yang lain dalam Pancasila bernilai 0. Wallahu alam bi al-shawab.
*) Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, pengasuh Rumah Perkaderan Monash Institute Semarang.