RIDHMEDIA - Dugaan persekusi dan diskriminasi kaum minoritas Muslim Uighur terus menjadi perbincangan hangat di berbagai belahan dunia.
Apalagi setelah masalah ini banyak dibahas oleh para pejabat pemerintahan dunia dan para publik figur.
Menanggapi ini, pakar hukum internasional Universitas Indonesia (UI) Prof Hikmahanto Juwana mengatakan Indonesia sebagai negara mayoritas muslim tidak seharusnya tinggal diam.
Ia menghimbau pemerintah untuk turut andil dalam menangani kasus ini.
"Mengingat masalah Uighur sudah menjadi isu internasional dan Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam sudah sepantasnya bila Indonesia bersuara keras dan lantang. Ini masalah tidak hanya masalah solidaritas muslim tetapi HAM sudah diinjak-injak oleh pemerintah China terhadap Uighur. Tidak seharusnya mereka mendapat perlakuan yang melanggar HAM," kata Hikmahanto sebagaimana dikutip dari detikcom, Rabu (18/12/2019).
Hikmahanto mengatakan salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi adalah dengan membawa masalah ini ke Dewan HAM PBB. Apalagi Indonesia adalah bagian dari lembaga tersebut.
"Meminta Dewan Keamanan PBB untuk melakukan sidang darurat mengingat Indonesia adalah anggotanya," ujar Hikmahanto.
Lebih lanjut, Hikmahanto mengatakan bahwa Pemerintah RI seharusnya menggalang anggota Gerakan Non Blok untuk bersuara dan menentang tindakan pemerintah China atas perlakuan terhadap minoritas Uighur. Juga, memberikan ancaman ke China dari sektor ekonomi bila kasus Uighur masih berlanjut.
"Membatasi pinjaman dari China dan masuknya investasi China mengingat Indonesia adalah pasar potensial bagi pemerintah dan pelaku usaha China," kata Hikmahanto.
Masalah Muslim Uighur sebenarnya sudah ada sejak lama. Namun, China telah berulang kali menentang tudingan yang menyatakan mereka menindas kaum minoritas muslim. Pemerintahan Presiden Xi Jinping mengatakan tempat itu bukan kamp penyiksaan, melainkan tempat pelatihan dan merupakan bagian dari kampanye anti terorisme.
Duta Besar RRC untuk Indonesia Xiao Qian juga telah meluruskan pemberitaan soal tindakan diskriminatif dan kekerasan pemerintah China terhadap kaum muslim Uighur di Provinsi Xinjiang. Menurutnya, masalah Uighur bukanlah masalah suku atau agama, melainkan masalah separatisme.
"Tidak ada kebijakan diskriminatif terhadap muslim. Jadi masalahnya dimana? Memang di suku Uighur ada segelintir orang yang berkeinginan untuk memisahkan Xinjiang dari China dan mendirikan satu negara merdeka bernama Turkistan Timur," ujar Xiao Qian.[cnbc]
Apalagi setelah masalah ini banyak dibahas oleh para pejabat pemerintahan dunia dan para publik figur.
Menanggapi ini, pakar hukum internasional Universitas Indonesia (UI) Prof Hikmahanto Juwana mengatakan Indonesia sebagai negara mayoritas muslim tidak seharusnya tinggal diam.
Ia menghimbau pemerintah untuk turut andil dalam menangani kasus ini.
"Mengingat masalah Uighur sudah menjadi isu internasional dan Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam sudah sepantasnya bila Indonesia bersuara keras dan lantang. Ini masalah tidak hanya masalah solidaritas muslim tetapi HAM sudah diinjak-injak oleh pemerintah China terhadap Uighur. Tidak seharusnya mereka mendapat perlakuan yang melanggar HAM," kata Hikmahanto sebagaimana dikutip dari detikcom, Rabu (18/12/2019).
Hikmahanto mengatakan salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi adalah dengan membawa masalah ini ke Dewan HAM PBB. Apalagi Indonesia adalah bagian dari lembaga tersebut.
"Meminta Dewan Keamanan PBB untuk melakukan sidang darurat mengingat Indonesia adalah anggotanya," ujar Hikmahanto.
Lebih lanjut, Hikmahanto mengatakan bahwa Pemerintah RI seharusnya menggalang anggota Gerakan Non Blok untuk bersuara dan menentang tindakan pemerintah China atas perlakuan terhadap minoritas Uighur. Juga, memberikan ancaman ke China dari sektor ekonomi bila kasus Uighur masih berlanjut.
"Membatasi pinjaman dari China dan masuknya investasi China mengingat Indonesia adalah pasar potensial bagi pemerintah dan pelaku usaha China," kata Hikmahanto.
Masalah Muslim Uighur sebenarnya sudah ada sejak lama. Namun, China telah berulang kali menentang tudingan yang menyatakan mereka menindas kaum minoritas muslim. Pemerintahan Presiden Xi Jinping mengatakan tempat itu bukan kamp penyiksaan, melainkan tempat pelatihan dan merupakan bagian dari kampanye anti terorisme.
Duta Besar RRC untuk Indonesia Xiao Qian juga telah meluruskan pemberitaan soal tindakan diskriminatif dan kekerasan pemerintah China terhadap kaum muslim Uighur di Provinsi Xinjiang. Menurutnya, masalah Uighur bukanlah masalah suku atau agama, melainkan masalah separatisme.
"Tidak ada kebijakan diskriminatif terhadap muslim. Jadi masalahnya dimana? Memang di suku Uighur ada segelintir orang yang berkeinginan untuk memisahkan Xinjiang dari China dan mendirikan satu negara merdeka bernama Turkistan Timur," ujar Xiao Qian.[cnbc]