RIDHMEDIA - Aturan Cipta Lapangan Kerja dan Investasi yang tengah digodok Presiden Joko Widodo dikritik Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), khususnya terkait pengaturan upah buruh.
Wacana pengaturan upah buruh yang bakal tercantum di dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dianggap merugikan. Sebab skemanya akan berubah dari yang awalnya seorang pekerja dibayar per bulan, direncanakan dalam aturan itu menjadi per jam.
Aturan ini ditolak keras oleh serikat buruh Indonesia karena dianggap bakal menggangu hajat hidup orang banyak dan melemahkan perekonomian di dalam negeri dari segi konsumsi masyarakat.
"Persoalan upah itu adalam persoalan penting. Karena upah itu kan satu instrumen untuk mengukur daya beli masyarakat. Fakta menjelaskan, pertumbuhan ekonomi tidak tercapai, salah satunya adalah problemnya angka konsumsi lemah," ujar Iqbal dalam jumpa pers di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Sabtu (28/12).
Ia mengatakan, nilai konsumsi masyarakat di era Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jauh lebih baik jika dibandingkan era pemerintahan Jokowi di periode pertama.
"Konsumsi di pemerintahan Pak SBY itu 56 persen konsumsi itu menyumbang pertumbuhan ekonomi. Tapi di periode pertama Pak Jokowi turun di bawah 56 persen," kata Iqbal.
"Sehingga mengakibatkan pertumbuhan ekonomi enggak tercapai," sambung Iqbal.
Fakta pertumbuhan ekonomi yang tidak tercapai itu, dikatakan Iqbal, coba digenjot pemerintah dari investasi. Namun sayang, hal itu juga tidak mendukung pertumbuhan ekonomi RI di atas 5,0 persen.
"Tidak beranjak dari target, bahkan tidak sesuai dengan target. Misalkan target 5,1 persen, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 5,0 sekian persen," sebut Iqbal.
Dengan demikian, Iqbal meminta presiden untuk mawas diri dengan proses Legal Drafting Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang bakal dilakukan Satuan Tugas (Satgas), dimana isinya merupakan para pengusaha.
Terkhusus perubahan upah buruh yang juga akan masuk dan diatur di aturan tersebut.
"Dengan demikian, pesan dari kaum buruh buat pemerintahan Jokowi, jangan memberikan karpet merah yang berlebihan kepada pengusaha," tegas Iqbal. [rmo]
Wacana pengaturan upah buruh yang bakal tercantum di dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dianggap merugikan. Sebab skemanya akan berubah dari yang awalnya seorang pekerja dibayar per bulan, direncanakan dalam aturan itu menjadi per jam.
Aturan ini ditolak keras oleh serikat buruh Indonesia karena dianggap bakal menggangu hajat hidup orang banyak dan melemahkan perekonomian di dalam negeri dari segi konsumsi masyarakat.
"Persoalan upah itu adalam persoalan penting. Karena upah itu kan satu instrumen untuk mengukur daya beli masyarakat. Fakta menjelaskan, pertumbuhan ekonomi tidak tercapai, salah satunya adalah problemnya angka konsumsi lemah," ujar Iqbal dalam jumpa pers di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Sabtu (28/12).
Ia mengatakan, nilai konsumsi masyarakat di era Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jauh lebih baik jika dibandingkan era pemerintahan Jokowi di periode pertama.
"Konsumsi di pemerintahan Pak SBY itu 56 persen konsumsi itu menyumbang pertumbuhan ekonomi. Tapi di periode pertama Pak Jokowi turun di bawah 56 persen," kata Iqbal.
"Sehingga mengakibatkan pertumbuhan ekonomi enggak tercapai," sambung Iqbal.
Fakta pertumbuhan ekonomi yang tidak tercapai itu, dikatakan Iqbal, coba digenjot pemerintah dari investasi. Namun sayang, hal itu juga tidak mendukung pertumbuhan ekonomi RI di atas 5,0 persen.
"Tidak beranjak dari target, bahkan tidak sesuai dengan target. Misalkan target 5,1 persen, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 5,0 sekian persen," sebut Iqbal.
Dengan demikian, Iqbal meminta presiden untuk mawas diri dengan proses Legal Drafting Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang bakal dilakukan Satuan Tugas (Satgas), dimana isinya merupakan para pengusaha.
Terkhusus perubahan upah buruh yang juga akan masuk dan diatur di aturan tersebut.
"Dengan demikian, pesan dari kaum buruh buat pemerintahan Jokowi, jangan memberikan karpet merah yang berlebihan kepada pengusaha," tegas Iqbal. [rmo]