Sistem Kapitalis Merampas Harta Publik

Ridhmedia
30/12/19, 06:16 WIB
Oleh: Ratna Munjiah (Pemerhati Masyarakat)

Indonesia memiliki 142 perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diberbagai sektor. Dari jumlah itu, ternyata hanya sebagian kecil yang mampu mengontribusikan keuntungan untuk negara. Menteri BUMN Erick Thohir menyebut kondisi demikian memang menjadi sebuah keunikan tersendiri. Karenanya, dia menegaskan tidak mudah memanage dan mengatur semuanya. Terlebih dari sisi kinerja masing-masing perusahaan.

"Kalau kita lihat dari pendapatan, yang bisa dihasilkan BUMN kurang lebih Rp 210 triliun. Tapi 76% lebih banyak diraih dari 15 perusahaan saja," kata Erick Thohir di sela rapat kerja bersama Komisi VI DPR RI, Senin (2/12/2018) di komplek parlemen, Senayan, Jakarta.

Hal tersebut perlu diantisipasi dan dicarikan solusi ke depan. Apalagi, Erick menegaskan bahwa 15 perusahaan yang untung besar hanya terbatas pada sektor-sektor tertentu saja. Karena memang ke-15 perusahaan ini lebih banyak fokus di bidang perbankan, telkom, komunikasi, dan oil and gas.

Mantan Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf Amin ini menilai, dalam jangka panjang sektor-sektor tersebut tak akan bisa diandalkan. Dia memberi contoh pada dunia perbankan yang saat ini sudah mulai tergerus zaman.

Anggota Badan Pemeriksa Keuangan Achsanul Qosasi menambahkan dalam APBN tahun depan, BUMN ditargetkan bisa setor dividen Rp 45,5 triliun. Tapi angka ini mayoritas ditargetkan hanya pada 10 BUMN. "95% ditargetkan pada 10 BUMN besar, dengan target penyelesaian kredit bermasalah di Bank BUMN. 100 BUMN lainnya hanya hasilkan 5% dan ada yang masih rugi," ujarnya dalam cuitan di twitter.

Dengan kondisi ini, Achsanul menekankan perlunya pembenahan BUMN terutama dalam penyajian dan pengakuan penerimaan. Apalagi dengan kondisi tahun depan yang dinilai bakal sangat berat bagi sektor perbankan. "BUMN khususnya perbankan akan semakin berat dalam pembukuan penerimaan. (https://www.cnbcindonesia.com/news/20191202131212-4-119556/ri-punya-142-bumn-tapi-cuma-15-yang-sumbang-besar-ke-negara).

Dengan minimnya perusahaan yang menyumbang pemasukan bagi negara maka Menteri BUMN membuat gebrakan bersih-bersih. Yakni, menertibkan ratusan anak perusahaan BUMN yang dianggap tidak sehat dan menjadi ladang bisnis kalangan tertentu dari elit BUMN. Jika dilihat banyak temuan kasus seputar BUMN yang tidak banyak memberi pemasukan negara namun malah menjadi lahan bancakan keuntungan segelintir pemilik modal. Hal ini membuktikan buruknya penerapan sistem kapitalis yang diadopsi negara dalam mengatur urusan ummat.  Dengan penerapan sistem kapitalis tersebut menuntut negara melakukan bisnis dalam memenuhi hajat publik dan mengelola harta publik.

Sistem kapitalis yang diadopsi negeri ini hanya akan melahirkan pejabat-pejabat korup sehingga memberikan efek negatif terhadap pembangunan kesejahteraan rakyat. Dalam sistem ini semua hanya dijalankan berdasarkan asas manfaat yang tidak akan pernah menghasilkan kebaikan bagi seluruh rakyat. Seluruh aset negara dan kekayaan alam dapat dimiliki dan dipergunakan dengan sebebas-bebasnya oleh segelintir orang yang mana tujuannya hanya menghasilkan kebahagiaan bagi segelintir orang atau kelompok. Sistem ini tentu sangat bertentangan dengan sistem Islam dalam mengatur aset dan kekayaan negara.

Sistem Islam memiliki segala aturan dalam pengaturan kepemilikan atau yang disebut dengan milikiyyah. Islam membagi konsep  kepemilikan menjadi kepemilikan individu (Al-Milikiyyah Al-Fardiyyah), kepemilikan umum ( al-milikiyyah al-ammah), kepemilikan negara (Milikiyyah al-Dawlah)

Islam mencangkup sekumpulan prinsip dan doktrin yang mengatur hubungan seseorang muslim dengan Tuhan dan masyarakat. Dalam pandangan Islam, pemilik semua harta adalah Allah swt karena Dialah Pencipta, Pengatur dan Pemilik segala yang ada di alam semesta ini. "Kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang di antara keduanya. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu". Sedangkan manusia adalah pihak yang mendapat kuasa dari Allah swt untuk memiliki dan memanfaatkan harta tersebut.

Dengan demikian setiap harta yang Allah swt berikan harus diatur tentang pengelolaan dan pemilikannya. Kepemilikan dan pemanfaatan atas suatu harta harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan Syara' yang tertuang dalam al-Qur'an, as-Sunnah, ijma' sahabat dan al-Qiyas. Dalam Islam harta yang termasuk dalam milikiyyah ammah meliputi seluruh sektor yang mampu memenuhi hajat hidup publik dari harta SDA yang tidak terbatas (air, infrastruktur jalan, energi, hutan, tambang, minerba tidak boleh dikelola selain oleh negara sendiri).

Dalam sistem ini keterlibatan swasta hanya sebagai pekerja dengan akad ijarah/kontrak. Islam sangat melarang adanya kontrak karya seperti pada Freeport, superbody seperti BPJS Tenaga Kerja dan Kesehatan, melarang pemberian hak konsesi hutan. HTI dan Kemitraan Swasta Pemerintah sektor ini. Negara pun tidak diperbolehkan mengambil untung dari harta yang sejatinya harta tersebut milik rakyat.

Untuk milkiyah daulah berupa pengelolaan bangunan, tanah, dan perkebunan bisa diberikan kepada rakyat atau dikelola oleh semacam BUMN yang mengedepankan pemberdayaan masyarakat dan tidak berperan sebagai pembisnis ketika berhadapan dengan kemaslahatan publik.

Islam telah menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan mekanisme perolehan kepemilikan. Tatacara mengelola dan mengembangkan kepemilikan, serta cara mendistribusikan kekayaan tersebut di tengah-tengah manusia secara detail melalui ketetapan hukum-hukumnya. Atas dasar itu, maka hukum-hukum yang menyangkut masalah ekonomi dalam Islam, dibangun atas dasar kaidah-kaidah ekonomi Islam (al-qawaid al-ammah al-iqtisadi al-Islamiyyah).

Sehingga tidak ada alasan bagi kita sebagai muslim untuk menolak sistem ekonomi Islam diterapkan di atas bumi ini. Karena hanya dengan diterapkannya sistem Islam dalam pengaturan urusan ummat kesejahteraan dan kemakmuran akan didapati oleh seluruh umat manusia.  Wallahua'alam.
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+