Oleh:Rizal Bawazier
DALAM Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2019, Pemerintah Provinsi DKI dan DPRD DKI Jakarta menetapkan anggaran pendapatan daerah sebesar Rp 74,77 triliun.
Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 51,12 triliun direncanakan berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) Rp 21,3 triliun dari dana perimbangan dan Rp 2,34 triliun dari pendapatan daerah lainnya yang sah.
Dalam beberapa hari ini kita juga mendengar penerimaan pajak nasional tahun 2019 diperkirakan akan mengalami “shortfall”/kekurangan yang cukup tinggi sampai 31 Desember 2019.
Pertanyaan yang sering kita dengar “siapa yang rela bayar pajak? Tetapi kenapa kalau bayar zakat atau sumbangan ke tempat ibadah pada rela”.
Pajak masih dianggap seperti upeti pada zaman penjajahan, karena memang pajak bersifat paksaan. Tetapi saat ini wajib pajak sudah pada pintar dalam menghitung pajaknya, tetapi mengapa petugas pajak masih memaksakan atau mengenakan pajak yang tidak disetujui oleh wajib pajak.
Akhirnya, wajib pajak mengajukan keberatan dan banding atau dengan kata lain ketetaoan pajak yang diterimanya tidak sesuai dengan perhitungan mereka.
Bagaimana cara membuat kantor Pengadilan Pajak sepi? Maksudnya sedikit yang mengajukan banding. Kalau kantor Pengadilan Pajak sepi, itu namanya bagus buat pemerintah. Rela bayar pajak, itulah jawabannya.
Penerimaan pajak pusat atau daerah tidak lebih dari kerelaan sekaligus paksaan yang harus ditanggung wajib pajak. Sebagian besar pajak daerah DKI Jakarta bersumber dari pajak-pajak daerah karena DKI Jakarta tidak punya lahan pertambangan atau perkebunan.
Kerelaan membayar pajak dari 2 hingga 3 wajib pajak lebih baik dari 10 wajib pajak, tapi mereka mengajukan keberatan atau banding. Wajib pajak yang mengajukan keberatan dan banding tidak wajib bayar pajaknya sampai sengketa selesai.
Wajib pajak masih berpikir mengapa harus tanggung jawab atas kenikmatan hasil pembangunan bagi semua orang, apalagi jika dikenakan sanksi atau denda, itu uang hilang bagi wajib pajak.
Yang harus diganti itu bukan UU-nya, walaupun diganti beberapa kalipun aturan UU-nya pasti akan sama hasilnya, apakah pemerintah tidak melihat itu sebagai pengalaman.
Bukan dengan cara menaikkan gaji petugas pajak sebesar-besarnya, “tidak ada pengaruhnya”, toh ada istilah makin tinggi penghasilan maka makin tinggi juga pengeluarannya.
Bukan dengan ancaman akan ditahan atau “gijzeling” bagi penunggak pajak. Bukan dengan cara menempel tanda penunggak pajak pada mobil-mobil mewah yang baru-baru ini kita dengar di media-media.
Bukan juga dengan ketetapan pajak yang tinggi (yang ujung-unjungnya diajukan keberatan dan banding). Tetapi bagaimana membuat wajib pajak rela membayar pajaknya.
(Pengusaha dan pemerhati sosial)