RIDHMEDIA - Ismail (30), petambak garam asal Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, Jabar hanya bisa hanya bisa mengelus dada. Ismail hanya bisa menimbun hasil produksi garamnya di gudang.
Sebab, pembeli atau tengkulak garam produksi para petambak tak kunjung mampir. Garam hasil panen sebelumnya, dan panen saat ini ditumpuk di gudang yang sama.
"Sudah dua bulanan tidak ada yang membeli. Kita simpan saja di gudang sambil nunggu pembeli," kata Ismail saat berbincang dengan detikcom di tambak garamnya, Sabtu (7/12/2019).
Gudang garam milik Ismail penuh. Produksi garamnya mengalami peningkatan, sebab musim panas kali ini lebih panjang dibandingkan tahun lalu. Namun, lanjut dia, kondisi tersebut tak dibarengi dengan aktivitas penjualan. Imbasnya, harga garam pun anjlok.
"Sekarang sudah Rp 100 per kilogramnya. Awal-awal panen sempat Rp 500 hingga Rp 700 per kilogramnya," ucap Ismail.
Hal yang sama dirasakan Tohari (45), petambak garam yang sekampung dengan Ismail. Tohari menyebutkan sekitar Juli-Agustus lalu harga garam masih di angka Rp 700 per kilogramnya. Saat ini, harga garam yang diproduksi Tohari hanya dihargai Rp 100 per kilogramnya.
"Rp 100 per kilogram itu masih kotor. Belum menghitung upah untuk kuli panggul," kata Tohari.
Tohari terpaksa mencari sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia tak bisa lagi mengandalkan penjualan dari produksi garamnya. Sepi pembeli, harga yang anjlok membuat Tohari kelimpungan menafkahi keluarganya.
"Solusinya sekarang ya garamnya disimpan di gudang. Kemudian, untuk makan sehari-hari ya cari pendapatan lain. Kadang mengutang," ucap Tohari.
Sementara itu, salah seorang tengkulak garam di Desa Rawaurip, Duh Goni (40) mengatakan garam hasil produksi petambak tak laku lantaran jumlah produksi mengalami peningkatan cukup signifikan. "Karena musim panas panjang, jadi garam itu menumpuk di gudang," kata Dul.
Dul juga menyebutkan faktor lainnya yang membuat garam hasil produksi petambak tak laku adalah adanya kebijakan impor garam. "Katanya ada garam impor masuk, tapi belum tahu juga infonya," ucap Dul.
Bukan hanya petambak, Dul juga merasakan hal yang sama. Ia masih menyimpan garam-garam di gudangnya. Sebab, stok garam yang sudah ia beli dari petambak belum laku terjual.
"Kita juga tak ada orderan, jadi garam tak bisa keluar," tegasnya.
Dul juga meminta agar pemerintah tak membuka keran impor garam. Utamanya, saat hasil produksi garam petambak melimpah. "Kemarau tahun ini panjang, garam melimpah. Cukup lah untuk memenuhi kebutuhan. Jadi, (pemerintah) harusnya tak impor," tambah Dul. [dtk]
Sebab, pembeli atau tengkulak garam produksi para petambak tak kunjung mampir. Garam hasil panen sebelumnya, dan panen saat ini ditumpuk di gudang yang sama.
"Sudah dua bulanan tidak ada yang membeli. Kita simpan saja di gudang sambil nunggu pembeli," kata Ismail saat berbincang dengan detikcom di tambak garamnya, Sabtu (7/12/2019).
Gudang garam milik Ismail penuh. Produksi garamnya mengalami peningkatan, sebab musim panas kali ini lebih panjang dibandingkan tahun lalu. Namun, lanjut dia, kondisi tersebut tak dibarengi dengan aktivitas penjualan. Imbasnya, harga garam pun anjlok.
"Sekarang sudah Rp 100 per kilogramnya. Awal-awal panen sempat Rp 500 hingga Rp 700 per kilogramnya," ucap Ismail.
Hal yang sama dirasakan Tohari (45), petambak garam yang sekampung dengan Ismail. Tohari menyebutkan sekitar Juli-Agustus lalu harga garam masih di angka Rp 700 per kilogramnya. Saat ini, harga garam yang diproduksi Tohari hanya dihargai Rp 100 per kilogramnya.
"Rp 100 per kilogram itu masih kotor. Belum menghitung upah untuk kuli panggul," kata Tohari.
Tohari terpaksa mencari sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia tak bisa lagi mengandalkan penjualan dari produksi garamnya. Sepi pembeli, harga yang anjlok membuat Tohari kelimpungan menafkahi keluarganya.
"Solusinya sekarang ya garamnya disimpan di gudang. Kemudian, untuk makan sehari-hari ya cari pendapatan lain. Kadang mengutang," ucap Tohari.
Sementara itu, salah seorang tengkulak garam di Desa Rawaurip, Duh Goni (40) mengatakan garam hasil produksi petambak tak laku lantaran jumlah produksi mengalami peningkatan cukup signifikan. "Karena musim panas panjang, jadi garam itu menumpuk di gudang," kata Dul.
Dul juga menyebutkan faktor lainnya yang membuat garam hasil produksi petambak tak laku adalah adanya kebijakan impor garam. "Katanya ada garam impor masuk, tapi belum tahu juga infonya," ucap Dul.
Bukan hanya petambak, Dul juga merasakan hal yang sama. Ia masih menyimpan garam-garam di gudangnya. Sebab, stok garam yang sudah ia beli dari petambak belum laku terjual.
"Kita juga tak ada orderan, jadi garam tak bisa keluar," tegasnya.
Dul juga meminta agar pemerintah tak membuka keran impor garam. Utamanya, saat hasil produksi garam petambak melimpah. "Kemarau tahun ini panjang, garam melimpah. Cukup lah untuk memenuhi kebutuhan. Jadi, (pemerintah) harusnya tak impor," tambah Dul. [dtk]