Oleh: Nasrudin Joha
Rezim Jokowi ini memang kebangetan, dia yang makan nangka, SBY yang kena getahnya. Setidaknya, hal itu terbaca dari keterangan kementrian BUMN yang menarik kronologi bangkrutnya Jiwasraya sejak tahun 2006.
Wajar jika SBY berang, melalui Staf Pribadi SBY Ossy Dermawan, SBY mengungkapkan menerima sejumlah tamu dan ketika itu ada yang menyampaikan bahwa kasus Jiwasraya mau ditarik mundur ke tahun 2006.
SBY menyebut jika di negeri ini tak satupun yang mau bertanggung jawab tentang kasus Jiwasraya, salahkan saja masa lalu. Namun SBY cukup cerdik, selain mempersilakan mengusut masa lalu SBY juga menarik Sri Mulyani, Yusuf Kalla, dan pejabat lain saat membantu SBY sebagai pihak yang turut terlibat.
Ini seperti saling mengunci, rezim Jokowi mengunci kasus dengan menarik SBY, SBY mengunci kasus dengan menarik JK dan SMI, begitu seterusnya. Ujung-ujungnya nanti rakyat jadi korban, diminta "tombok" untuk mengganti pembayaran klaim nasabah yang jatuh tempo.
Skenario ini sudah disiapkan oleh Erick Tohir, dengan membuat holding BUMN asuransi. Kelak, holding ini yang menanggung beban pembayaran klaim yang jatuh tempo, kalau kurang tinggal usulkan penambahan Penyertaan Modal Negara (PMN).
Jadi, tujuan rezim menarik SBY ke pusara kasus Jiwasraya bukan untuk membuang kasus dan memenjarakan SBY, tapi untuk bernego agar anak buah SBY tidak "ribut". Selama ini, geng Demokrat memang cukup "cerewet" mengkritik kasus jiwasraya.
Tujuan rezim adalah agar SBY bisa berkompromi, mau bernego dan menerima solusi holding BUMN asuransi, sekaligus agar SBY "menyemprit" kader Demokrat, agar tak lagi "galak" dalam kasus jiwasraya.
Kita lihat lah kalau satu dua hari Kedepan Andi Arif, Jansen Sitendaon, Ferdinan Hutahaean tiarap, mulai menutup mulut dari diskusi jiwasraya, berarti negosiasi berhasil. Selanjutnya, tinggal mengkondisikan fraksi Demokrat di DPR untuk meloloskan skema holding BUMN asuransi dan skenario penambahan PMN.
Hal ini juga berlaku bagi partai yang lain yang berani buka suara nyaring terkait jiwasraya. Bagi partai yang bungkam, kemungkinan telah membuat kesepakatan politik dengan rezim dan telah mengajukan "mahar" sebagai syarat negosiasi. Atau mereka memang pelaku yang terlibat dalam skandal perampokan jiwasraya.
Kasus ini ujungnya akan antiklimaks, persis seperti Century dan BLBI. Semua rezim punya borok, saya pesimis mereka berani "bongkar-bongkaran".
Untuk meng-close kasus, Kejagung sedang memilah dan memilih kasus mau dihentikan kepada siapa. Strategi lokalisir dan isolasi sedang dijalankan.
Wahai rakyat negeriku, betapa malang nian nasibmu. Para penguasa di negeri ini, ramai-ramai merampok harta rakyat, kemudian membebankan kerugian kembali kepada rakyat. (*)